Oleh : Ishak Rafick
Sebuah amplop putih panjang dengan kop surat istana tergeletak di meja sekretaris negara (setneg).
Hari masih pagi, pukul 6.30. Matahari nampak segan membagi kehangatan dan cahayanya. Mendung tebal menyelimuti ibukota negara. Staf dan pegawai setneg belum muncul. Setneg biasa datang jauh lebih pagi daripada bawahannya. Maklum tipe teladan. Dia memeriksa segala keperluan, terutama yang berkaitan dengan agenda kenegaraan presiden. Tidak boleh ada yang menyimpang. Apalagi sampai terlewat. Bisa dianggap subversib.
Matanya langsung tertarik pada amplop putih itu, yang entah bagaimana sudah ada di mejanya. Masih disegel dengan lem kertas yang sangat rekat dan rapih. Kop suratnya anggun dengan huruf-huruf balok berwarna merah menyala berada paling atas. Ada sebuah hologram bergambar ampibi di bagian kiri, menandakan keaslian amplop tersebut. Selebihnya kosong.
Dia menenggak kopi jahenya sampai tandas. Rasa lesu dan malas langsung terusir dari badannya. Lalu setelah mengedarkan pandangan penuh selidik, dia membuka amplop itu dengan pisau tipis stainless. Dia membacanya tanpa suara. Namun matanya seketika berkejap-kejap. Bibirnya bergerak-gerak seperti mengemut sesuatu. Sedang deburan jantungnya menggedor dada. Panics disorder, kata psikolog, alias gangguan kecemasan. Dia gemetar. Apa fasal? Inilah yang dia baca. Sebuah MANIFESTO, yang tak bisa disepelekan, bahkan oleh sang Diktator Agung sekalipun. Mengapa? Mari kita ikuti!
MANIFESTO Sang Diktator Agung:
“Aku Sang Diktator Agung Republik memerintahkan agar pada saat kematianku, kepalaku dipancung. Pancangkanlah kepalaku pada sebuah paku besar selama tiga hari di tengah halaman Plaza de Republica. Panggilah rakyat dengan sirine yang keras, agar mereka bisa menyaksikan kematianku.
Semua anggota keluargaku yang jadi bahan baku dinasti, mulai dari istriku tercinta si pengendali masa kini dan masa depan, putra-putraku yang jadi loket perusakan, menantu dan besanku – kumpulan musang, adik ipar dss, pun kabinetku, budakku – baik sipil, militer, polisi, jaksa, maupun mereka yang mengaku wakil rakyat – harus ditembak mati hari itu.
Juga 30 cukong super kaya, yang bisa mengendalikan eksekutif, legislatif, yudikatif dan aparat, sekaligus menjadi pasukan proxi asing timur dan barat – bersama anak-anak mereka, mesti masuk dalam kloter pertama tersebut. Jelas anggota kabinetku dua periode, wakil rakyat pengabdi perut sendiri dua periode, para petinggi kehakiman dan pembrantas korupsi yang bisa dilobi, mentri segala urusan yang punya boss di luar, dan mentri-mentri semacam itu jangan lolos. Begitu pula dengan para ketua-ketua partai politik pendukung dan intelektual kardus, yang telah menjual diri, mesti ditembak mati di hari yang sama! Tentu saja jangan lupakan para pentolan Forum Rektor yang bisa diternakkan.
Rasanya aku bisa menuliskan nama-nama mereka, tapi MANIFESTO ini nanti jadi terlalu panjang. Bila negeri PARAGUAY ini mau menyongsong kejayaannya, maka para parasit yang aku sebutkan di atas harus dimusnahkan. Total di seluruh tanah air mungkin hanya sekitar 14 ribu orang. Cuma mereka itulah yang harus mati. Tidak apa-apa. Demi kemandirian dan kejayaan bangsa. Aku Sang Diktator Agung rela menjadi tumbal yang pertama. Kemudian mereka. Tanamlah mayat mereka di lapangan Plaza de Republica!
Setneg tambun berkacamata progresif tebal itu langsung mencret di kursinya. Stres memang bisa memicu diare, kata pakar biopsikologi. Penyakit diarenya kumat lagi, kata sebuah suara. Setneg langsung siaga. Matanya menyapu seluruh ruangan. Sunyi. Dia berlari ke belakang menyerbu pintu wc berwarna putih sambil memegang pantatnya agar tidak ada material cair berceceran.
Di pintu wc itu ada stiker merah berukuran besar STAF ONLY. Lalu ada stiker kecil warna biru KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI? Masih ditambah pula dengan tulisan spidol biru DIARE ADALAH HAK AZASI MANUSIA. Di sebelahnya tertempel kliping koran dengan foto sepasukan polisi Paraguay bersenjata lengkap sedang menghadang demonstran. Tampak pula seorang polisi berompi hitam dan helem baja sedang membanting mahasiswa sampai kejang-kejang.
Setneg mengernyitkan alisnya sekilas. Sompret! katanya dalam hati. Lalu diapun menerobos masuk. Pria tambun itu baru dikeluarkan paksa dari wc 7 jam kemudian setelah sepasukan polisi bersenjata berhasil mendobrak pintu. Setneg ditemukan pingsan di wc yang menyebarkan bau tinja dalam radius 20 – 24 meter lebih. Polisi kemudian mengamankan setneg ke suatu tempat setelah menyemprotnya dengan 7 botol karbol. Korban lainnya tercatat 4 polisi, yang menggotong dan memandikannya, terpaksa dirawat inap di Rumah Sakit Pemerintah Paraguay karena muntah bareng 78 kali sampai tinggal tulang dan kulit.
Manifesto tersebut 2 jam kemudian sampai ke telinga Sang Diktator Agung setelah mampir di kampus-kampus. Mahasiswa tertawa geli, tapi kemudian memilih bungkam. Para rektor, dekan, dan ketua jurusan langsung ambil cuti besar. Mereka mencium bencana akan segera datang. Penangkapan, penculikan, penahanan, dan interogasi kepada orang-orang kampus dan tokoh panutan rakyat yang dicurigai akan kembali marak.
Benar saja. Sang Diktator Agung memerintahkan agar seluruh istana dan setneg dipagari dengan kawat berduri setinggi 4 meter. Lalu semua lubang angin, termasuk lubang kunci, lubang semut, lubang jangkrik, kampret dan kadal harus ditutup. Dia juga memerintahkan kepala kepolisian untuk memboyong 34 anggota kabinet, 7 wakil mentri, senat (wakil rakyat) dan wakil distrik bersama keluarga. Juga 30 pengusaha besar bersama keluarganya, para petinggi tentara dan polisi, pemimpin redaksi media massa dan televisi, 700 intelektual kardus, dan para rektor yang tergabung dalam Forum Rektor Par Excellent. “Mereka harus segera dibawa ke istana! perintahnya. “Negara dalam bahaya. Aku Sang Diktator Agung Republik akan mengadakan sidang darurat bersama orang-orang super penting tersebut dalam 2 jam dari sekarang,” imbuhnya cepat kepada kepala kepolisian.
Lalu dia mengadakan rapat terbatas dengan kepala-kepala badan intelijen negara berbagai matra. Mantan kepala intelijen gaek paling berpengalaman diikutkannya dalam rapat tersebut. Kesimpulannya?
MANIFESTO tersebut adalah bikinan orang dalam untuk menggertak Sang Diktator Agung agar mau membagi konsesi, dana dan fasilitas lebih besar. Sebab kaum oposisi, baik yang partisan, non partisan, aktivis kemanusiaan, maupun mayoritas tertekan, telah berhasil dibasmi dalam total war. Kini mereka pukul rata telah menjadi DUNGU dan lucu lucu [IR]
Bandung, 301021
—-
Dari Kumpulan Cerpen Ishak Rafick