
Oleh : In’amul Mustofa M.IP
Tanggal 20 Oktober 2025 yang baru lalu adalah satu tahun pemerintahan Prabowo Gibran, suatu masa dimana prosesnya seperti biasa ditunggu oleh masyarakat. Pun pada sisi lain suara kritis atas perjalanan satu tahun juga menjadi hal baru yang ditunggu oleh banyak pihak. Apalagi musuh besar bangsa Indonesia adalah korupsi. Mari dilihat bersama terkait kebijakan dan Kepemimpinan Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi suka tidak suka telah menunjukkan beberapa langkah positif. Pemerintahannya telah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menambah anggaran operasional sebesar 20% dalam APBN 2025.
Selain itu, terdapat peningkatan 30% dalam penanganan kasus korupsi selama tiga bulan pertama kepemimpinannya dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan arti lain kesungguhan memberantas tidak hanya sebatas di atas panggung, namun ditunjukkan dengan senyap, damai dan menusuk. Tiga kata terkahir seperti menjadi yang ‘khas’ pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Era Berantas Korupsi
Alhasil dari statitik yang dapat dicermati bersama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melaporkan beberapa statistik penindakan korupsi hingga Oktober 2025 Penyelidikan: 1851 kasus, Penyidikan: 1709 kasus, Penuntutan: 1433 kasus, Inkracht: 1278 kasus, Eksekusi: 108 kasus. Penangkapan Tokoh Besar: Beberapa tokoh besar, termasuk dua mantan menteri dan seorang gubernur, telah ditangkap karena kasus korupsi, bahkan mafia minyak yang sebelumnya tidak tersentuh oleh hukum kini Mafioso itu harus berurusan dengan para penegak hukum. Langkah kedua Transparansi Anggaran: Prabowo menginstruksikan kementerian dan lembaga untuk mempublikasikan laporan anggaran secara berkala. Kebijakan ini bagus jika terjamin efektivitasnya yakni dengan kontrol dan pengawasan dengan demikian instruksi tidak berasa himbauan. Hal tersebut cukup beralasan karena korupsi sudah berurat akar maka hal-hal terkait transparansi anggaran hanya menjadi isapan jempol belaka. Laporan sekedar laporan, hanya memiliki arti administrasi.
Maka penulis mengusulkan agar pada setiap Departemen ada badan khusus yang diisi oleh kaum independen atau ditunjuk oleh KPK untuk mengawasi efektivitas laporan keuangan/anggaran secara berkala sekaligus akan mendukung reformasi birokrasi.
Sekarang bagaimana dengan daerah, perlu langkah cepat untuk mendukung dan memastikan langkah strategis dan taktis mempersempit ruang gerak koruptor (niat korupsi). Maka perlu dipertimbangkan adanya KPK pada level daerah, agar pemerintahan tidak berjalan sentralistis sekaligus senafas dengan amanat konstitusi terkait dengan desentralisasi daerah Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2014). Pilihan lain adalah zonasi, pembagian wilayah kerja; misal KPK wilayah Barat, Tengah dan Timur. Alternatif-alternatif ini disodorkan semata untuk memperingan kinerja KPK yang hanya terpusat, satu KPK sepertinya berat untuk memberantas korupsi yang sudah berurat akar! Harapannya jelas untuk mengairahkan demokrasi politik lokal dan kesejahteraan sosial politik dan ekonomi daerah. Tanpa mengabaikan kinerja penegak hukum lain tetapi suka tidak suka baik kepolisian dan Kejaksaan sedang menjadi sorotan public dan sedang berbenah diri. Maka KPK daerah dengan semangat otonomi daerah menjadi hal urgen, sifatnya juga sementara setelah nanti kepolisian dan Kejaksaan dianggap beres dan mampu menjalankan fungsinya tentu KPK dengan sendirinya akan dibubarkan.
Kritik Herman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), yang menilai bahwa kebijakan desentralisasi saat ini belum sesuai dengan amanat UU. Maka saran agar pemerintah memperkuat otonomi daerah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sepertinya sudah tidak bisa ditawar, bangsa sebesar Indonesia dikelola secara terpusat hanya menghasilkan kesenjangan ekonomi dan politik begitu besar. Otonom dalam merencanakan, menjalankan dan mengawasi serta mengevaluasi perjalanan kebijakan daerah meliputi juga dalam pemberantasan korupsi. Soal daerah sebaiknya diselesaikan oleh daerah, dan kemudian ada cawe-cawe pemerintah pusat jika diminta oleh daerah atau atas pertimbangan Pemerintah Pusat sehingga perlu bersama dan membersamai Pemerintah Daerah.
Momentum
Di berbagai panggung Presiden Prabowo Subianto sudah mencanangkan akan mengejar dan perang terhadap para koruptor dan pencuri-pencuri. Bahkan Presiden pasang badan, bahwa negara tidak boleh kalah dari para maling dan perampok. Semakin terkuaknya praktek busuk dan kongkalikong untuk merampok kekayaan alam Indonesia antara pemangku kebijakan (pemerintah) dan Perusahaan swasta dalam dan luar negri. Menjadi pertanda dan sinyal kuat bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja, ada upaya busuk untuk menjarah, korupsi berjamaah dengan berbagai varian dan tingkatan sehingga sampai berasa bahwa tindakan tersebut diperbolehkan, dan sah.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Tentu karena aparat dan pemangku kebijakan mempersilahkan dengan payung hukum. Payung hukum pun ternyata banyak terbit dari Gedung senayan yang diisi oleh para wakil rakyat. Maka ketika terkuak berbagai korupsi dan perampokan SDA di Indonesia para maling dan pemangku jabatan justru saling adu strategi bagaimana agar mereka tidak terjerat hukum atau minimal operasi busuknya tetap berjalan. Miris memang, ditengah kualitas demokrasi politik dan ekonomi menurun ternyata banyak sekali praktek-praktek politik dan ekonomi yang ujungnya membodohi, membohongi dan meninabobokan rakyat. Pada titik ini Presiden Prabowo menggugah rakyat kembali, seolah dengan lembut ia berbisik pada rakyat, ”Hari ini aku sendiri, melawan para maling besar-besar itu. Aku akan atur dengan waspada untuk menerkam mereka namun tolonglah engkau semua wahai rakyatku, berdirilah di belakangku sehingga aku tidak mundur selangkahpun saat berperang dengan pencoleng, perampok dan koruptor.”
Bagaimana posisi rakyat mendengar bisikan tersebut apakah ini momentum untuk bergerak atau tetap diam saja?
Penulis adalah Direktur Eksekutif LeSPK (lembaga studi pendidikan dan kebangsaan) Yogyakarta











