Oleh: Agus Wahid
Belum puaskah “KAU” mengobrak-abrik Tanah Air Indonesia ini? Itukah caramu mempersembahkan segalanya demi kepuasan tuan asingmu karena panggilan seleluhurmu yang terus mengincar kedaulatan NKRI ini? Atau, belum relakah dan tak mau henti bergerak sampai negeri ini menjadi komunis secara formal dengan bendera Palu Arit yang berkibar di angkasa dengan gagah?
Dan ada satu lagi pertanyaan yang sangat inheren, belum cukupkah KAU menggarong kekayaan negeri Pertiwi ini padahal sudah ribuan triliun KAU telah nikmati dan karenanya masuk dalam Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) sebagai nominator kandidat terkorup kedua dunia?
Itulah beberapa pertanyaan yang layak kita lontarkan sejalan dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Neger (Kepmendagri), Tito Karnavian No. 300.2.-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Melalui Kepmendagri itu, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang pindah status, dari Provinsi Nagroe Aceh Darussalam ke Provinsi Sumatera Utara.
Perlu kita garis-bawahi, Kepmendagri tersebut sarat dengan kepentingan kekuasaan yang dolpinistik. Terkandung otoriterianisme sekaligus kerakusan untuk memperkaya diri dan gengnya, dari drakula ekonomi negeri leluhur ataupun setanah air (oligarki).
Kepentingan pragmatis dan idealistik itu dapat kita telusuri pada proses terbitnya Kempendagri yang sebenarnya telah dirancang jauh sebelumnya: sejak Jokowi memerintah periode pertama.
Data kronologis bicara. Pada masa pemerintahan SBY periode pertama, pada 2009 dilakukan verifikasi 213 pulau yang berada di sekitar Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Hasilnya – pertama – Gubernur Sumatera Utara mengkonfirmasi hasil verifikasi 213 pulau itu masuk dalam Prov. Aceh. Tertuang Surat N0. 125/8199 tanggal 23 Oktober 2009. Gub. Aceh pun ikut menandatangani. Kedua, terdapat perubahan nama empat pulau itu. Yaitu, Pulau Rangit Besar menjadi Pulau Mangkir Besar, Pulau Rangit Kecil menjadi Pulau Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan dan Pulau Panjang tetap.
Selanjutnya – melalui Surat No. 136/40430 tanggal 15 Novermber 2017, Pemprov. Aceh menyampaikan bahwa berdasarkan topografi TNI AD, tahun 1978, empat pulau tersebut masuk dalam Provinsi Aceh.
Anehnya dan hal inilah pangkal persoalan, pada 8 Desember 2017, Surat Kewilayahan Jenderal Bina Wilayah (Dirjen Adwil) Kemendagri No 125/8177 BAK tanggal 8 Desember 2017 menegaskan topografi tahun 1978 dan peta bumi Indonesia dinyatakan bukan sebagai referensi resmi batas administrasi nasional ataupun internasional. Lalu, empat pulau tersebut dinyatakan masuk dalam Provinsi Sumut.
Surat Dirjen Adwil – Kemendagri itu kemudian, pada 2020, diperkuat rapat gabungan Kemendagri, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Marves) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pusat Hidro Oseanografi TNI AL, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) serta Direktorat Topografi TNI AD. Hasilnya menyepakati empat pulau itu masuk dalam wilayah Sumatera Utara.
Pada 13 Februari 2022, dilakukan rapat bersama (Pemerintah Pusat – Pemda Singkil Aceh dan Pemprov. Aceh). Besok harinya, terbit Keputusan Mendagri No. 050-145 Tahun 2022 yang menetapkan empat pulau tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah – Sumut, bersasarkan Gezeter RI tahun 2020.
Data bicara, hasil rapat gabungan itu ditentang. Prov. Aceh – pada 2022 – Pj. Gubernur Aceh, Ahmad Marzuki dan Pj. Bupati Aceh Singkil, Marthunis Muhammad melakukan somasi. Sekitar tiga tahun, somasainya tak digubris. Lalu, terbit Kepmendagri No. 300.2.-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau. Dan tercatatlah empat pulau itu masuk Sumut.
Luar biasa gerakannya. Demikian sistimatis. Terencana. Berdimensi jauh ke depan yang penuh tricky. Justru, hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa sejak Indonesia merdeka dan atau berdiri, baru muncul Kepmendagri perubahan status empat pulau pada 2017? At least, pemerintahah terakhir sebelumnya (2014), tampak sunyi-sunyi saja dari gagasan perubahan status empat pulau itu?
Jika kita cermati kronologi perubahan status empat pulau tersebut sangat jelas jawabannya. Saat Jokowi berkuasa. Dengan kekuasaan yang digenggamnya, tidak hanya Dirjen Adwil, tapi lembaga Kemendagri, KKP, Kesatuan TNI AD dan AL, termasuk GIB dan LAPAN langsung “mengekor” atas kemauan Jokowi yang jelas-jelas kala itu menjabat Presiden.
Sebuah renungan, apa makna geostrategis keempat pulau itu? Menurut hasil survey, Pulau Panjang berluas 47,8 ha, tak berpenduduk. Baru ditemukan dermaga yang dibangun pada 2007. Kemudian ditemukan rumah penduduk pada 2012 oleh Pemda Singkil. Sementara, Pulau Mangkir seluas 8,16 ha. Juga tak berpenduduk. Kondisi Pulau Lipang juga hampir sama. Tak ada penduduk. Dapat dikatakan hilang karena kenaikan permukaan laut.
Data permukaan tersebut – di mata Jokowi – merupakan “santapan” empuk. Akal bulusnya sebagai profit taker langsung membayang, “Inilah aset yang bisa dijual”, gumam imajinernya di hati. Tapi, sebagai sang manusia ideolog yang seleluhur dengan Tiongkok dan terpapar ideologi komunis, ia terpikir keempat pulau kosong itu bisa dijadikan daerah migrasi kaum China. Sesuai janji politiknya pada pilpres 2014 yang – secara komitmen bilateral – siap memigrasikan sekitar 200-an juta orang secara bertahap dengan “kedok” pembukaan lapangan kerja, bertahap.
Pemikiran tersebut menjadi inline dengan megaproyek silkrood (jalur sutra) yang kita kenal dengan toll laut. Di atas kertas, kebijakan perubahan status empat pulau itu untuk merealisasikan kawasan baru di tengah peraiaran yang bebas kontrol banyak orang, sekaligus menjadi “negara dalam negara”. Persis konsep Pandai Indah Kapuk I.
Itu hanya strategi permukaan. Sejatinya – secara substantif – kita perlu mewaspadai. Karena, otak kotor dan liciknya pasti lebih mengerikan. Komitmen bilateral Jokowi (saat berkuasa) dengan Xi Jinping juga tak lepas dari bagaimana membagun geopolitik untuk kepentingan China. Atas nama kepentingan pengendalian kawasan Asia Tenggara, maka empat pulau bisa dirancang sebagai pangkalan militer China. Nah, lho… Super mengerikan toh?
Dari kerangka pemikiran itulah dan sejalan dengan Jokowi telah lengser, maka “ternakannya” meneribitkan Kempendagri yang sarat kepentingan politik bahkan sangat ideologis. Ketika masih berkuasa Jokowi sibuk dengan berbagai agenda megaproyek ekspoloitatifnya, terkait sumber daya alam dan mineral di Morowali lainnya, termasuk yang baru-baru ini terbongkar pada meograproyeknya di Raja Empat, di samping agenda politik devide et emperanya. Kini, Bobby Arif Nasution sudah berhasil duduk sebagai Gubernur Sumut.
Sangat boleh jadi, misi besar penguasaan empat pulau kini bergeser, dari kepentingan politik dan ideologis, ke ekonomi. Menurut catatan geologis, Blok Singkil – berdasarkan asumsi P.50 – memiliki potensi gas 296 miliar kaki kubik (BCF). Sementara, Blok Meulaboh menyimpan minyak bumi 197 juta barel (MMBO) dan gas sekitar 1,1 triliun kaki kubik (TCF). Wow…
Dalam asas ekonomi carpedium (aji mumpung), Jokowi – sangat boleh jadi – memerintahkan ”ternakannya”. Mumpung masih menjadi Menteri Dalam Negeri aktif. Juga, mumpung Gubernur Sumut kini dipegang menantunya. Maka, sikap aji mumpung inilah yang menggelorakan sikap, kapan lagi bisa menggarong sumber daya alam itu? This is the time. Lewat dari masa kekuasaannya, misalnya Tito direshuffle dan Bobby juga tergoyang seiring dengan Jokowi diamputasi total pengaruhnya, maka wes-eweslah peluang untuk menggarong Blok Singkil dan Blok Meulaboh.
Itulah pemikiran politik dan ekonomi aji mumpung, yang — dalam bahasa Latin – kita kenal dengan CARPEDIUM. Yang layak kita sikapi lebih jauh, apakah saat ini hanya pemikiran ekonomi aji mumpung? No. Seorang Tito adalah aktor “penerjemah” Jokowi dalam kaitan politik dan ideologi. Maka, yang perlu kita catat lebih jauh adalah skenario konflik horisontal yang perlu kita waspadai.
Kita saksikan pasca terbitnya Kepmendagri “tendensius” itu muncul reaksi yang cukup garang. Dalam sikapnya – secara terbuka – Gubernur Nagroe Aceh Darussalam, Muzakkir Manaf menegaskan, “Akan mempertahankan empat pulau sampai titik darah penghabisan”. Artinya, bukan hanya pendekatan politik “(perundingan)”, tapi siap “angkat senjata”. Sikap Gubernur Aceh pun mendapat dukungan kuat horisontal.
Jika reaksi Aceh diladeni, maka masyarakat sipil Sumut bahkan alat pertahanan dan keamanan Sumut akan menjadi korban. Mereka sadar, kepentingannya bukan untuk daerah dan masyarakat Sumut, tapi untuk Bobby Arif Nasution dan keluarga terdekat, serta para kroninya.
Bagi Tito dan Jokowi, Kepmendagri akan menjadi “mainan” untuk terus mengipas-kipas api permusuhan. Inilah skenario konflik horizontal yang sejatinya merupakan desain Tito untuk memecah persatuan. At least kemelut di tengah Aceh – Sumut.
Perlu kita catat, hanya karakter PKI yang demikian menikmati skenario adu domba di tengah negeri ini. Dalam kaitan ini kiranya Prabowo harus segera memahami desain konflik horisontal. itu segera cegah permainan kotor nan licik-jahat itu. Segera pula anulir Kepmendagri No. 300.2.-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, apalagi prosesnya tak melibatkan lembaga Legislatif. Dan yang paling ditunggu adalah segera reshuffle antek Jokowi itu. Right now, not later. Mumpung ada argumentasi rasional. Sebelum terlambat.
Ciputat – Tangsel, 14 Juni 2025
Penulis: analis politik
Advertisement