Oleh: Dr. Mahmud Syaltout

Mengapa Banjir Selalu Terjadi, Tapi Penjelasannya Selalu Sama

Banjir selalu datang dengan cara yang rapi. Hujan turun, air naik, berita muncul, pejabat datang, bantuan bergerak, lalu air surut. Setelah itu kita kembali bekerja, anak-anak kembali sekolah, jalanan dibersihkan, dan ingatan kita ikut mengering. Sampai hujan berikutnya turun, di tempat yang sama, dengan cerita yang hampir identik.

Dua grafik yang kita lihat ini berasal dari olah data turun lapangan timku pada November lalu di sebuah wilayah yang sekaligus menjadi kawasan perkebunan sawit dan pertambangan. Wilayah ini punya satu kebiasaan yang tidak pernah lupa jadwal. Hampir setiap tahun banjir datang. Bukan kejutan, lebih mirip janji yang selalu ditepati.

Narasi yang menyertainya juga terasa sangat akrab. Sampah. Drainase. Sungai. Kadang perubahan iklim ikut disebut agar terdengar besar dan global. Tidak ada yang sepenuhnya keliru, tetapi selalu ada rasa ganjil. Penjelasan itu terasa cukup untuk menutup percakapan, bukan membuka pertanyaan baru.

Keganjilan semacam ini sebelumnya juga muncul dalam penelitian bersama tim di Maluku Utara pada periode 2023–2024, ketika kami mengkaji kerawanan wilayah. Objeknya bukan banjir, melainkan konflik sosial, ekonomi, dan sumber daya. Polanya tetap sama. Realitas di lapangan kompleks, tetapi narasi publik selalu menyederhana. Dari situlah muncul kebutuhan praktis untuk membaca dua hal sekaligus. Apa yang sebenarnya menggerakkan masyarakat, dan ke mana perhatian mereka diarahkan ketika sebuah persoalan muncul.

Kebutuhan lapangan itu melahirkan dua kerangka yang kemudian dipakai secara konsisten. IM4 untuk membaca nilai tukar kuasa yang menggerakkan masyarakat. SLEEP untuk memahami fokus perhatian publik. Keduanya bukan lahir dari ruang seminar, bukan pula dari literature review, tetapi dari upaya memahami mengapa masalah yang sama terus berulang, sementara penjelasannya selalu berhenti di titik yang sama, sambil mual-mual di tengah kapal yang berlayar dari Sanana ke Ternate, atau di mobil yang kadang oleng di perjalanan di Trans Halmahera.

Di titik inilah persoalan banjir tidak lagi cukup dibaca sebagai masalah teknis atau alamiah semata. Ia perlu dibaca sebagai persoalan tentang bagaimana kuasa bekerja, ke mana perhatian publik diarahkan, dan mengapa sistem yang ada terus menghasilkan keluaran yang sama.

Untuk itu, pembacaan ini bergerak melalui tiga lapis, yaitu sebagai berikut:

1. IM4: Ketika Penyebab Banjir Tergantung Mata Uang Kuasa

IM4 berangkat dari satu pengamatan sederhana. Masyarakat tidak bergerak karena kebenaran semata. Mereka bergerak karena nilai tukar kuasa tertentu bekerja. Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini sebagai symbolic power, kemampuan menentukan realitas mana yang sah untuk dilihat dan dibicarakan.

Dalam kerangka Identity, data lapangan menunjukkan bahwa 40 persen responden melihat pertambangan sebagai penyebab banjir. Perubahan iklim muncul di angka 30 persen, sampah dan drainase 20 persen, sementara hutan gundul hanya 10 persen. Ketika banjir dibaca sebagai persoalan tanah, kampung, dan rasa keadilan, pertambangan masih terlihat jelas sebagai faktor struktural. Identitas lokal menyimpan memori ekologis dan relasi ekonomi yang panjang.

Begitu narasi berpindah ke Mass, komposisinya berubah. Pertambangan turun menjadi 20 persen, hutan gundul naik ke 30 persen, sampah dan drainase bertahan di 20 persen, dan perubahan iklim ikut naik ke 30 persen. Mancur Olson pernah menjelaskan bahwa dalam aksi kolektif, isu yang paling aman untuk disepakati bersama akan cenderung menguat. Isu yang berpotensi konflik tidak hilang, tetapi mengecil.

Dalam dimensi Money, pergeseran menjadi lebih tajam. Hutan gundul melonjak ke 46 persen, perubahan iklim berada di 27 persen, sementara pertambangan turun ke 14 persen dan sampah serta drainase ke 13 persen. Ketika uang, kompensasi, dan proyek menjadi bahasa utama, penyebab yang sulit dinegosiasikan cenderung menjauh dari pusat percakapan. Karl Polanyi pernah mengingatkan bahwa sistem ekonomi modern memiliki kecenderungan mengasingkan konsekuensi sosial dan ekologis dari proses produksinya sendiri.

Masuk ke Media, peta berubah drastis. Pertambangan menghilang sepenuhnya. Sampah, drainase, dan pendangkalan sungai mendominasi 60 persen, sementara hutan gundul mengisi 40 persen. Media bekerja dengan logika visual dan keamanan narasi. Seperti dijelaskan McCombs dan Shaw, media tidak memberi tahu publik apa yang harus dipikirkan, tetapi menentukan apa yang layak dipikirkan.

Dalam kerangka Military, gambarnya paling bersih sekaligus paling sunyi. Seratus persen penyebab banjir dipersepsikan sebagai sampah, drainase, dan pendangkalan sungai. Faktor lain lenyap. Michel Foucault menyebut mekanisme semacam ini sebagai governmentality, ketika persoalan kompleks dikelola melalui teknik dan prosedur agar tetap terkendali.

IM4 menunjukkan bahwa penyebab banjir tidak pernah benar-benar menghilang. Ia hanya tidak laku dalam mata uang kuasa tertentu.

2. SLEEP: Ke Mana Perhatian Publik Dikunci

Kalau IM4 menjelaskan bagaimana masyarakat digerakkan, SLEEP membantu memahami ke mana perhatian mereka dikunci. Niklas Luhmann menyebut masyarakat modern sebagai sistem yang terdiferensiasi secara fungsional. Setiap sistem melihat realitas dengan logikanya sendiri, dan apa yang penting bagi satu sistem bisa menjadi tidak relevan bagi yang lain.

Dalam dimensi Social, 35 persen responden menunjuk hutan gundul sebagai penyebab banjir, disusul perubahan iklim 30 persen, pertambangan 18 persen, dan sampah serta drainase 17 persen. Banjir dipahami sebagai gangguan hidup bersama, sesuatu yang mengacaukan keseharian, bukan sebagai produk desain struktural jangka panjang.

Dalam dimensi Legal, hasilnya sangat tegas. Seratus persen perhatian hukum tertuju pada sampah, drainase, dan pendangkalan sungai. Hukum bekerja paling efektif pada faktor yang mudah dibuktikan dan relatif aman diproses. Kajian socio-legal dari Sarat dan Kearns menunjukkan bahwa hukum sering kali bergerak di batas aman kekuasaan, bukan pada akar struktural persoalan.

Dalam dimensi Economic, perubahan iklim mendominasi dengan 43 persen, diikuti sampah dan drainase 28 persen, hutan gundul 15 persen, dan pertambangan 14 persen. Ulrich Beck menyebut fenomena ini sebagai risk externalization, ketika risiko dipersepsikan sebagai sesuatu yang datang dari luar, padahal diproduksi oleh keputusan internal sistem.

Pola ini terlihat jelas dalam data Sumatera. Laporan BNPB menunjukkan bahwa banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menimbulkan kebutuhan pemulihan nasional lebih dari Rp51,8 triliun, dengan ratusan ribu warga terdampak. Biaya ekonominya nyata, tetapi diskusi tentang desain ekonomi wilayah tetap tipis.

Dalam dimensi Environmental, gambaran mulai mendekati realitas ekologis. Hutan gundul melonjak ke 50 persen, sampah dan drainase 20 persen, pertambangan 17 persen, dan perubahan iklim 13 persen. Lingkungan menjadi satu-satunya ruang di mana penyebab struktural relatif terlihat, meskipun belum dominan.

Dalam dimensi Political, peta terbelah rapi. Pertambangan dan perubahan iklim masing-masing muncul di angka 50 persen. James C. Scott menyebut pola ini sebagai cara melihat yang disederhanakan agar tetap dapat dikelola, seeing like a state.

SLEEP memperlihatkan bahwa perhatian publik bukan sekadar terbatas. Ia dikunci secara sistematis.

3. Ketika IM4 dan SLEEP Bertemu: Banjir sebagai Output Sistem Operasi

Ketika IM4 dan SLEEP dibaca bersamaan, lalu dilihat dari perspektif Operations Management, satu kesimpulan muncul dengan tenang tetapi keras. Banjir adalah output logis dari sistem yang salah mendefinisikan prosesnya sendiri.

W. Edwards Deming pernah mengingatkan bahwa sebuah sistem akan selalu menghasilkan output sesuai desainnya. Jika output-nya banjir berulang, besar kemungkinan desain prosesnya memang seperti itu. Sistem ini sangat efisien di hilir. Drainase dibersihkan, sungai dinormalisasi, bantuan disalurkan, posko dibangun. Dari sisi operasional jangka pendek, hampir tidak ada yang salah.

Masalahnya, proses hulu tidak pernah masuk ke alur kerja yang sama. Tata guna lahan, jejak ekstraksi, dan struktur DAS dibiarkan di luar sistem. Eliyahu Goldratt menyebut kondisi ini sebagai kegagalan melihat sistem secara keseluruhan. Setiap bagian bekerja baik, tetapi keseluruhan sistem gagal.

Data Sumatera memperlihatkan pola yang sama. Ratusan ribu orang mengungsi, infrastruktur rusak, ekonomi lumpuh, lalu dibangun kembali di tempat yang sama. Peter Senge menyebut ini sebagai learning disability. Organisasi belajar cepat merespons, tetapi gagal belajar memperbaiki struktur.

IM4 memastikan narasi aman. SLEEP memastikan perhatian terkunci. Operations Management menjelaskan mengapa semua itu menghasilkan satu output yang konsisten. Banjir.

Banjir sebagai Laporan Audit yang Tidak Pernah Ditindaklanjuti

Banjir bukan sekadar air yang meluap. Ia hadir seperti laporan audit tahunan yang selalu datang tepat waktu dengan temuan yang sama. Proses keliru, input timpang, biaya mahal, sementara rekomendasi berhenti di meja rapat. Diagnosis tersedia lengkap, grafik rapi, peta jelas, tetapi keputusan untuk mengubah desain selalu tertunda.

Respons justru berjalan sangat cekatan di bagian yang paling terlihat. Warga dipindahkan, bantuan dibagi, posko berdiri, prosedur darurat dijalankan dengan disiplin. Sistem tampak bekerja dengan baik dalam mengelola dampak. Ironinya, semakin mahir kita menanggulangi banjir, semakin nyaman kita menerima bahwa banjir akan kembali.

Bagian hulu persoalan jarang disentuh secara serius. Tata ruang, jejak ekstraksi, dan cara menghitung biaya operasi dianggap terlalu berat untuk segera diubah. Rekomendasi struktural terdengar penting, tetapi selalu terasa bisa menunggu musim berikutnya. Di sanalah sumber pengulangan justru berada.

Air surut, jalan dibersihkan, grafik disimpan, rapat ditutup. Kita menunggu hujan berikutnya dengan kesiapan yang sama, di tempat yang sama, dan dengan keyakinan yang juga sama. Tepat waktu, seperti biasa.

Wallahu ‘alam bish showab.

*Santri Ndhéso, yang masih bodoh dan harus sinau lebih banyak lagi, terlebih karena awal bulan depan mulai aktif ngajar dan berbagi pengetahuan serta pengalaman lagi.

Advertisement
Previous articleTamiang
Next articleAkhirnya Mati!

Tinggalkan Komentar