Oleh : marlin dinamikanto

Era 1990-an tercatat ada beberapa tempat yang dijadikan shelter gerakan berlawan Soeharto di Jakarta, satu di antaranya rumah di Kompleks Bappenas Jl. Mampang Prapatan XIX, kediaman orang tua aktivis Unpad Ferry Djoko Juliantono yang sekarang menjabat Wakil Menteri Koperasi dan mendiang Hariadi Tri Joko Mulyo yang juga suami dari Febby Permata Sari alias Febby Lintang, aktivis mahasiswa IISIP Jakarta yang cukup mewarnai aksi-aksi di Jakarta sejak 1993 hingga sebelum keduanya menikah pada 1998.

Saat tulisan ini tayang secara spontan via WhatsApp, Febby memberikan informasi, keduanya menikah pada 8 Maret 1998, saat cuaca politik Indonesia begitu mencekam yang diwarnai oleh musim penculikan aktivis, sehingga Febby sendiri untuk lebih mengurus rumah tangganya yang baru saja dimulai. Padahal sebelumnya, setiap aksi di Jakarta Febby kerap bertindak sebagai koordinator lapangan. Peran perempuan satu ini bukan kaleng-kaleng.

Tentang bagaimana jalan cerita Rumah di Kompleks Bappenas Jl Mampang Prapatan XIX ini menjadi “sarang gerakan” yang bising bikin gaduh Jakarta, semua berawal setelah Ferry Juliantono lulus dari Unpad dan pulang ke kediaman orang tuanya di Mampang. Dari keberadaan Ferry di Jakarta tidak sedikit kawan-kawannya dari Bandung yang bertandang ke rumahnya, antara lain yang masih saya ingat Asep Cusmin dan beberapa lainnya saya lupa namanya.

Kala itu sudah ada jaringan mahasiswa antar kota antar provinsi baik lewat badan koordinasi mahasiswa, maupun organisasi-organisasi gerakan seperti Himpunan Mahasiswa untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) yang didirikan oleh mantan Ketua HMI Cabang Jakarta Bursah Zarnubi bersama kelompok Cipayung, Yayasan Pijar yang diprakarsai mendiang Amir Husin Daulay, Pusat Informasi Penegak Hak-hak Azasi Manusia (Pipham) yang didirikan oleh mendiang Agus Edy Santoso alias Lenon, Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Kebetulan, Ferry dan Asep Cusmin termasuk penggerak ALDERA yang cukup militan di Bandung (keterangan lebih lanjut dapat anda baca di buku yang saya sunting ALDERA; Potret Gerakkan Politik Kaum Muda 1993 – 1999, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2022) Karena itu pula begitu Ferry pindah ke Jakarta, rumahnya menjadi markas aktivis.

Seingat saya, Standarkia Latief, Bob Randilawe, Yeni Rosa Damayanti, mendiang Iwan Dulu (nama aslinya Iwan Darmawan), Gembul, Teolog, Niko Adrian (mahasiswa UKI), Embay (mahasiswa Untag Jakarta), Eki Kertanegara, Yana Didaktika IKIP Jakarta,cTendry Masengi, Yulianto adiknya Herlan Bogor, saya sendiri yang kuliah lagi di IISIP angkatan 1992, mendiang Gina Herlina (mahasiswi IISIP 1992) dan Febby Lintang, IISIP 1993,’sering nongkrong di rumah Mampang Prapatan XIX. Singkat cerita, siapa pun aktivis Jakarta dan Bandung yang rajin jalan ada di sini.

Nah, di saat kami sering bertandang ke rumah itu, ada sosok pemuda kurus yang kerap berada di belakang komputer. Pemuda itu bernama Ari yang baru setelah meninggal pada 11 Juni 2025 baru saya tahu nama aslinya Hariadi Tri Joko Mulyo. Dia adalah adik kandung Ferry Juliantono yang ibunya (sekarang berusia 87 tahun) bekerja di Bappenas. Ari orangnya humble, baik hati, namun tidak mau melibatkan diri dalam pembicaraan politik. Terakhir kali saya tahu Ari berpacaran dengan Febby yang setiap hari terlibat demonstrasi di Jakarta paska penangkapan 21 aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan paska pembredelan majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik. Ya, pantesan saja setiap hari Febby ada di Mampang, hehehe.

Ari meskipun terkesan apolitis namun dalam cluster gerakan mahasiswa membawa gerbong tersendiri di luar temen-temennya Ferry. Paling tidak ada beberapa sahabatnya yang kerap diajak nongkrong di rumahnya, dua diantaranya teman kuliahnya di STIK Kuldip Singh alias Diva dan Jay alias Boni yang sampai sekarang pun saya selalu lupa dengan nama aslinya, mahasiswa Budi Luhur yang sejak lama menjadi temen nongkrongnya.

Di rumah Mampang Prapatan XIX itu, Jay dan Diva mendidik dirinya menjadi aktivis yang bukan sekedar aktivis. Singkat cerita bukan aktivis kaleng-kaleng. Kami yang kerap nongkrong di Mampang Prapatan XIX sempat mendirikan Front Demokratik Mahasiswa Jakarta yang sempat menyelenggarakan Kongres di Bumi Aki, Puncak, dan sempat memiliki sekretariat di Jl Buncit VIII meskipun hanya sanggup membayar kontrakan satu bulan. Lewat FDMJ saya mengelola terbitan WARTA AKSI yang saya ketik dan setting sendiri di rumah Jay, kompleks Setneg Cidodol, Kebayoran Lama, di kantor Menteri Hayono Isman, karena lewat Eddy Nusantara saya secara serabutan didaulat menjadi penulis pidato Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. (jadi kalau mau sekedar kaya sejak Orde Baru saya sudah punya akses untuk kaya, hehe)

Di rumah Mampang Prapatan XIX itu pula kami kerap menyelenggarakan diskusi politik dengan menghadirkan narasumber yang saya ingat Adnan Buyung Nasution, Arbi Sanit dan Sri-Bintang Pamungkas. Nah, saat diskusi yang menghadirkan Sri-Bintang Pamungkas yang dipandu oleh Tri Agus Susanto Siswowiharjo (sebelum masuk penjara) Sri-Bintang menegaskan mencalonkan diri menjadi Ketua Umum PPP dan siap dipecat dari DPR.

Dari rumah ini pula, mendiang Munif Laredo dan saya membuat draft Petisi mendesak dikembalikannya hak-hak politik mahasiswa melalui pendirian Dewan Mahasiswa. Setelah draft disetujui selanjutnya kami edarkan dan mendapatkan dukungan 20 mahasiswa dari berbagai kota Indonesia, antara lain yang saya ingat ada Pius Lustrilanang, Nezar Patria, semuanya ada di buku ALDERA.

Banyak kenangan yang berserak di rumah Mampang Prapatan XIX, dan ini hanya secuil kenangan yang bisa saya ingat. Selamat jalan Ari, kami yang pernah berkumpul di rumah orang tuamu akan selalu mengenangmu. Tabahkan dirimu Feb, semoga selalu dilapangkan jalanmu untuk mengantar ketiga anakmu yang beranjak dewasa. ()

Advertisement

Tinggalkan Komentar