Oleh : Rina Sherly

Salah satu pahlawan wanita asal Aceh yang terkenal adalah Cut Meutia. Cut Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak (Perlak), Aceh Utara, pada tahun 1870. Cut Meutia merupakan anak perempuan satu-satunya yang lahir dari pasangan Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Ayahnya merupakan salah seorang ulama dan pemimpin pemerintahan di daerah Pirak pada waktu itu.

Selama hidupnya, Cut Meutia pernah menikah sebanyak tiga kali. Suami pertamanya adalah Teuku Syamsarif yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Bintara. Ketidaksamaan visi dalam perjuangan akhirnya membuat pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Cut Meutia menganggap suaminya bekerjasama dengan Belanda pada waktu itu, sementara Cut Meutia sendiri adalah perempuan yang mati-matian melawan Belanda yang menjajah pada saat itu.

Cut Meutia menikah lagi untuk kedua kalinya dengan Teuku Chik Muhammad yang tak lain adalah saudara dari suami pertamanya. Suami kedua Cut Meutia ini lebih dikenal dengan sebutan Teuku Chik Tunong. Bersama suami keduanya ini, Cut Meutia akhirnya semakin semangat melakukan perlawanan melawan Belanda. Namun akhirnya suami keduanya meninggal karena di eksekusi oleh Belanda di tepi laut kota Lhokseumawe.

Setelah Teuku Chik Tunong meninggal, maka sesuai wasiatnya Cut Meutia menikah lagi dengan Pang Nanggroe. Bersama suami ketiganya ini akhirnya mereka melanjutkan perjuangan melawan penjajahan Belanda.

Di desa kelahirannya, terdapat Rumah Cut Meutia. Tepatnya di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Jaraknya dari kota Lhokseumawe sekitar satu jam perjalanan dengan jarak tempuh kurang lebih adalah 31 kilometer.

Berkunjung ke rumah Cut Meutia ini, kita akan disambut dengan pemandangan khas desa berupa sawah-sawah. Ketenangan dan kesejukan jelas terasa ketika menjejakkan kaki di lokasi rumah panggung tersebut. Rumahnya cukup terawatt dan terlihat masih begitu kokoh. Halamannya pun ditumbuhi dengan pepohonan dan bunga-bunga yang tumbuh dengan rapi.

Di halaman rumah tersebut terdapat satu Monumen Cut Meutia yang menggambarkan Cut Meutia sedang menggunakan pedang. Dia memang dikenal akan kelihaian dalam memainkan pedang. Replika tangan Cut Meutia yang memegang pedang tersimpan dengan baik di dalam rumahnya tersebut.

Selain itu, terdapat bangunan lainnya yang berbentuk bulat yang disebut dengan Kroeng. Kroeng dalam Bahasa Aceh berarti karung. Kroeng ini digunakan sebagai tempat menyimpan padi pada masa itu. Di dekatnya juga terdapat jeungki. Jeungki adalah alat yang digunakan untuk menumbuk padi. Tak hanya itu, di halaman rumah Cut Meutia juga terdapat sebuah balai berukuran sedang. Konon di bangunan inilah dulunya Cut Meutia mengadakan rapat bersama pasukannya dalam menyusun taktik strategi dalam melawan Belanda.

Cut Meutia dikenal dengan sifat pantang menyerahnya. Berkali-kali pasukan Belanda memburunya hingga ke hutan, namun tak pernah berhasil. Ia akhirnya tewas di tangan Belanda setelah 3 peluru menembus kepala dan dadanya. Nama dan wajah pahlawan wanita nasional asal Aceh ini diabadikan oleh Bank Indonesia di dalam uang kertas pecahan Rp1.000 sejak tahun 2016 lalu
Kans Jawara

Tinggalkan Komentar