Serangan Iran ke Israel baru-baru ini, sepertinya memang menemukan momentum yang tepat. Hal itu bisa dilihat dari beberapa analisis berikut di bawah ini :
Pecahnya perang Iran vs Israel yang ditandai serangan sepihak Israel memang mengejutkan dari segi militer. Namun sebagai tren global hal itu sebenarnya lebih pada kecerdasan Iran dalam membaca momentum yang menguntungkan.
Mencairnya ketegangan Arab Saudi-Iran yang dimediasi Cina beberapa waktu lalu, banyak yang luput dari perhatian para pengamat internasional. Bahwa dengan perkembangan ini, USA dan NATO sebagai polisi dunia berdasarkan skema Unipolar alias pengkutuban tunggal, sudah mulai keropos. Sebab dengan mencairnya Saudi-Iran, beberapa negara di Timur Tengah yang selama ini berkiblat pada US, mulai memandang Cina dan Rusia sebagai kutub alternatif terhadap hegemoni AS selama ini.
Alhasil, meski kondisi obyektif yang tercipta kemudian, AS dan NATO meski tidak menghadapi konfrontasi dengan Cina dan Rusia secara langsung seperti di era Perang Dingin, AS dan Inggris tiba-tiba menghadapi situasi yang disruptif. Artinya, meski tatanan global yang mereka rancang sejak pasca Perang Dunia II seakan tetap bertahan, namun fondasinya mulai kropos. Bahwa seturut damainya Iran-Saudi, maka polarisasi antara Saudi plus negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk yang dianggap satelit AS vs Iran mulai mencair pula. Sebab Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain yang selalu berkiblat pada Saudi sebagai pedoman, mulai memandang Iran bukan lagi sebagai musuh.
Nah, kembali ke keroposnya fondasi tatanan global AS-Inggris di Timur Tengah, salah satunya adalah terbentuknya Israel sebagai negara bangsa dengan mendorong pembelahan Palestina secara tidak adil lewat PBB pada 1947. Arab Palestina dengan populasi terbesar malah dapat bagian wilayah terkecil. Adapun Zionis Israel yang notabene merupakan kaum Yahudi Diaspora dari AS dan Eropa, yang berpopulasi lebih kecil, malah dapat luas wilayah lebih besar.
Yang luput dari perhatian banyak kalangan, substansi dari krisis di Timur Tengah paska terbentuknya Israel di Palestina, Inggris menggunakan zionis Israel sebagai ujung tombak pelestarian hegemoni Inggris yang belakangan dilanjutkan AS, di Timur Tengah. Celakanya, negara negara Arab di Timur Tengah berhasil digiring untuk memandang semata akibat konflik Arab vs Israel atau Islam vs Yahudi. Apalagi persaingan internal sesama negara Arab malah semakin tidak kondusif melihat hakekat konflik di Timur Tengah.
Dengan membaiknya Saudi yang merupakan pemain kunci Timur Tengah dan Iran sebagai pemain kunci Teluk Persia yang non-Arab, fondasi tatanan global yang dirancang AS dan blok Barat di kawasan ini mulai rapuh.
Penjelasan ini secara paralel harus dilihat lewat perkembangan internasional di forum lain. Terbentuknya blok ekonomi perdagangan BRICS yang dimotori oleh Brazil, Rusia, India, Cina dan belakangan Afrika Selatan, pada 2023 lalu bertambah lima negara lagi. Seperti Mesir, Iran, Arab Saudi, Mexico dan Ethiopia. Berita pikiran yang luput dari telaah, bahwa adanya forum BRICS berhasil mendorong negara negara yang selama ini cekcok dalam politik seperti India vs Pakistan atau Saudi vs Iran, bisa duduk satu meja dan kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangan.
Inilah yang kemudian membuahkan hasil adanya pergeseran dari Unipolar yang didominasi AS menjelma jadi Multipolar. Sehingga bukan saja ragam kutub tapi juga ragam para pemainnya.
Maka serangan Iran ke Israel menurut saya itu keniscayaan. Hanya saja kebetulan saat ini dipandang Iran momennya pas.
Namun makna strategis serangan Iran sejatinya merupakan “psywar” sebagai penanda bahwa sudah saatnya kekuatan kekuatan global lama dari Barat mengubah aturan main lama dengan aturan main baru. Termasuk terkait penyelesaian konflik Arab-Israel di Palestina.
Dampak bagi Indonesia sangat tergantung pada visi geopolitik para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri termasuk Kemlu. Kalau masih tetap dengan cara pandang lama bahwa ini masih sebagai konflik Arab-Israel, kita akan kehilangan perspektif strategis. Bahwa saat ini merupakan momentum kebangkitan negara-negara berkembang untuk memainkan peran strategisnya di pentas global. Sungguh ironis jika sebagai pelopor Konferensi Asia Afrika Bandung 1955 dan Gerakan Nonblok Beograd 1961, Indonesia saat ini malah cuma jadi penonton pasif.