Oleh : Jacob Ereste

Mulai dari baju koko, kopiah, sajadah dan jadah, sudah menggoda ingatan dalam rangka menyambut lebaran yang sudah diujung pintu. Sebab ramadan segera pamit meninggalkan banyak kesan, seperti makan sahur yang penuh jegembiraan, meski lauk pauknya ada yang kurang, toh yang lebih penting dari semua itu adalah kekhusyukan dalam menikmati laku spiritual yang pada hakekatnya untuk mendekat kepada Tuhan.

Karena itu, puasa pun lebih bersifat personal, sebab semua hikmahnya akan menjadi milik pribadi, kendati babyak hal yang terkait dengan pelaksanaan puasa itu tidak kalah banyak dilakukan justru untuk orang lain.

Jadi lebaran itu sendiri semacam penyampul dari ramadan yang telah paripurna dilaksanakan dengan segenap kegembiraan dan kerelaan, sehingga sebagai suatu kewajiban telah naik grade-nya menjadi suatu kebutuhan untuk menjaga dan memperkukuh diri segala bentuk yang bersifat lahir maupun batin. Karena itu, laku puasa itu adalah laku spiritual, guna mempersakti diri agar tidak goyah atau gampang tergoda oleh cobaan yang dimainkan oleh syetan.

Semua pakaian baru — meskipun tidak harus mewah — serta beragam penganan khas lebaran seperti ketupat dan opor serta gulai yang paling istimewa kesukaan keluarga, bisa komplit disajikan bersama beragam macam minuman segar yang juga dibuat khusus untuk menggenapi kebahagiaan pada hari kebaran.

Tradisi saling memaafkan dan sanjau ke tempat saudara dan sanak family serta tetangga dekat merupakan ekspresi dari kegembiraan seusai tunainya puasa selama sebulan penuh tanpa jeda, kecuali bila ada sesuatu halangan.

Kekurangan puasa akibat dari halangan yang tidak bisa dihindari itu pun, mendapat peluang untuk dimaafkan dengan cara ditebus kemudian saat sudah dapat melakukannya. Artinya, bukan hanya permaafan semata yang hendak diingatkan dari tuntunan laku spiritual yang diperintahkan oleh Tuhan ini, tetapi makna dari acara puasa-ulang itu semacam bagian dari upaya menjaga disiplin diri, konsistensi serta kejujuran yang perlu dimulai terhadap diri sendiri untuk kemudian dapat diimplementasikan terhadap orang lain.

Kegembiraan dan kebahagiaan dalam menyambut hari lebaran pun, tetap dalam satu rangkaian untuk mengendalikan diri, agar tidak sampai lupa diri. Sehingga — dalam suasana yang baru — semua tetap dalam pengawasan diri yang ketat (taat) tidak berlebihan dan lupa diri. Itulah hakikat dari segenap pakaian yang serba baru itu. Semacam simbolika dari samangat hidup yang baru, optimis, penuh rasa syukur, meski realitas dari pakaian yang ada itu sesungguhnya tidak ada yang baru. Persis seperti umur kita bang baru — saat ulang tahun misalnya — mungkin cuma sekedar bilangan angka usia saja yang baru. Padahal yang tak kalah penting adakah semangat hidup yang baru.

Agaknya, hanya dengan begitu pemahamam terhadap ibadah puasa dan makna dari perayaan hari lebaran itu dapat dinikmati sebagai bagian dari laku spiritual yang mengasyikkan.

Banten, 1 April 2024

Kans Jawara