Menjelang akhir tahun 1998

Kelana mulai memasuki masa perkuliahan. Di kelas Sejarah Film Dunia, ruang kelas Fakultas Film dan Televisi diisi lebih dari 60 orang! Kelas yang tak begitu luas terasa sempit, walaupun ber AC namun menghangat, seorang dosen berwajah dingin, berambut putih dengan kacamata tebal menjinjing buku masuk ke dalam kelas.

Bukan materi kuliah yang beliau sampaikan, melainkan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada seluruh mahasiswa di kelas itu.

“Mengapa kalian bikin film?”


Semua murid tercekat, tak terkecuali Kelana. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba, dari seorang dosen yang bahkan belum memperkenalkan dirinya sama sekali.

Dan di ketika para mahasiswa mencoba menjawab, ternyata tak satupun jawaban dibenarkan oleh sang dosen.

Hari-hari berikutnya Kelana semakin asyik menyimak materi kuliah Sejarah Film Dunia tentang berbagai macam kisah sejarah sinema di berbagai belahan bumi ini.

Apa yang terjadi di ruang bawah Le Grand Café 14 Boulevard des Capucines pada pada tanggal 28 Desember 1895 ketika Auguste dan Louis Lumière mengundang pengunjung duduk dalam pemutaran hasil rekaman sinematografi dan apa yang terjadi selanjutnya pada salah seorang penonton bernama Melies?

Apa yang terjadi pada revolusi Bolshevik dan sinema yang melahirkan kamerad-kamerad kampiun semacam; Pudovkin, Esenstein, Kulesov, Dziga Vertov?

Apa yang memicu lahirnya revolusi 1968 di Perancis? Apa peranan orang-orang film seperti; Andre Bazin, Jacques Doniol-Valcroze, dan Joseph-Marie Lo Duca, Jacques Rivette, Jean-Luc Godard, Claude Chabrol, dan François Truffaut? Dan apa sumbangsih majalah Cahiers Du Cinema pada perubahan-perubahan itu?

Apa yang terjadi di Hollywood – California pada pusaran 1920 an ketika revolusi sosialisme terjadi di Russia? Bagaimana film-film Bollywood merambah pangsa pasar dunia?

Bagaimana Robert J Flaherty pada tahun 1920-an mengatasi situasi sulit dan tetap membuat film di kutub utara dan menjadi salah satu tonggak penting sejarah film dokumenter?

Mengapa Charlie Chaplin mengkritik Hitler yang fasis? Dan apa kandungan-kandungan estetik politis dari film-filmnya yang bisu itu?

Bagaimana Thomas Edison memonopoli hak paten Kinestoscope? Dan apa yang terjadi pada masa itu di Amerika berkaitan dengan gugat-menggugat antar penguasa teknologi kamera di awal abad 19?

Bagaimana Akira Kurosawa mempengaruhi Barat (Holywood) dan kemudian lahirnya film bergenre Western?

Apa yang terjadi pada situasi pasca Nazi? Lahirnya New German Cinema? Dan lain-lain dan lain lainnya.

Chalid Arifin nama dosen itu, sekolah filmnya Institut des Hautes Etudes Cinematographiques Paris. Ia mengalami masa-masa pergolakan kaum muda di Perancis, beririsan sejarahnya dengan para kampiun filmmaker pelopor revolusi 1968. Kelana dan kawan kawannya memanggilnya Pak Chalid.

Ia mengajarkan sesuatu yang sangat bermanfaat kelak dikemudian hari untuk mahasiswanya. Yaitu pemahaman tentang selera sinema dunia, selera global yang dipahami berdasarkan pengetahuan dari sejarah sinema itu.

Selain sejarah sinema dunia, guru Chalid Arifin juga menceritakan tentang pelopor perfilman nasional Indonesia seperti ; Usmar Ismail, Jamaludin Malik, Asrul Sani, dana kisah-kisah filmmaker Indonesia pada situasi pasca revolusi fisik 1945. Bagaimana pengaruh Belanda dan Jepang dalam kelahiran perfilman di Indonesia?

Namun, khusus pada bagian pusaran tahun 1965-1970-an ia begitu tertutup, tiada cerita apapun. Mungkin karena anu.

Dari guru Chalid, Kelana banyak mencatatkan tonggak-tonggak peristiwa sinematik yang dipengaruhi oleh berbagai pemicu. Bisa disebabkan karena revolusi sosial, bisa karena pergolakan politik, krisis ekonomi karena perang, penemuan teknologi baru, wabah penyakit, atau pemberontakan estetika dari kelompok-kelompok anti kemapanan yang bergerak melakukan perubahan.

Dari kelas guru Chalid, Kelana banyak mendapatkan pengetahuan tentang sejarah, sebagai batu penjuru wawasan sinematik, cara pandang terhadap media film, dan potensi-potensi yang terkandung di dalamnya.

Di tahun 1998 yang penuh gelora itu, mata kuliah guru Chalid menjadi penyemangat bagi Kelana untuk turun ke jalan, seperti semangat anak-anak muda Perancis 1968 melahirkan revolusi. Kelana mau film jadi media pembebasan bagi kaum tertindas!

Lantas, apa jawaban yang benar dari pertanyaan pertama di kelas dari guru Chalid?

Jawabannya ternyata terletak pada dialektika yang dihadapi murid-muridnya bahkan jauh setelah lulus dari Cikini Raya 73!

*Pada 4 Januari 2004, guru Chalid Arifin wafat. Kelana mengantarkan sang guru hingga ke liang lahat bersama segenap misteri 1965 di dalam ingatan.

Merci beaucoup monsieur Chalid. Soyez heureux au paradis.

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar