Oleh : Ade Irwansyah
“Populasi Amerika sepuluh kali lipat populasi Kanada. Jika kedua negara berperang dan Kanada memilih cara-cara tak biasa, menurut sejarah sebaiknya Anda menjagokan Kanada.”
— Malcolm Gladwell, David and Goliath (2013) —
Setelah menggempur Gaza habis-habisan, Israel mulai melancarkan serangan darat ke Gaza. Dan saya pun teringat dua hal: invasi Amerika ke Afganistan serta buku Malcolm Gladwell berjudul “David dan Goliath”.
Usai serangan mendadak Hamas ke tanah Israel awal bulan Oktober yang menewaskan 1.400 warga Yahudi dan menawan 200 lainnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung memproklamirkan serangan tersebut dengan analogi teror ISIS dan berjanji akan melumat Hamas hingga ke akarnya. Namun, sepembacaan saya pada analisis di media-media Barat, seperti The Economist, analogi yang tepat bukanlah ISIS, tapi serangan teror Al-Qaeda dan reaksi Amerika menyerang Afghanistan.
Jadi, begitu Al-Qaeda melakukan serangan pada 11 September 2001 yang menghancurkan menara kembar WTC dan sebagian sisi Pentagon serta menewaskan 3.000-an orang lebih, AS langsung bereaksi menyerang Afghanistan. Pemerintah Taliban yang dianggap berkawan dengan Al-Qaeda berhasil digulingkan dengan segera. Namun Amerika harus bercokol di sana selama 20 tahun (perang terlama buat AS) sebelum meninggalkan Afghanistan tanpa memenangi perang. Yang didapat cuma kesia-siaan selain ongkos ekonomi yang harus ditanggung rakyat Abang Sam.
Israel tampaknya akan meniti jalan yang sama dengan abang besarnya itu. Perang di Gaza diramal akan berlangsung lama, mahal, dan berdarah-darah tanpa ada jaminan Israel bakal bisa melumat Hamas hingga ke akarnya. Sebab, pangkal soalnya, seperti teror 9/11 (nine/eleven), reaksi israel atas serangan Hamas awal Oktober persis Amerika dahulu: serangan teror sekalompok kecil dibalas dengan serangan pada sebuah komunitas (baca: negara dan bangsa).
Banyak yang bilang, dengan menggempur Gaza habis-habisan dan membunuh rakyat sipil lebih banyak dari pada yang dilakukan Hamas, Israel sesungguhnya telah masuk perangkap Hamas.
Kini, dunia internasional kian mengecam Israel. Dan serangan darat dan udara ke Gaza bukan jaminan Hamas ikut hancur. Yang terjadi mungkin kian banyak anak-anak yang selamat dari Gaza yang luluh lantak kelak akan bergabung dengan Hamas dan meneror Israel entah sampai kapan.
Sejak awal, kisah Israel lawan Hamas adalah versi lain dari cerita Daud lawan Goliat yang kebetulan terjadi di wilayah yang sama bermilenia lalu. Orang sering takjub bagaimana Daud yang dianggap lemah bisa mengalahkan raksasa kuat seperti Goliat. Namun, seperti diungkap Malcolm Gladwell, sebetulnya sudah hampir pasti Daud bisa mengalahkan Goliat. Dalam tradisi militer, Goliat adalah bagian dari infanteri atau pasukan darat yang bersenjatakan pedang dan baju zirah yang berat. Memang terlihat kuat dan membuat jeri, tapi ia juga bergerak lambat dan jadi sasaran empuk buat pasukan proyektil yang bersenjatakan ketapel dan batu.
Ketika Daud yang sangat terlatih melempar batu melawan si kuat lamban, Daud seperti sudah ditakdirkan sebagai pemenang. Sebelum Goliat melayangkan pedangnya, Daud sudah melemparkan batu tepat ke dahi Goliat. Seketika Goliat tumbang.
Namun, orang memang seperti tak pernah mau belajar sejarah. Sebeum kalah di Afghanistan, Amerika dibikin malu di Vietnam. Di Irak pun mereka tak menang.
Harusnya Israel belajar dari abangnya. Daud selalu menang lawan Goliat…