Oleh: Muhammad Subhan*
MENARIK membaca catatan pendek sebagai sebuah kritik dari pianis dan komponis bertaraf internasional, Ananda Sukarlan, di dinding Facebook-nya, Senin, 15 September 2025.
Ananda mengomentari sebuah pertemuan penyair yang dihelat di Jakarta baru-baru ini, yang audiensnya 99 persen dalam amatan Ananda adalah sastrawan. Meski ia mengaku bahagia bisa bertemu dengan sastrawan-sastrawan yang ia kagumi dari seluruh Indonesia, namun ia juga memotret sisi lain dari pertemuan itu: nyaris tidak melibatkan seniman dari bidang lain, apalagi masyarakat umum.
Promosi festival sastra tersebut dinilainya sangat kurang, sehingga terasa hanya seperti “echo chamber”—gema dalam ruang tertutup—di antara para sastrawan sendiri.
Karena didominasi kalangan terbatas, Ananda Sukarlan menyebut pertemuan itu sebagai momen “seni untuk seni”, bukan “seni untuk masyarakat”. Ia bahkan mengutip istilah kerennya: “L’art pour l’art”. Menurutnya, model semacam itu hanya mungkin berlangsung jika ada subsidi besar dari pemerintah atau perusahaan besar. Jika tidak, yang lahir hanyalah ruang sempit: di satu sisi ada seniman, di sisi lain ada orang awam. Tidak ada lagi jembatan yang menyatukan keduanya. Akibatnya, yang awam semakin awam karena tidak terhubung dengan karya seni, sementara seniman semakin sibuk dengan karyanya sendiri—bahkan, seperti kritik Ananda, “sering asyik memainkan handphone ketika penyair lain membaca puisi, atau lebih buruk lagi, sibuk mengobrol dengan teman yang duduk di sebelahnya.”
Seni untuk seni, secara sederhana, adalah pandangan yang meyakini bahwa seni berdiri di atas kakinya sendiri. Seni tidak perlu tujuan di luar dirinya. Ia tidak harus mendidik, tidak harus menghibur, tidak harus menyenangkan masyarakat, apalagi harus tunduk pada kepentingan politik atau ekonomi.
Seni adalah seni. Puisi cukup sebagai puisi, lukisan cukup sebagai lukisan, musik cukup sebagai musik.
Paradigma ini punya sejarah panjang dalam dunia kesenian. Di Eropa abad ke-19, para seniman sering mengusung gagasan “art for art’s sake” sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan moral, agama, dan politik yang hendak mengendalikan karya seni. Dengan semangat itu, lahir karya-karya eksperimental yang menekankan kebebasan mutlak seniman.
Namun, sisi gelap dari pandangan ini adalah eksklusivitas. Seni untuk seni kerap hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu: para kritikus, akademisi, atau komunitas kecil yang memang paham konteksnya. Ia membentuk lingkaran tertutup, yang bagi sebagian orang justru menjauhkan seni dari kehidupan nyata masyarakat.
Berbeda dengan paradigma sebelumnya, seni untuk masyarakat menekankan fungsi sosial seni. Seni hadir untuk menyapa orang banyak, untuk memberi ruang refleksi, hiburan, pendidikan, bahkan untuk menumbuhkan empati dan solidaritas sosial.
Seni untuk masyarakat bukan berarti seni kehilangan kualitas estetiknya. Justru dalam keterhubungannya dengan masyarakat, seni menemukan daya hidup. Sebuah puisi bisa menyentuh hati seorang yang didera masalah atau kehilangan arah. Sebuah pertunjukan teater bisa menggugah kesadaran warga akan pentingnya menjaga lingkungan. Sebuah festival sastra bisa menjadi ruang belajar bersama, bukan hanya bagi penyair atau novelis, tetapi juga bagi petani, pedagang, pelajar, tukang ojek, dan ibu rumah tangga yang hadir sebagai audiens, atau bahkan komentator.
Sebelum pandemi Covid-19, saya sering mengikuti sejumlah festival sastra di Indonesia. Setiap festival tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, saya melihat kecenderungan yang sama: sebagian besar festival lebih banyak dinikmati oleh kalangan sastrawan sendiri. Diskusi, seminar, peluncuran buku, pembacaan puisi, semuanya terasa seperti ruang temu alumni.
Memang, ada nilai keakraban di situ, tetapi jarang sekali festival-festival itu membuka diri secara luas untuk masyarakat umum.
Padahal, festival sastra idealnya bukan sekadar temu kangen para sastrawan. Festival adalah kesempatan emas untuk menjembatani karya sastra dengan kehidupan nyata. Ketika masyarakat awam merasa dilibatkan, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bagian dari proses berkesenian.
Bayangkan sebuah festival sastra yang pusat kegiatannya berada di jantung kehidupan masyarakat. Para penyair tidak hanya menginap di hotel, tetapi tinggal di rumah warga, berdialog dengan tuan rumah, makan bersama, dan merasakan denyut nadi kehidupan sehari-hari.
Bayangkan ada pembacaan puisi di pasar tradisional, di tengah persawahan yang baru dipanen, diskusi sastra di warung kopi, atau kelas menulis untuk anak-anak sekolah di lapangan kampung di pelosok. Suasana semacam ini tidak hanya memanusiakan seni, tetapi juga mendekatkan seni kepada mereka yang selama ini merasa jauh dari dunia sastra.
Pertanyaan yang selalu muncul adalah: mungkinkah seni tetap menjaga kebebasan kreatifnya, tetapi sekaligus dekat dengan masyarakat?
Jawabannya: sangat mungkin. Justru, di titik inilah letak tantangan seniman dan penyelenggara festival.
Seniman tentu butuh ruang bebas untuk berekspresi. Tetapi kebebasan itu tidak harus berarti keterasingan dari masyarakat. Sebaliknya, ketika seniman berinteraksi dengan publik, karya seni mendapatkan konteks baru yang lebih hidup.
Puisi yang dibacakan di ruang akademik mungkin hanya mendapat tepuk tangan basa-basi, tetapi puisi yang dibacakan di hadapan petani atau buruh bisa memantik obrolan, bahkan perasaan yang mengendap lama dalam kehidupan mereka.
Di sisi lain, masyarakat juga butuh diberi kesempatan untuk akrab dengan karya seni. Bukan dalam bentuk yang menggurui, melainkan dengan cara yang membumi. Jika festival sastra menghadirkan kelas menulis untuk anak-anak di ruang-ruang kelas mereka, atau di tempat-tempat mereka bermain, maka lahirlah generasi baru yang melihat menulis bukan sekadar pekerjaan elit, tetapi bagian dari ekspresi diri dan diperlukan untuk mendukung kerja-kerja kreatif mereka di kemudian hari.
Demikianlah, seni membutuhkan kebebasan estetik, tetapi juga perlu akar sosial.
Festival seni atau sastra sebaiknya tidak jatuh pada eksklusivitas yang hanya menyenangkan seniman itu sendiri.
Masyarakat berhak merasakan manfaat seni, karena seni sejatinya lahir dari denyut kehidupan manusia. Jika festival-festival seni bisa membaur di tengah masyarakat, maka seni bukan lagi milik segelintir orang, melainkan menjadi bagian dari kehidupan bersama. Dengan begitu, kita tidak lagi terjebak pada sekat “seniman” versus “orang awam”, tetapi justru menghadirkan ruang baru: seniman dan masyarakat sebagai sahabat yang saling berbagi dalam merayakan kehidupan.
*)Dikutip dari FB Muhammad Subhan
