Oleh Denny JA
Kemenangan Paris Saint-Germain (PSG) pada subuh WIB 1 Juni 2025 bukan sekadar kemenangan sebuah klub atas klub lain.
Bukan sekadar trofi. Bukan pula semata skor 5-0 yang memecahkan rekor kemenangan terbesar dalam sejarah final Liga Champions.
Rekor sebelumnya hanya selisih 4 goal. Antara lain final Real Madrid 7–3 Eintracht Frankfurt, 18 Mei 1960 di
Hampden Park, Glasgow
Yang menang di final 2025, subuh tadu adalah filosofi baru sepak bola.
Minggu, 1 Juni 2025, jam 2.00 – 4.00 subuh, saya terpaku di depan TV. Sebenarnya saya menaruh harapan lebih besar kepada Inter Milan, yang menghancurkan Barceloba di semi final.
Di hadapan 70 ribu penonton yang memenuhi Allianz Arena, dan jutaan jiwa dari seluruh dunia yang menyaksikan lewat layar kaca, PSG mempersembahkan bukan hanya dominasi teknis.
PSG juga sebuah revolusi sunyi: bahwa sepak bola modern tak harus disusun di atas altar superstar mahal dan ego yang bersinar sendiri.
Permainan kini bisa tumbuh dari akar: kolektivitas, kerja keras, keberagaman usia dan latar belakang, dan kepercayaan pada generasi baru yang masih belajar mencintai lapangan dengan cara yang jujur.
Di Munich, bukan hanya Inter Milan yang tumbang. Yang runtuh adalah mitos lama: bahwa kejayaan hanya lahir dari uang besar dan nama besar.
-000/
Sejak peluit pertama, PSG menunjukkan mereka datang bukan hanya untuk menang, tapi untuk menggores sejarah.
Menit ke-12, Achraf Hakimi membuka skor setelah umpan cemerlang dari Désiré Doué, pemain muda 19 tahun yang malam itu bermain dengan keberanian seorang maestro.
Delapan menit kemudian, Doué mencetak gol kedua PSG dengan sepakan keras yang mengenai Federico Dimarco dan mengecoh Yann Sommer.
Allianz Arena menggema oleh keterkejutan dan tepuk tangan.
Babak kedua menjadi panggung kejatuhan Inter. Menit ke-63, Doué kembali mencetak gol, menerima umpan dari Vitinha, mengelabui bek terakhir, dan dengan satu sentuhan halus melewati Sommer.
Menit ke-73, Kvaratskhelia—si seniman dari Georgia—menari di dalam kotak penalti, menerima bola dari Dembélé, mengecoh dua bek, dan mencetak gol keempat PSG dari sudut sempit.
Dan akhirnya, pada menit ke-87, Mayulu menutup malam itu. Menerima bola dari Barcola, ia menggocek Alessandro Bastoni, berhadapan satu lawan satu dengan Sommer, dan dengan ketenangan seorang pujangga, melesakkan bola ke pojok gawang.
5-0. Sebuah kemenangan yang tak hanya mutlak, tapi juga mendalam. Sejarah ditulis dengan tinta emas dan irama yang baru.
-000-
Ironisnya, ketika PSG diperkuat oleh trio termasyhur Lionel Messi, Neymar, dan Kylian Mbappé, mereka justru tak pernah mengangkat trofi Liga Champions.
Padahal, itu adalah barisan dengan nilai pasar tertinggi yang pernah disatukan dalam satu klub.
Tapi justru di sanalah letak kesalahan mendasarnya. Ego besar. Tekanan sponsor. Dan tim yang tidak seimbang.
Messi dan Neymar datang ketika masa emas mereka mulai pudar. Mbappé, meski jenius, seringkali menjadi matahari tunggal yang menyilaukan orbit tim.
Alih-alih menyatu, mereka berdiri sendiri-sendiri. PSG kala itu menjadi pentas megah tanpa orkestra. Tiga suara merdu, tapi tak pernah bernyanyi dalam harmoni.
Dan sepak bola, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang paling bersinar. Tapi siapa yang paling selaras.
-000-
Sejak Qatar Sports Investments mengakuisisi PSG pada tahun 2011, lebih dari €2,3 miliar telah digelontorkan untuk membangun tim impian.¹ Jumlah ini setara 42,5 trilyun rupiah.
Mereka membeli segalanya: Zlatan, Cavani, Thiago Silva, Messi, Neymar, dan Mbappé.
Namun tahun-tahun berlalu tanpa puncak. Kekalahan demi kekalahan menunjukkan satu hal sederhana: uang bisa membeli nama, tapi tidak bisa membeli keharmonisan.
Luis Enrique datang membawa angin baru. Ia mengubah arah. Dari klub selebritas menjadi klub pekerja. Dari nama besar menjadi jiwa besar.
Ia memberi panggung pada talenta muda: Doué, Mayulu, Barcola, Kolo Muani. Bukan hanya diberi menit bermain, tapi diberi kepercayaan.
Dan inilah buahnya: bukan sekadar trofi, tapi permainan yang menggugah—penuh semangat, tanpa beban, dan kolektif seperti tarian musim semi di padang hijau.
Di balik pesta lima gol, ada pelajaran batin yang lebih sunyi namun lebih dalam.
Sepak bola hari ini bukan lagi tentang satu raja di atas panggung. Ini tentang simfoni.
PSG 2025 mengajarkan bahwa tim yang menang bukanlah yang memiliki pemain terbaik, tapi yang paling memahami irama bersama.
Mereka tidak menang karena kecemerlangan. Mereka menang karena keutuhan.
Filosofi baru PSG adalah filosofi zaman baru: bahwa kemenangan datang bukan dari kemegahan, tapi dari harmoni.
Ini kemenangan dari kerja kolektif yang saling mempercayai, saling melindungi, dan saling mengisi ruang yang kosong.
Namun, di balik segala pencapaian ini, ada satu pelajaran taktis yang tak boleh diabaikan: PSG membuktikan bahwa sistem permainan yang fleksibel dan adaptif adalah kunci.
Luis Enrique tidak hanya mempercayai pemain muda, tetapi juga membangun formasi yang dinamis. Setiap pemain saling melengkapi peran—baik saat menyerang maupun bertahan.
Bahkan, pola pressing yang intens di lini tengah dan rotasi posisi yang cerdas membuat Inter Milan kehilangan ritme permainan.
Inilah bukti bahwa sepak bola modern tak lagi hanya soal bakat individu, melainkan kecerdasan kolektif dalam membaca permainan dan mengambil keputusan di lapangan.
Dengan demikian, PSG tidak hanya menang karena semangat, tetapi juga karena kecanggihan strategi dan kecermatan dalam eksekusi.
-000-
Munich bukanlah garis akhir bagi PSG. Ia adalah sebuah awal.
Di era post-superstar, PSG mempersembahkan blueprint masa depan: sepak bola yang inklusif, seimbang, dan manusiawi.
Dan mungkin, jauh dari dunia stadion dan sepak bola, kemenangan ini adalah metafor zaman.
Bahwa dunia baru tak dibangun oleh satu orang, tapi oleh kita semua—yang bekerja dalam diam, tumbuh dalam kolaborasi, dan menang dalam kebersamaan.
Di bawah langit Munich, PSG mencetak lima gol. Tapi yang mereka menangkan jauh lebih besar dari itu:
Mereka memenangkan jiwa permainan. ***
Jakarta, 1 Juni 2025
CATATAN
¹ Menurut laporan Forbes dan L’Équipe, total investasi Qatar di PSG sejak 2011 diperkirakan telah melebihi €2,3 miliar, mencakup pembelian pemain, infrastruktur, dan gaji bintang dunia.
Advertisement