Oleh : Kang Iswanto
Banyak sekali nasehat-nasehat dari berbagai kalangan bahwa kita harus belajar bersabar. Agar supaya hidup bisa tentram dan damai. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang tidak menganjurkan pemeluknya untuk bersabar.
Intinya, doktrin tentang sabar saat ini posisinya seperti angin lalu saja. Jamak terjadi di masyarakat, bila sedang menemui sesamanya sedang mengalami musibah atau bencana, maka kata-kata mantra dan puitis itu selalu disampaikan: “yang sabar ya”. Wong sabar ki gede wekasane (orang yang bisa bersabar itu pada akhir dan ujungnya akan mendapatkan kemenangan atau kebaikan yang besar).
Kata-kata itu memang indah, tetapi kenyataannya berlalu begitu saja. Tidak berbekas sama sekali di dalam rasa dan perasaan. Seakan kata itu tidak ada hubungannya dengan diri kita, bahkan pada saat kita dirundung masalah dan musibah. Dilihatnya itu sebagai kata-kata menghibur belaka. Sebab hanya kata itu yang pantas disampaikan kepada orang yang tengah menghadapi kemalangan. Namun orang yang dihibur, tak juga mampu keluar dari bingkai kesedihannya.
Permasalahannya adalah bagaimana kita bisa mengenali hakekat dan wajah dari ‘sabar itu. Bukan Kang Sabar suaminya Yu Tumini itu lho ya.
Begini, ada kisah seseorang tengah berdo’a kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon agar diberi kesabaran dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Ketika dia keluar dari ruangan tempat biasa sholat dan berdo’a, didapati sikap anak dan istrinya seperti lain dari biasanya. Mereka bertingkah aneh-aneh, yang membuatnya jengkel dan marah. Cerewet dan bawel. Intinya apa yang dibuat dan dikatakan, tidak ada yang menyenangkan.
Kemudian ketika keluar rumah untuk jalan-jalan, sekedar menghilangkan sumpek di rumah. Hal yang lebih menjengkelkan dijumpai di jalan. Motornya mogok. Pas berjalan menuju warung kopi, kakinya tersandung. Kemudian di dalam Warung Kopi itu dia ketemu dengan sosok yang dibencinya.
Dunia terasa gelap sekali baginya. Inilah ‘hari paling sial’ dalam hidupnya. Mau tak mau, rasa geram bergemuruh di dadanya. Rasa jengkel, marah dan benci menjalar di dalam dirinya. Tidak berdaya menghadapi kejadian ini semuanya.
Menerima Yang Ada
Dadanya menjadi sempit sesak. Mau berteriak sekuatnya, tetapi malu. Cuma hatinya yang menjerit-jerit dan meronta. Tidak tahu apa yang harus dibuatnya, hanya sekedar untuk mengurangi beban yang membuncah. Bingung sebingung-bingungnya.
Pada akhirnya dia terduduk lesu dalam ketidakberdayaan. Menyerah pasrah dengan sendirinya. Bukan menyerah buatan, yang dibuat-buat. Tetapi menyerah luar dalam, tembus ke dalam hatinya.
Tiba-tiba semacam ada suara yang mengingatkannya: “Tadi berdo’a mohon kesabaran, lantas kenapa ketika ‘sabar’ mau datang menemuimu, lantas kamu lari”. Dirinya menjadi tersentak kaget. Menjadikannya tersadar.
Peristiwa dan kejadian sejak dia berdo’a tadi kembali berputar, seperti layaknya nonton film yang dirinya menjadi bintang utamanya. Kalau boleh dikasih judul adalah: “orang paling sial sedunia”.
Kini, ia menjadi tersadar dan mengerti, bahwa segala hal dan peristiwa yang membuatnya jengkel, marah, dan benci itu adalah “cara Allah mendidik dirinya agar bisa memakai pakaian sabar”.
Rupanya, “si sabar” itu hadir bersamaan dengan peristiwa dan hal-hal yang membuat kita jengkel, marah, benci, sedih, cemas, ragu, dan takut. Bila kita tidak mampu menerimanya dengan baik, itu sama halnya kita tidak membiarkan “si sabar” masuk ke rumah, yaitu hati kita. Dan menjadi pakaian kita.
Oooh mak sakitnya. Huuuuhhhh, kalau tahu gini kejadiannya… Dan dia tak berani meneruskannya, sebab dirinya memang sedang “belajar bersabar”.
Wahai kawan-kawan sekalian, jangan sekaki-kali dan berani-berani berdo’a kepada Tuhan agar diberi kesabaran, bila anda tidak punya nyali menghadapi dan menelan rasa sakit, pahit, perih, dan getir itu. Yang hadir mengiringi langkah si sabar untuk menemui kita.
Jambi, 4 Juni 2024