Oleh : Agus Wahid

Takbir ‘Iedul Adlha telah menggema di seantero dunia muslim, berkisar – menurut data Moslem World Population 2025 – mencapai sekitar 2,04 miliar (sekitar 25% dari penduduk dunia). Yang menarik dari Hari Raya Dzul Hijjah bukan hanya ibadah haji di Tanah Suci Makkah-Madinah dan sekitanya semata, tapi adanya ibadah qurban: menyembelih hewan kambing dan atau sapi. Dan untuk sejumlah negara Arab, unta menjadi hewan yang dipersembahkan.

Sungguh menarik untuk kita telaah ibadah qurban itu. Dalam dimensi sosial, ternyata ibadah itu bukan hanya merupakan refleksi perwujudan taqwa bagi muslim/ah yang berkurban dan itu bersifat personal, tapi ada dimensi sosial yang sungguh mendalam dan kuat.

Kita saksikan, hewan yang dipotong atas nama ibadah qurban bukan hanya untuk diri pribadi dan atau keluarga yang berqurban, tapi dibagikan ke anggota masyarakat sekitar. Bahkan, belakangan muncul pemikiran kreatif dalam dimensi empati kemanusiaan berspekturum jagad raya: daging qurban dimasak sedikian rupa dan dikirim ke entitas bangsa yang sedang sangat membutuhkan pangan akibat kolonialisasi Zionis, seperti Gaza.

Kita perlu mencatat, dimensi sosial dari ibadah qurban adalah desain Allah yang mendorong ikatan keakraban antar individu dengan pihak yang sedang mendapatkan rezeki dan terpanggil untuk berqurban. Di beberapa “titik” daerah yang menyelenggarakan ibadah qurban terlihat lalu-lintas atau inteteraksi sosial yang menggambarkan kegembiraan karena adanya “pesta rakyat”, dalam adegan makan bersama secara gratis, atau model lain. Intinya, terjadi kualitas empati antar sesama umat manusia.

Jangan salah, tidak tertutup kemungkinan, ada di antara masyarakat di negeri ini yang merasakan daging hanya setahun sekali. Dan masanya adalah’Iedul Adlha, yang rangkaiannya adalah perintah melakukan ibadah qurban. Kita bisa bayangkan, betapa dalamnya nilai empati yang dibangun Allah terhadap umat manusia yang selama ini tak pernah menyentuh makanan berprotein tinggi itu (daging). Kelihatannya, panorama ini tak mungkin atau mengada-ada. Tapi, itu fakta yang ditemukan di sejumlah titik kantong miskin. Data itu terjumpai karena adanya ibadah qurban.

Data riil mereka sejatinya menjadi pendorong bagi pemangku kebijakan. Ketika bicara pemerataan hak kesehatan, maka panorama pihak yang baru merasakan daging harus menjadi tumpuan kebijakan. Inilah dimensi sosial ibadah qurban yang bisa ikut menyelamatkan pemangku kekuasaan. Sebab, kebahagiaan mereka menjadikan Allah pun “tersenyum”. Keridlaan Allah dan doa kaum dlu`afa menjadi “sesuatu” bagi pemangku kebijakan, at least bagi yang berqurban.

Di tengah analisis dimensi sosial, terdapat dimensi lain, yang harusnya menjadi bagian intergral dari ibadah qurban. Itulah dimensi politik. Dimensi ini sejalan dengan pemikirian sufisme dari menyembelih qurban tidak semata-mata menyembelih hewan. Tapi, sejatinya memangkas nafsu al- ammaarah.

Imam Ghazali, dalam bukunya al-Kimyatus Sa`aadah yang diterjemahkan dalam edisi Inggris dengan judul “Alchemy of Happiness” disebutkan, nafsu ammaarah adalah nafsu dasar yang menggerakkan seseorang melakukan keburukan dan kemaksiatan. Nafsu ini mendorong tindakan tanpa mempertimbangkan kebaikan dan kebenaran. Nafsu yang ada dalam diri manusia ini cenderung mengabaikan perintah dan atau larangan-Nya.

Dengan mendasarkan pada pemikiran Imam Ghazali terkait nafsu al-ammaarah harusnya siapapun yang melaksanakan ibadah qurban mampu mematikan kebiasaan buruknya, sekaligus mampu menjauhi kebiasaan berbuat maksiatnya (melawan ketentuan Allah dan Rasul).

Dalam konteks masyrakat awam, refleksi dari melaksanakan ibadah qurban adalah menjadikan dirinya lebih bertakwa. Dan memang inilah muasal diksi kata “qurban”, yang berarti “dekat”. Artinya, bisa kian mendekat dengan Allah karena amaliahnya. Sebuah gambaran konkret dari orang selalu mendekat kepada Allah adalah takwa.

Dalam konteks politik, ibadah qurban akan mendorong dirinya memangkas atau menghentikan sejumlah nafsu kekuasaan yang melanggar hak-hak rakyat. Ketika dirinya mendapat amanah dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Tapi, ketika tak ada yang memberikan amanah, dirinya tak akan mengejar kekuasaan (jabatan), apalagi merancang-bangun manuver demi tergapainya ambisi politiknya.

Karakter orang seperti itu – dalam terminologi pemikrian Imam Ghazali – disebutnya sebagai orang yang berusaha mengisi nafsu al-muhimmah. Yaitu, salah satu kotak dalam hati yang ada pada setiap manusia yang berisi kebaikan dan terus menjalankan bahkan memperjuangkan nilai-nilai kebaikan, termasuk di antaranya kencenderungannya berpihak pada prinsip keadilan dan kebenaran.

Potret manusia seperti itu sungguh krusial maknanya jika diberi kesempatan berkuasa. Ia pasti akan jauh lebih terpanggil untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan kemanfaatannya bagi umat manusia.

Tapi, sebaliknya bagi umat manusia (pemimpin) yang – di hatinya – telah terdominasi nafsu al-ammaarah. Ia cenderung mengabaikan persoalan keburukan yang merugikan kepentingan pihak lain (rakyat). Ketika diingatkan bukan introspeksi, tapi justru dinilai sebagai pengganggu.

Mencermati pemikiran sufisme Imam Ghazali, kita melihat panorama ibadah qurban yang sering kita lakukan dan saksikan baru sebatas menjalankan syariah formal. Tentu baik dan tidak salah. Tapi, belum sampai pada level yang lebih subtantif. Yaitu, menyembelih nafsu al-ammarah yang masih menyelimuti.

Sementara, mengikis nafsu al-ammaarah – apalagi bagi kalangan pejabat publik dan atau pejabat negara – sungguh krusial maknanya. Keberhasilan mengikis nafsu al-ammaarah justru menjadi pendorong pembangunan kinerja yang lebih ikhlas dan berkualitas. Hasil maksimalnya akan tercipta baldatun thayyibatun ghofuur.

Hasil maksimal itu – secara reflektif – akan diwarnai implementasi kebijakan yang benar-benar committed to memerangi praktik-praktik keburukan (kejahatan) seperti korupsi, manipulasi, melindungi penjahat dan hal-hal lain yang mengarah pada perusakan negara dan bangsa.

Karena itu, kini ada urgensi bagaimana membangun pemahaman baru yang harus “disirkulasikan”, bahwa ibadah qurban bukan sekedar menjalankan syariah formal dalam kerangka mengisi kebutuhan sosial, tapi juga menjawab persoalan politik yang kian mengkrisis. Jadi, ada up grading dalam tahapan beribadah. Karena, ibadah qurban memang berdimensi sangat luas. Di samping sosial dan politik, juga terdapat dimensi ekonomi. Itulah Maha Sayang Allah dalam kepada umat manusia yang harus kita renungkan bersama. Agar, terjadi kualitas dalam beragama. Dan itulah kataqwaan yang diskenariokan Allah.

Tasikmalaya, 07 Juni 2015
Penulis: Analis Politik

Advertisement

Tinggalkan Komentar