Oleh: Mahbub Djunaedi
Bung Karno merupakan tokoh pemersatu bangsa, tapi juga menempatkan Indonesia sebagai bangsa bermartabat dalam pergaulan dunia.
Boleh jadi, karena dari sononya ia sebagai tokoh nasionalis nomor satu yang berdiri paling depan dalam gerakan pembebasan negeri dari tindasan penjajah, tak kenal takluk dan tak kenal kompromi, Bung Karno senantiasa menggabung pena dan podium sebagai senjata untuk mengerakkan massa dalam satu tangan. Siapa yang sempat membaca Suluh Indonesia Muda (tahun 1926-1927-1928) akan mengerti arti pentingnya sebagai kolomnis.
Dan siapa yang membaca tulisan Swadesi dan Massa Aksi di Indonesia (tahun 1932), akan mengerti betapa ia menggabungkan semangat masa untuk mempertajam kesadaran serta keberanian penduduk melawan penindasan. Bagi siapa saja yang sempat membaca tulisannya di koran Fikiran Rakyat (tahun 1932) akan mengerti betapa ia dengan pas sekali memanfaatkan pena sebagai senjata untuk menyadarkan penduduk dan membuka mata mereka terhadap tekan-tekanan tidak adil yang menimpanya, bagaikan Arya Bima Putera yang menyongsong fajar terang cuaca.
Boleh jadi, karena itulah pada suatu saat sebagai presiden ia menimbang-nimbang, bagaimana mestinya seorang diplomat itu. Bukanlah diplomat itu sosok pria yang sedikit tambun, amat klimis, uban merambah di jambang-jambangnya, senantiasa senyum dan kalau menguap tidak kelihatan giginya, omongnya sulit ditangkap ujungnya dan suka mengulum cerutu.
Cita revolusioner menjungkirbalikkan semua itu. Tidak, yang terbaik jadi diplomat adalah wartawan, tidak peduli sedikit klomprot dan rambut acak-acakan. Seorang duta besar, misalnya, perlu tanggap dan vokal. Kalau perlu sedikit brutal, tak perlu berbelat belit, merasuk kemana-mana. Makanya, tak pernah dalam sejarah Indonesia ada delapan duta besar yang semuanya diambil dari wartawan: B.M Diah, Tahsin, Djawoto, Asa Bafaqih, Armunanto, Sutrisno, Adam Malik, dan belakangan menyusul Aminudin Aziz.
Dan boleh jadi, karena itu pulalah, pada saat lain Bung Karno memikirkan peningkatan kualitas dan integritas wartawan agar punya pengetahuan yang luas tentang sejarah dunia dan filosofi-filosofi besar sebagai bahan bandingan, karena hanya dengan jalan itu mudah memahami watak dan tujuan revolusi serta memahami benar siapa lawan siapa kawan. “Kamu meng-upgrade wartawan supaya meningkatkan kualitas dan berwawasan sejauh mata memandang,“ kata beliau. Maka, diadakanlah up-grading wartawan seluruh Indonesia oleh PWI Pusat di bawah pimpinan Dra. Basariah Simorangkir tahun 1966.
Ketika rencana pelajaran saya kedodoran, beliau segera melihat kekurangan-kekurangannya, “Kok tidak ada Marxisme?”
Ketika saya bilang bagaimana mencari orang yang mengerti Marxisme di tahun 1966, Bung Karno menjawab, “Sebagai ilmu, mesti dipelajari semua, termasuk Marxisme. Bagaimana omong-omong anti Marxisme tanpa mengerti Marxisme sama sekali. Setuju tidak setuju, itu soal kedua, tapi paham itu perlu. Mana bisa kita anti marxisme tanpa pernah mengerti apa-apa tentang ilmu itu“.
Maka, Soewito Koesoemowidagdo pun ditunjuk mengajar. Soewito bekas sekjen Departemen Luar Negeri RI bukan Marxis tapi mengerti Marxisme.
Apakah Bung karno sendiri seorang Marxis? Tanpa tedeng alig-aling, sejak tahun 1926 ia sudah menulis di Suluh Indonesia Muda tentang “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.” Ia menganggap itulah asas-asas yang diperlukan oleh semua pergerakan rakyat Asia. Ketiga asas itulah yang menjadi rohnya pergerakan rakyat di Indonesia.
Sebagai nasionalis, ia menolak jinggo nasionalisme Aria Samay, yang memecah-belah persatuan Hindu-Muslim. Sebagai nasionalis, ia dengan tegas membedakan antara wijsgerig-materialisme yang memberi jawaban atas pertanyaan hubungan antara pikiran serta benda historis-materialisme yang mempelajari tumbuhnya pikiran. Dengan tegas ia membedakan antara materilisme filsafat dan materialisme historis.
Dua paham yang membedakan secara mendasar inilah yang sering dipertertukarkan secara keliru, sehingga menimbulkan salah paham. Sikapnya yang membuang marxisme yang filsafat, dan memakai marxisme sebagai pisau analisa masalah-masalah sosial, membuktikan ia seorang revisionis, seperti Karl Marx sendiri berulangkali merevisi pendapatnya sesuai dengan kondisi obyektif yang terjadi.
Sebagai muslim, jelas Bung Karno merupakan pembaharu di negeri ini. Ia ingin menangkap api Islam dan bukan abunya. Orang yang melihat kapitalisme sebagai ibu kandung kolonialisme adalah musuh utama, baik Islam maupun Marxisme. Karena mertiennarde, menurut istilah marxis, tak lain tak bukan riba menurut Islam.
Bung Karno bukanlah orang pertama yang melihat hubungan sosialisme di satu pihak dan Islam di lain pihak, karena H.O.S Tjokroaminoto sudah mengeluarkan tulisan “Islam dan Sosialisme” di tahun 1924. Inti tulisan itu menganggap perlunya umat memerangi paham kapitalisme atau “paham penarik kekayaan”, menurut istilah Tjokroaminoto, serta berikhtiar sekuat-kuatnya untuk menggalang persatuan kaum buruh dan petani.
Yang sudah pasti, Bung Karno percaya diri dan yakin betul akan kebesaran Indonesia. Ketika tiba di Kairo menjelang KTT Non Blok II, urutan pembicara untuk pembukaan, ia dijadwalkan sebagai pembicara nomor tujuh. Ia tidak mau ikut urutan itu. Ia hanya mau menjadi pembicara pertama atau mengancam pulang ke Jakarta.
Menlu Subandrio kelabakan, menggeser pembicara-pembicara lain yang terdiri atas kepala-kepala pemerintahan itu. Akhirnya, Presiden Indonesia itu menjadi pembicara utama dengan judul pidatonya “The Era of Confrontation”, yang mencanangkan kebangkitan “Dunia Ketiga” sebagai kekuatan yang mesti diperhitungkan oleh para superkuat, dengan Indonesia sebagai pemain intinya. Ia megalomania. Ia congkak menghadapi dunia luar. Tapi rasanya, itu lebih baik daripada merunduk.
#bulanbungkarno
Catatan: tulisan ini pernah dimuat di Tempo, 24 September 1988/fbhendrajit