Oleh: Mahendra Uttunggadewa
Nugroho Notosusanto dan Historiografi Orde Baru
“Sejarah ditulis oleh pemenang.” Meski kalimat ini tidak diungkapkan secara eksplisit oleh George Orwell dalam buku ‘1984’, namun Orwell dengan piawai mampu menggambarkan bagaimana narasi sejarah kerap dimanipulasi untuk melayani kepentingan pihak yang berkuasa.
Kutipan ini menjadi anggukan kepala dalam konteks historiografi Indonesia. Sebab, penulisan sejarah kerap menjadi alat kekuasaan untuk melegitmasi dan menjustifikasi apa yang dilakukan oleh pihak yang memenangkan pertarungan kekuasaan.
Di Indonesia, ada dua periode penting yang mencerminkan hal ini. Pertama adalah era Orde Baru (1966–1998) di bawah pengaruh sejarawan Nugroho Notosusanto. Kedua, inisiatif penulisan ulang sejarah oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 2025.
Keduanya memicu kontroversi karena dianggap menggunakan sejarah sebagai alat politik, mengabaikan objektivitas akademik, dan meminggirkan fakta-fakta yang tidak sejalan dengan agenda penguasa.
Nugroho Notosusanto (1930–1985) adalah cerpenis, sejarawan militer, sastrawan, dan tokoh akademik yang berperan besar dalam membentuk narasi sejarah resmi Orde Baru.
Sebagai Kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pusjarah ABRI), Rektor Universitas Indonesia cum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983–1985), Nugroho dalam posisi sentral untuk merancang narasi sejarah demi menyenangkan hati tuannya, Soeharto.
Bersama Ismail Saleh, Nugroho Notosusanto mengawali kontroversinya melalui tulisannya yang berjudul Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Tulisan ini mengisahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai satu-satunya pelaku percobaan kudeta 1965.
Buku ini menjadi dasar narasi resmi Orde Baru dan membenarkan pembantaian massal terhadap ratusan ribu orang yang diduga terkait PKI.
Nugroho bahkan dengan sangat ambisius juga menulis skenario film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) yang kemudian menjadi alat propaganda Orde Baru yang wajib tonton hingga 1997.
Film ini menuai kritik karena menyederhanakan sejarah, mengabaikan kompleksitas politik, dan memicu trauma sosial. Peneliti seperti Wijaya Herlambang menyebutnya sebagai “fiksi yang nyaris menjadi mitos suci”.
Berbekal ‘kreativitas’ tersebut di atas, Nugroho Notosusanto mengambil peran sebagai editor utama Sejarah Nasional Indonesia (SNI, 1975), Nugroho membuat SNI menjadi panggung yang memberi peran utama pada militer, khususnya Angkatan Darat, dalam menumpas PKI.
Kritik pun bermunculan. Terlebih, jilid keenam SNI dianggap meminggirkan perjuangan diplomasi dan meniadakan kontribusi non-militer.
Seperti halnya mendiang Wijaya Herlambang, sejarawan sekaliber Sartono Kartodirdjo menganggap SNI sarat propaganda Orde Baru yang mengorbankan objektivitas sejarah demi kepentingan politik.
Sebagai penulis cerpen, Nugroho lagi-lagi sangat kreatif dalam membangun kontroversi. Dalam Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981), Nugroho mengklaim bahwa Muhammad Yamin sebagai pencetus Pancasila, bukan Soekarno.
Hal ini merupakan bagian dari proses “de-Sukarnoisasi” yang dilakukan oleh Orde Baru dengan menghapus peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Kali ini Kuntowijoyo dan Onghokham yang angkat bicara menilai klaim ini tidak didukung bukti kuat dan bertujuan meminggirkan warisan Soekarno.
Lebih dahsyat lagi, semua narasi sejarah yang telah dimanipulasi oleh Nugroho dijadikan materi indoktrinasi melalui mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) melalui Kurikulum 1984.
Mata pelajaran ini dikritik sebagai proses cuci otak yang menekankan perjuangan bersenjata dengan mengabaikan aspek diplomasi dan budaya. Tuduhan terhadap Soekarno menerima komisi dari perusahaan asing seperti yang tertulis dalam buku teks SNI untuk SMP memicu protes dari keluarga Soekarno dan akademisi.
Last but not least, lagi-lagi dengan kreatif Nugroho mengusulkan untuk mengganti Hari Pahlawan yang ditetapkan pada tanggal 10 November 1945 (Pertempuran Surabaya 1945) menjadi tanggal 1 Maret 1949 (peristiwa Serangan Umum di Yogyakarta). Meski tidak keburu terealisasi akibat kematiannya yang mendadak, namun dianggap mencerminkan bias militerisme Orde Baru.
Kontroversi bukan terletak hanya pada konten sejarah yang ditulis, namun juga pada dinamika proses pembuatannya.
Usai gelaran Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada 1970, pemerintah membentuk Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah Nasional (PBSN). Struktur panitia PBSN diisi oleh Sartono Kartodirjo (Ketua Umum), Marwati Djoened Poesponegoro (Ketua I), dan Nugroho Notosusanto (Ketua II).
Dalam suatu peristiwa, Deliar Noer, salah satu anggota tim penulis buku SNI, dipanggil Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri dari tim penyusunan buku SNI.
Alhasil, sejarawan-sejarawan lain yang turut terlibat dalam penulisan jilid V buku SNI juga ikut mundur. Mereka adalah Abdurrahman Surjomihardjo, Thee Kian Wie, dan Taufik Abdullah.
Puncaknya, sejarawan Sartono Kartodirjo turut mengundurkan diri dan menolak menjadi penanggung jawab materi buku SNI untuk jilid VI. Proyek penulisan jilid VI buku SNI dilanjutkan Nugroho Notosusanto sebagai ketua editor.
Bagi Nugroho, menulis sejarah seperti menulis cerpen yang bisa dikarang sesuka hati untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru di bawah rezim diktator otoritarian yang opresif, represif, despotik, dan militeristik. Namun ia harus menerima kritik karena bias militerisme, anti-komunisme, dan pengabaian prinsip korespondensi sejarah.
Sejarawan seperti Sartono Kartodirdjo dan Onghokham menyebut Nugroho sebagai “sejarawan abal-abal” yang melayani penguasa. Warisan narasinya, seperti ketakutan terhadap hantu PKI, tetap memengaruhi pengajaran sejarah hingga era Reformasi.
Nugroho Notosusanto mengembuskan napas terakhir di kediamannya sebagai Brigjen tituler pada hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30 WIB karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Ia praktis hanya dua tahun menjabat sebagai menteri.
Fadli Zon dan Inisiatif Penulisan Ulang Sejarah
Menyongsong ulang tahun kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon berinisiatif untuk mempersembahkan kado ulang tahun berupa Sejarah Indonesia yang ditulis dalam 10 jilid.
Fadli berujar, proyek yang melibatkan melibatkan sejumlah sejarawan, arkeolog, dan akademisi ini bertujuan memperbarui narasi sejarah berdasarkan temuan arkeologi dan penelitian terbaru, menghilangkan bias kolonial, dan menciptakan sejarah yang lebih “Indonesia-sentris.”
Konon, di tahap finalisasi akan ada janji untuk dilakukan uji publik pada Juli 2025 demi memastikan transparansi.
Namun, seperti keledai yang terantuk dua kali di lubang yang sama, Fadli Zon mengulang kembali kesalahan sejarah persis seperti apa yang dilakukan oleh Nugroho Notosusanto hampir 40 tahun yang lalu.
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) dan kritikus lainnya menilai proyek ini terburu-buru dan tidak transparan. Mereka khawatir proyek ini menjadi “histori versi penguasa” semata untuk memperkuat legitimasi politik Fadli Zon atau Presiden Prabowo Subianto. Proses penyusunan yang tidak melibatkan forum akademik secara luas memicu kekhawatiran akan terjadinya manipulasi sejarah.
Jika Nugroho dengan SNI melakukan proses “de-Sukarnoisasi” serta meminggirkan perjuangan diplomasi dan meniadakan kontribusi non-militer, maka Fadli mencoba menghilangkan peristiwa pelanggaran HAM, seperti kerusuhan Mei 1998, perkosaan massal, dan penculikan aktivis 1997–1998.
Penghilangan ini dianggap sebagai upaya rekayasa penulisan sejarah yang berpotensi membahayakan pemahaman kolektif masyarakat terhadap masa lalu dan dapat menyesatkan generasi muda.
Para sejarawan dan aktivis menuntut proses penulisan yang transparan, melibatkan uji publik, dan mencakup episode kelam seperti peristiwa 1965–1966, Reformasi 1998, dan pelanggaran HAM Orde Baru. Mereka menekankan pentingnya konsensus akademis untuk menjaga integritas sejarah.
Kemiripan Fadli Zon dengan Nugroho Notosusanto juga terlihat pada dinamika proses pembuatannya. Di masa Nugroho, sejumlah anggota tim menyatakan pengunduran diri dari tim setelah Deliar Noer dipaksa mundur dari tim oleh Nugroho.
Di proses penulisan sejarah ala Fadli Zon, Harry Truman Simanjuntak mengundurkan diri dari tim penulis sejak 22 Januari 2025, hanya beberapa hari setelah proses dimulai. Ia sempat menjadi editor untuk jilid pertama, namun mundur karena perbedaan pandangan akademik.
Melalui penulisan ulang Sejarah Indonesia, Fadli Zon berupaya merekayasa ulang sejarah dengan menolak narasi lama, seperti klaim penjajahan Belanda selama 350 tahun, dan menyatakan peradaban Nusantara jauh lebih tua berdasarkan temuan arkeologi.
Pandangan ini dinilai bersifat spekulatif dan menuai skeptisisme dari sejumlah kalangan akibat lemahnya bukti ilmiah yang dihadirkan. Mantan Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan bahwa kebenaran sejarah harus ditentukan oleh forum akademik, bukan individu, termasuk menteri.
Bahkan dalam sebuah wawancara, Fadli Zon mengklaim bahwa kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 hanya “rumor” dan “tidak ada bukti.” Ia menyatakan, “tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal” dalam peristiwa tersebut.
Dia juga mengklaim bahwa informasi tersebut hanyalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. Salah seorang aktivis perempuan yang mendampingi para perempuan korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998, Ita Fatia Nadia, menyebut pernyataan Fadli Zon “menyalahi fakta sejarah”. Sementara aktivis perempuan dan HAM, Kamala Chandrakirana, pernyataan Fadli Zon melanggengkan budaya penyangkalan- merujuk pada hasil laporan pelapor khusus PBB.
Sejarah Alat Kekuasaan