Refleksi 29 Hari Menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI
Oleh:GWS
Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Kabayan yang duduk sendirian di kedai kopi Beijing sambil meratapi nasib sawah yang sudah terjual, tiba-tiba didatangi Profesor Yuan dengan wajah penuh simpati. “老兄,看得出你很关心自己的国家” (lǎoxiōng, kàn dé chū nǐ hěn guānxīn zìjǐ de guójiā – Sobat, terlihat Anda sangat peduli dengan negara Anda), kata Prof. Yuan sambil duduk di hadapan Kabayan.
“Saya terkesan melihat Anda memahami kesulitan Indonesia sebagai negara berkembang,” lanjut Prof. Yuan dalam bahasa Indonesia yang fasih—ternyata ia pernah menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia pada 2010. “Anda berbeda dengan wisatawan Indonesia lain yang datang ke Tiongkok hanya untuk berbelanja dan berfoto. Anda benar-benar ingin belajar.”
Kabayan benar-benar terharu. Selama tiga minggu di Tiongkok, baru kali ini ada orang yang memahami kegelisahannya. “Pak, saya bingung. Negara saya memiliki segalanya, tetapi mengapa seperti berjalan di tempat?” keluh Kabayan sambil mengaduk kopi yang sudah dingin.
Prof. Yuan tersenyum. “Karena itu saya ingin mengajak Anda ke Boston. Bertemu langsung dengan Growth Lab di Harvard. Agar Anda mendengar teori Kompleksitas Ekonomi dari sumbernya—Prof. Ricardo Hausmann.”
Terbang ke Boston dengan Pikiran Campur Aduk
Di pesawat China Eastern menuju Bandar Udara Logan Boston, Kabayan merenungkan keberuntungannya. “Saya menjual sawah satu petak, ujung-ujungnya bisa ke Harvard secara gratis,” pikirnya sambil menatap awan. Prof. Yuan yang duduk di sebelahnya sibuk menjelaskan garis besar kuliah yang akan mereka hadiri.
“Ricardo Hausmann adalah ekonom asal Venezuela yang sekarang menjadi profesor di Harvard Kennedy School,” jelas Prof. Yuan. “Dialah yang menciptakan teori Kompleksitas Ekonomi yang telah diterapkan Korea, Tiongkok, bahkan Vietnam. Teorinya sederhana: negara maju bukan karena memiliki barang banyak, tetapi karena memiliki pengetahuan untuk membuat barang rumit.”
Kabayan mengangguk-angguk. “Jadi seperti perbedaan antara pedagang es batu dengan ahli pembuat es krim gelato?”
“Nah, itu dia!” Prof. Yuan menyeringai. “Anda sudah mulai memahami. Es batu bisa dibuat siapa saja, tetapi gelato membutuhkan kemampuan khusus—kontrol suhu, tekstur, keseimbangan rasa. Semakin rumit produk yang bisa Anda buat, semakin tinggi pendapatan Anda.”
Growth Lab Harvard: Katedral Kebijaksanaan Ekonomi
Harvard Kennedy School membuat Kabayan terpukau. Gedung-gedung bata merah klasik dengan tanaman merambat di dinding, mahasiswa dari seluruh dunia dengan diskusi yang intens di setiap sudut. “Ini tempat di mana teori-teori yang mengubah dunia dilahirkan,” bisik Prof. Yuan.
Mereka memasuki ruang seminar Growth Lab yang dipenuhi grafik ruang produk (product space), indeks kompleksitas ekonomi, dan peta-peta perdagangan global. Prof. Ricardo Hausmann—pria berambut abu-abu dengan mata yang tajam—sudah menunggu dengan presentasi PowerPoint yang sarat data.
“Selamat datang di dunia kompleksitas ekonomi,” kata Hausmann dengan aksen Venezuela yang kental. “Hari ini, saya akan menjelaskan mengapa beberapa negara makmur sementara yang lain tetap terjebak dalam kemiskinan, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah.”
Teori Ruang Produk: Monyet dan Hutan Produk
Hausmann memulai dengan analogi yang membuat Kabayan langsung memahami. “Bayangkan ekonomi global sebagai hutan raksasa. Setiap pohon adalah produk yang diperdagangkan—dari pisang sampai ponsel pintar. Perusahaan adalah monyet yang melompat dari pohon ke pohon. Pohon-pohon yang berdekatan membutuhkan kemampuan serupa, pohon yang berjauhan membutuhkan kemampuan sangat berbeda.”
Dia menunjukkan peta ruang produk yang penuh titik-titik berwarna-warni. “Korea Selatan berhasil melompat dari tekstil (pinggiran) ke semikonduktor (inti) karena mereka secara sistematis membangun kemampuan yang diperlukan. Tiongkok melompat dari pertanian ke hampir semua sektor manufaktur. Vietnam melompat dari beras ke elektronik.”
Kabayan mengangkat tangan. “Pak, Indonesia di mana posisinya?”
Hausmann menunjuk area pinggiran yang dipenuhi titik-titik komoditas. “Indonesia masih di sini—pengekspor minyak kelapa sawit, batu bara, karet mentah. Produk-produk yang bisa dibuat banyak negara, kompleksitas rendah, nilai tambah minimal.”
Peringkat yang Menyakitkan
“Economic Complexity Index (ECI) atau Indeks Kompleksitas Ekonomi mengukur kemampuan produktif suatu negara,” lanjut Hausmann sambil menampilkan peringkat global. “Jepang peringkat 1 dengan skor 2,28, Korea Selatan peringkat 5 dengan 1,83, Tiongkok peringkat 21 dengan 1,16. Vietnam peringkat 60 tetapi terus naik.”
“Indonesia?” tanya Kabayan dengan suara parau.
“Peringkat 84 dengan skor -0,41,” jawab Hausmann tanpa basa-basi. “Bahkan di bawah Vietnam yang baru memulai industrialisasi 30 tahun lalu.”
Prof. Yuan menepuk pundak Kabayan yang lesu. “Karena itu saya mengajak Anda ke sini. Agar Anda tahu persis di mana posisi Indonesia dan bagaimana cara naik dalam ruang produk.”
Indeks Kompleksitas Produk: Mengukur Kerumitan
Hausmann kemudian menjelaskan Product Complexity Index (PCI) atau Indeks Kompleksitas Produk yang mengukur seberapa rumit suatu produk. “Komputer kuantum memiliki PCI tinggi karena hanya segelintir negara yang bisa membuatnya. Minyak sawit mentah memiliki PCI rendah karena banyak negara bisa memproduksinya.”
Dia menampilkan grafik yang membuat Kabayan ngilu. “Korea Selatan menguasai produk-produk dengan PCI tinggi: semikonduktor memori (PCI 2,1), panel layar (PCI 1,8), komponen kapal (PCI 1,6). Tiongkok menguasai spektrum luas dari PCI rendah sampai tinggi. Vietnam fokus pada perakitan elektronik dengan PCI menengah.”
“Indonesia ekspornya didominasi produk PCI negatif,” lanjut Hausmann. “Minyak sawit (-1,2), batu bara (-0,8), karet (-0,9). Produk-produk yang kompleksitasnya malah turun seiring waktu.”
Kabayan menyeringai getir. “Jadi kami mengekspor barang yang makin mudah dibuat orang lain?”
“Tepat sekali,” jawab Hausmann. “Sementara Korea dan Tiongkok bergerak ke produk yang makin sulit ditiru.”
Kemampuan dan Pengetahuan: Kunci Transformasi
“Capabilities atau kemampuan adalah blok bangunan untuk membuat produk kompleks,” jelas Hausmann sambil menampilkan diagram jaringan. “Korea berhasil karena mereka secara sistematis mengakumulasi kemampuan: dari tekstil ke baja, dari baja ke pembuatan kapal, dari pembuatan kapal ke elektronik, dari elektronik ke semikonduktor.”
Prof. Yuan menambahkan, “Tiongkok melakukan hal serupa tetapi lebih masif. Mereka tidak hanya mengakumulasi kemampuan di satu sektor, tetapi bersamaan di berbagai sektor. Investasi riset dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, transfer teknologi—semuanya dilakukan secara paralel.”
“Vietnam fokus pada manufaktur berorientasi ekspor untuk mengakumulasi kemampuan,” lanjut Hausmann. “Mereka mulai dari perakitan pakaian, naik ke perakitan elektronik, sekarang mulai riset dan pengembangan. Langkah demi langkah, sistematis.”
Kabayan mengangkat tangan lagi. “Pak, Indonesia punya kemampuan apa?”
Hausmann menunjukkan matriks kemampuan Indonesia. “Indonesia kuat di ekstraksi sumber daya alam dan pertanian dasar. Lemah di manufaktur, teknologi, inovasi. Kesenjangan sangat besar antara bahan mentah dan produk olahan.”
Kedekatan dan Kepadatan: Navigasi dalam Ruang Produk
Hausmann kemudian menjelaskan konsep kedekatan (proximity)—seberapa dekat suatu produk dengan produk lain dalam hal kemampuan yang dibutuhkan. “Korea melompat dari tekstil ke elektronik karena kedekatannya tinggi—sama-sama membutuhkan manufaktur presisi. Tiongkok melompat dari alat pertanian ke mesin karena kedekatannya masuk akal.”
“Kepadatan (density) mengukur seberapa banyak produk kompleks yang dekat dengan kemampuan yang sudah dimiliki,” lanjutnya. “Korea dan Tiongkok memiliki kepadatan tinggi—mereka bisa berdiversifikasi ke banyak produk kompleks. Indonesia kepadatannya rendah—terjebak di ekstraksi sumber daya.”
Vietnam berhasil karena mereka secara strategis memilih produk dengan kepadatan tinggi untuk membangun batu loncatan ke produk yang lebih kompleks. “Dari pertanian padi ke budidaya udang, dari perakitan tekstil ke perakitan elektronik. Setiap langkah meningkatkan kemampuan mereka dan membuka peluang baru.”
Perolehan Peluang: Mengukur Potensi Pertumbuhan
“Opportunity Gain Index atau Indeks Perolehan Peluang mengukur nilai potensial yang bisa diraih negara dengan mengembangkan kemampuan baru,” jelas Hausmann. “Korea di era 1970-an memiliki OGI tinggi karena mereka berposisi baik untuk melompat ke industri berat. Tiongkok di era 1990-an memiliki OGI sangat tinggi karena pasar domestik yang besar dan posisi strategis.”
“Vietnam sekarang memiliki OGI menengah tetapi naik—mereka di posisi manis untuk naik ke manufaktur yang lebih kompleks,” tambah Prof. Yuan.
“Indonesia?” tanya Kabayan dengan was-was.
“OGI rendah dan menurun,” jawab Hausmann blak-blakan. “Indonesia semakin terspesialisasi di produk dengan peluang terbatas untuk naik kelas. Lintasannya mengkhawatirkan.”
Keunggulan Komparatif Terungkap: Realitas vs Potensi
Hausmann menampilkan peta panas RCA yang menunjukkan keunggulan komparatif berbagai negara. “Revealed Comparative Advantage (RCA) atau Keunggulan Komparatif Terungkap mengukur apakah pangsa ekspor suatu negara di produk tertentu lebih tinggi dari rata-rata global. Korea memiliki RCA tinggi di semikonduktor, kapal, mobil. Tiongkok memiliki RCA di hampir semua barang manufaktur. Vietnam memiliki RCA di tekstil, perakitan elektronik, makanan laut.”
“Indonesia RCA-nya terkonsentrasi di produk berbasis sumber daya,” katanya sambil menunjuk peta yang didominasi warna merah di sektor komoditas. “Minyak sawit, batu bara, karet, tembaga, nikel. Diversifikasinya minimal.”
Yang membuat Kabayan panas dingin: “Indonesia sebenarnya kehilangan RCA di beberapa produk manufaktur yang dulu kompetitif. Tekstil, furnitur, elektronik dasar—semua turun karena tidak ada peningkatan kemampuan.”
Studi Kasus: Korea, Tiongkok, Vietnam Menerapkan Teori Hausmann
Korea Selatan: Kelas Master Kebijakan Industri
“Korea adalah praktik terbaik dari teori Hausmann,” kata Hausmann dengan antusias. “Park Chung-hee secara intuitif memahami navigasi ruang produk meskipun teori ini belum ada saat itu.”
Fase 1 (1960-an): Korea mulai dari tekstil dan manufaktur ringan—produk dengan kedekatan tinggi ke industri berat.
Fase 2 (1970-an): Dorongan Industri Kimia Berat—melompat ke baja (POSCO), petrokimia, mesin. Akumulasi kemampuan yang sistematis.
Fase 3 (1980-1990-an): Elektronik dan otomotif—memanfaatkan kemampuan yang ada untuk produk dengan kompleksitas lebih tinggi.
Fase 4 (2000-an-sekarang): Semikonduktor, layar, energi terbarukan—dominan di produk dengan PCI tertinggi.
“Korea berhasil karena mereka tidak melompat secara acak,” jelas Hausmann. “Setiap langkah diperhitungkan berdasarkan kedekatan, kepadatan, dan perolehan peluang. Kebijakan industri pemerintah selaras dengan logika ruang produk.”
Tiongkok: Pembangunan Kemampuan Paralel Masif
“Tiongkok melakukan sesuatu yang belum pernah ada,” kata Prof. Yuan dengan bangga. “Akumulasi kemampuan bersamaan di berbagai sektor dengan skala yang belum pernah ada dalam sejarah.”
Alat Pertanian → Mesin: Memanfaatkan kemampuan pengerjaan logam yang ada. Tekstil → Elektronik: Membangun kemampuan manufaktur presisi. Kimia Dasar → Material Canggih: Investasi riset dan pengembangan yang sistematis. Perakitan → Inovasi: Transfer teknologi plus pengembangan mandiri.
“Keunggulan Tiongkok adalah pasar domestik yang besar yang memungkinkan skala ekonomi dan eksperimentasi,” tambah Hausmann. “Mereka bisa menanggung kegagalan di beberapa sektor karena kesuksesan di sektor lain mengompensasi.”
Vietnam: Batu Loncatan Strategis
“Vietnam menunjukkan pemilihan produk yang cerdas,” kata Hausmann. “Mereka tidak mencoba melompat terlalu jauh—memilih produk yang berdekatan dengan kemampuan yang ada.”
Beras → Makanan Olahan: Memanfaatkan pengetahuan pertanian. Tekstil → Perakitan Elektronik: Membangun disiplin manufaktur. Budidaya → Pengolahan Makanan Laut: Meningkatkan rantai nilai langkah demi langkah. Perakitan → Pusat Riset dan Pengembangan: Menarik investasi asing untuk transfer kemampuan.
“Lintasan Vietnam berkelanjutan karena setiap langkah membangun fondasi untuk langkah selanjutnya,” jelas Prof. Yuan. “Tidak seperti negara kaya sumber daya yang sering melewati langkah-langkah perantara.”
Indonesia dalam Lensa Hausmann: Diagnosis yang Pahit
Hausmann kemudian fokus pada Indonesia dengan analisis yang membuat Kabayan mulas. “Indonesia adalah kasus klasik kutukan sumber daya dan jebakan pendapatan menengah. Meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, lintasannya terjebak di produk kompleksitas rendah.”
Masalah Akar:
Kesenjangan Kemampuan: Kesenjangan besar antara ekstraksi sumber daya dan manufaktur
Kepadatan Rendah: Sedikit peluang untuk naik kelas dari ekspor yang ada
RCA Menurun: Kehilangan daya saing bahkan di produk tradisional
Sistem Inovasi Lemah: Investasi riset dan pengembangan minimal, transfer teknologi terbatas
“Indonesia perlu pergeseran fundamental dari ekstraksi sumber daya ke pembangunan kemampuan,” kata Hausmann tegas. “Tetapi transisinya akan menyakitkan karena struktur pencarian rente yang ada menolak perubahan.”
Kebangkitan atau Kepunahan?
Setelah seminar tiga hari di Harvard, Kabayan duduk di Sungai Charles sambil merenungkan semuanya. Prof. Yuan menemaninya sambil memakan sup kerang yang hangat.
“Yuan, saya merasa seperti orang buta yang tiba-tiba bisa melihat,” kata Kabayan dengan suara serak. “Selama ini saya kira Indonesia hanya butuh kehendak politik atau tata kelola yang baik. Ternyata masalahnya lebih fundamental—kami terjebak dalam ruang produk kompleksitas rendah.”
Prof. Yuan mengangguk. “Teori Hausmann itu kuat karena menjelaskan mengapa beberapa negara dengan kondisi awal serupa bisa memiliki lintasan berbeda. Korea, Tiongkok, Vietnam—mereka memahami secara intuitif atau sengaja menavigasi ruang produk dengan cerdas.”
“Pertanyaannya sekarang,” lanjut Prof. Yuan sambil menatap Kabayan, “apakah Indonesia bersedia melakukan transisi yang menyakitkan dari zona nyaman ekstraksi sumber daya ke zona ketidakpastian pembangunan kemampuan?”
Kabayan terdiam panjang. Sawah sudah terjual, tetapi pelajarannya tak ternilai. Dia sekarang tahu bahwa pembangunan ekonomi bukan tentang keberuntungan atau takdir, tetapi tentang navigasi strategis dalam ruang produk global.
“Saya harus pulang dan menceritakan ini kepada orang-orang,” kata Kabayan akhirnya. “Mungkin mereka akan mengira saya gila karena menjual sawah untuk belajar teori ekonomi. Tetapi setidaknya saya tahu mengapa kami terjebak dan bagaimana cara keluar.”
Prof. Yuan tersenyum. “Teori Hausmann memang pemeriksaan realitas yang keras. Tetapi pengetahuan adalah kekuatan. Dengan pemahaman yang tepat, Indonesia masih bisa mengubah lintasan—asal bersedia membayar harga transformasi.”
Kabayan menatap langit Boston yang mulai gelap. Di suatu tempat di luar sana, Korea sedang memproduksi semikonduktor, Tiongkok sedang membangun reaktor fusi, Vietnam sedang merakit ponsel pintar. Sementara Indonesia masih menggali batu bara dan menebang kelapa sawit.
Tetapi apakah masih ada harapan untuk perubahan navigasi? Ataukah Indonesia sudah terlalu dalam zona nyaman ekstraksi sumber daya untuk melarikan diri ke zona petualangan manufaktur? Mungkin sudah saatnya Indonesia bersedia memanjat pohon kompleksitas ekonomi, meskipun tinggi dan berbahaya.
Advertisement