Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo
Luar biasa. Tak lama setelah menulis “Antara Starling & Bahaya StarLink, bak Ndoro Tuan & Bedinde” kemarin, HP saya “tang tung tang tung” terus menerus, menandakan banyaknya notifikasi pesan masuk, baik Japri langsung maupun melalui beberapa WAG yang saya ikuti dan memuat tulisan tersebut. Secara umum rata-rata ingin memastikan apakah bisa benar-benar bahaya jika pola seperti StarLink itu dibiarkan masuk dan merusak ekosistem bisnis telekomunikasi dan internet Indonesia.
“Opo rak bahaya tah …?” demikian contoh salah satu pesan yang saya terima menyusul dimuatnya tulisan tersebut di berbagai media yang sudah memuatnya (terimakasih). Ya, memang bahaya kalau Rezim ini tampak sekarang hanya senang menjadi kernet (baca: calo) dari para investor asing yang hanya mau menjalankan bisnisnya di sini tanpa mau menggerakkan Ekonomi lokal, minimal tenaga kerja bangsa sendiri. Lihat saja pabrik-pabrik yang beroperasi dengan merusak alam di mana-mana, para pekerja kasarnya pun harus “diimpor” misalnya dari China. Padahal sudah banyak Video-video fakta hal ini diungkap, tetapi masih saja dikatakan “Hoax” (?) oleh Rezim ini yang terkesan melindungi dan malah jadi centeng mereka.
Kalau yang datang itu pekerja yang berkemampuan tertentu masih bisa dimaklumi, tetapi sudah banyak terbukti bahwa mereka adalah unskill-labor alias Pekerja kasar yang malahan lebih tidak terampil dibandingkan kinerja TKI kita, bahkan sampai (maaf) BAB-pun mereka banyak yang tidak terlatih, alias sembarangan di mana-mana. Inilah yang menimbulkan kericuhan bahkan sampai kerusuhan di beberapa pabrik tempat mereka didatangkan, karena terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi antara TKA (mayoritas China) dan TKI. ironisnya RUU Cilaka, kini jadi UU Ciptaker tampak tidak berdaya dan malah lebih menguntungkan bagi mereka.
Wajar jadinya kalau banyak komentar dari masyarakat yang masih punya derajat kewarasan yang tinggi untuk mewaspadai hal ini, tak sedikit pula di antaranya yang mengkhawatirkan akan dibawa (baca: dijual) ke mana lama-lama bangsa ini kalau terus-terusan begini. Karena suara yang masih kritis selalu dikatakan dengan sebutan kaum “nyinyiris”, bahkan tidak jarang dituduh separatis atau bahkan ada yang dicap teroris, padahal sesungguhnya mereka-mereka justru yang masih memiliki jiwa nasionalis dibanding para kernet berbaju pejabat di Rezim ini yang jelas-jelas oportunis dan bahkan terhadap penduduk sekitarnya pun bertindak sadis.
Kembali ke soal satelit, saya tidak akan pernah lupa peristiwa 48 (empat puluh delapan) tahun silam, tepatnya di hari Kamis, 08 Juli 1976. Saat itu masih kelas 3 SD / Sekolah Dasar Netral di Jogja, mendadak pelajaran dikosongkan untuk menonton bareng-bareng berita dari TVRI melalui sebuah pesawat televisi kabinet, alias “Jengki” kalau istilah barang antik sekarang yang berukuran 20 inchi dan tentu saja masih berupa TV tabung sinar katoda hitam putih. TV yang sebelumnya terletak di ruang kepala sekolah tersebut dipindahkan ke ruang aula sekolah agar bisa memadai ditonton oleh sekitar 250-an siswa dari Klas 1 sd Klas 6, seru.
Acara “NoBar” kalau istilah sekarang ini tempo doeloe malah seringnya dilakukan bilamana ada siaran langsung pertandingan tinju Muhammad Ali yang disiarkan melalui TVRI. Jadi ketika saat itu seorang reporter TVRI bernama Ishadi Soetopo Kartosapoetro, yang akhirnya dikenal sebagai Pak Ishadi SK, mantan DirJen RTV yang kini di TransTV (setelah sebelumnya di TPI dan tentu saja TVRI melaporkan sebuah peristiwa bersejarah dari Cape Kennedy, sekarang bernama Cape Canaveral, peluncuran SKSD / Sistem Komunikasi Satelit Domestik bernama Palapa A1 menggunakan roket Delta 2914.
Masyarakat patut sangat berbangga, karena SKSD Palapa ini menempatkan Indonesia sebagai negara ke-3 (tiga) di seluruh dunia yang mengoperasikan Satelit GSO (Geo Stationer Orbital). Nama Palapa secara filosofis dipilih oleh Presiden Soeharto saat itu sebagai perwujudan “Soempah Amoekti Palapa” dari Mahapatih kerajaan Majapahit Gadjah Mada yang bertekad tidak akan makan buah Palapa sebelum Nusantara bersatu th 1258 Saka (1336 Masehi). Satelit Palapa A1 beroperasi hingga tahun 1983 di Orbit 83° BT sebelum digantikan Satelit Palapa A2 tgl 10/03/1977 yang berada di Orbit 77°BT. Secara teknis jenis Satelit Palapa A ini Mengusung 12 Transponder yang mayoritas digunakan untuk kepentingan sambungan telepon dari Sabang sampai Merauke dan juga pancar ulang Siaran-siaran RRI & TVRI.
Semenjak Indonesia memiliki Satelit Palapa B1 pada 18/06/1983 di Orbit 113°BT yang berkapasitas dua kali pendahulunya (24 Transponder), terlebih saat memiliki Satelit Palapa B2P (P singkatan dari “Pengganti” karena Palapa B2 sempat hilang saat diluncurkan, sebelum akhirnya diambil kembali dan menjadi Palapa B2R), satelit jenis Palapa B ini menjadi “Hot Bird” di Asia karena negara-negara tetangga belum memiliki satelit sendiri seperti sekarang. Tak heran Palapa B2P laris manis disewa stasiun-stasiun TV Asia (saat itu) seperri RTM1,2 dan TV3 (Malaysia), ABS-CBN (Philipina), BBTV, ArmyTV (Thailand), hingga Ch.7 & Ch.9 (Australia). Sejak inilah juga popularitas antena parabola menjadi marak di Indonesia, karena orang bisa menyaksikan tidak hanya siaran-siaran TVRI tetapi juga TV-TV LuarNegeri yang menyewa transponder Palapa B2P.
Teknologi terus berkembang, kini negara-negara tetangga Asia sudah juga memiliki satelitnya sendiri-sendiri, misalnya MeaSat (Malaysia), Thaicom (Thailand), InSat (India), Agila (Philipina), Chinasat, KoreaSat termasuk Amerika dan Pasifik yang menempatkan satelitnya di orbit di atas Indonesia (PanamSat, Apstar, Asiasat dan sebagainya). Satelit Palapa pasca Satelindo diakuisisi Indosat dan Indosat dijual praktis sudah “hilang” dari haribaan Pertiwi, makanya Telkom kemudian meluncurkan Satelit Telkom (yang kini sudah sampai Telkom-4 di Orbit 108.2°BT). Selain itu Indonesia juga masih memiliki Satria-1 dan Satelit Merah Putih 2 di Orbit 113°BT. Fungsi satelit GSO juga sekarang banyak untuk akses data internet guna memperkecil blank spot di wilayah-wilayah terpencil, terutama 3T: Tertinggal, Terdepan, Terluar disamping tetap untuk siaran TV, Radio dan Multinedia lainnya.
Ironisnya, justru sebagai negara ketiga paling awal yang memiliki satelit GSO (1976) dan satelit tersebut laku keras disewa oleh negara-negara tetangga sehingga secara ekonomis sangat menguntungkan hingga kita pernah menguasai orbit Asia bahkan melebar sampai Australia & Pasifik, kini Indonesia malah hanya seperti jadi penonton dari teknologi Satelit LEO (Low Earth Orbital) sebagaimana teknologi StarLink yang telah saya paparkan sebelumnya, termasuk semua bahayanya. Lebih memalukan lagi Rezim ini tampak tak ada marwahnya untuk hanya bisa sekadar menjadi Kernet / Calo teknologi tersebut, laksana “Bedinde sowan di hadapan Ndoro Tuan” spt yang saya jelaskan detail kemarin. Kalau saja sang Mahapatih Majapahit Gadjah Mada tahu kondisi sekarang, mungkin beliau bisa bersumpah lagi sebagaimana 688 tahun silam, atau malah bisa juga justru meneriakkan Sumpah Serapah melihat kelakuan Rezim ini yang sama saja menjual bangsa …
)* Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
picsource : tempo