Jakarta, Kannews.com – Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan hasil Studi Pengembangan Ekonomi di Kawasan Transmigrasi Koridor Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS) Tahun 2025, kepada Direktorat Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat Transmigrasi Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia. Paparan yang berlangsung pada Jumat (5/12) di Kantor Kementerian Transmigrasi, Jakarta Selatan itu diikuti para pejabat pusat, perwakilan pemerintah daerah, Bappeda, dan Dinas Nakertrans dari 11 kawasan transmigrasi di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu.

Sejumlah narasumber dari UGM hadir lengkap, mulai dari pakar infrastruktur konektivitas, perencana wilayah, hingga ahli pemasaran dan branding kawasan.

Kajian ini menegaskan pergeseran paradigma transmigrasi dari sekadar pemindahan penduduk menjadi instrumen strategis untuk memperkuat stabilitas sosial, memperluas basis ekonomi regional, dan mendorong pembangunan kawasan secara berkelanjutan. Studi yang mencakup 11 kawasan transmigrasi di Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu ini memetakan potensi ekonomi lokal, tantangan kelembagaan, hingga kesiapan infrastruktur dan konektivitas. Tim menggunakan pendekatan model G2R Tetrapreneur di Kawasan Transmigrasi (G2RT-KT) dan konsep Kawasan Ekonomi Transmigrasi Terintegrasi (KETT) untuk merumuskan strategi bertahap, mulai dari penguatan kelembagaan lokal, pengembangan pasar non-kompetisi, hingga integrasi kawasan transmigrasi dengan simpul-simpul ekonomi di koridor jalan tol.

Advertisement
Kans Jawara

Ketua Tim Peneliti UGM, Dr. Djaka Marwasta, menyampaikan bahwa pemahaman mengenai transmigrasi perlu diperluas. “Kita ingin memastikan jalan tol tidak menjadi lorong transportasi semata. Ia harus menjadi sistem ekonomi yang terhubung dengan kawasan transmigrasi, sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya. Menurut Dr. Djaka Marwasta, kajian ini menautkan dua hal yang selama ini berjalan sendiri-sendiri: pembangunan infrastruktur strategis dan pengembangan ekonomi kawasan transmigrasi. JTTS dianggap dapat menjadi pemicu integrasi itu, asalkan tata ruang, konektivitas, dan kelembagaan lokal dipersiapkan sejak awal.
Sementara itu, Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih, pakar perencanaan wilayah, menekankan perubahan paradigma transmigrasi. Program yang dulunya berorientasi pada pemindahan penduduk kini dituntut mampu membangun kawasan ekonomi regional. “Transmigrasi tidak bisa lagi berdiri sebagai pulau-pulau terpisah. Ia harus menjadi bagian dari jaringan wilayah yang saling terhubung. Sinergi spasial dan sinergi fungsional menjadi fondasi,” tutur Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih.

Model G2R Tetrapreneur: Ekonomi Gotong Royong yang Diusulkan Menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI)

Sorotan dalam forum datang dari paparan Founder, konseptor dan tenaga ahli G2R Tetrapreneur, Rika Fatimah P.L., S.T., M.Sc., Ph.D. dan juga Dosen Senior Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM sekaligus Wakil Ketua Komisi Teknis 03 – 13 Manajemen Ekonomi Kolaboratif yang menjelaskan pendekatan Global Gotong Royong Tetrapreneur (G2RT)—model pemberdayaan ekonomi lokal yang tengah diusulkan untuk menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh Kementrian Transmigrasi RI bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Salah satu visionernya standarisasi G2R Tetrapreneur adalah menterjemahkan intangible gotong royong menjadi tangible ekonomi. “…mayoritas penggiat ekonomi kita adalah UMKM. Sudah sewajarnya dan mewajarkan kebijakan serta ‘arena bermain’ ekonominya adalah yang ramah bagi UMKM. Menjadi kompetisi tidak berimbang ketika kebijakan dan lingkungan ekonominya berstandar industri sehingga meminggirkan secara sistem kegiatan ekonomi mayoritasnya. Karenanya tidak heran jika ketimpangan sosial dan kemiskinan masih stagnan dan belum secara signifikan meningkat menjadi lebih baik dari waktu ke waktu,” ujar Rika Fatimah.

Model G2R Tetrapreneur merupakan inovasi gotong royong pada aspek ekonomi melalui empat pilar kewirausahaannya yaitu Chainpreneur – optimalisasi hulu melalui rantai wirausaha; Marketpreneur – penciptaan pasar non-kompetisi; Qualitypreneur – peningkatan kualitas dan daya saing produk atau disebut juga pasar kompetisi; dan Brandpreneur – penguatan kebijakan dan gerakan nasional atau disebut pula pasar kebijakan.

Menurut Rika Fatimah, P.L., ST., M.Sc., Ph.D., akar persoalan ekonomi masyarakat bukan pada kreativitas, melainkan pada pasar. “Pasarnya yang tidak ramah bagi produk lokal. Mereka berhadapan langsung dengan industri besar. Di sinilah pentingnya pasar non-kompetisi sebagai ruang aman untuk tumbuh secara berkeadilan,” jelasnya. Rika menambahkan bahwa G2R Tetrapreneur merupakan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada ekonomi Pancasila yang menjunjung tinggi seluruh sila, terutama sila pertama yaitu ke-Tuhanan Yang Maha Esa. G2R Tetrapreneur mengutamakan konsep rezeki yang membentuk ketangguhan berwirausaha secara berkelanjutan. Konsep rezeki merupakan sebuah nilai keyakinan (spiritual values) menjadi suatu keunikan tersendiri dari Model G2R Tetrapreneur yang secara nyata dimasukkan dalam proses bisnis komersial.

Rika Fatimah, P.L., ST., M.Sc., Ph.D. menambahkan bahwa pemberdayaan ekonomi sering gagal bukan karena pelaku usahanya lemah, tetapi karena rantai pasok terputus dan lembaga ekonomi tidak terkonsolidasi. Koperasi Merah Putih, BUMDes, dan kelompok-kelompok usaha harus bertindak sebagai pintu tunggal konsolidasi produk dan akses pasar. Pada kesempatan tersebut, Rika Fatimah menyampaikan bahwa kekayaan tanah air melalui keberagaman potensi baik sumberdaya alam beserta manusia dan budaya sosialnya di Indonesia menjadikan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya namun tanpa merusak ekosistem keaslian desa/kawasan.

G2R Tetrapreneur memastikan bahwa hulu-nya berasal dari desa dengan segala potensi bahan baku yang tersedia, sehingga G2R Tetrapreneur sesuai dengan arah kebijakan Pemerintah saat ini yang memberdayakan kelembagaan desa/kawasan untuk tumbuh berkembang menuju global. Pembentukan ekosistem yang mendukung kepada para wirausahawan pemegang persentase UMKM tertinggi di Indonesia ini nantinya akan membentuk pasar yang cerdas dan berpihak.

11 Kawasan, Banyak Potensi, Banyak Catatan

Studi UGM melibatkan survei mendalam di tiga kawasan transmigrasi dan analisis tematik di delapan kawasan lain. Wilayah yang dikaji membentang dari Padang Ulak Tanding di Rejang Lebong hingga Karang Agung di Banyuasin, masing-masing dengan karakter komoditas, tekanan lingkungan, dan kekhasan sosialnya.
Temuan pentingnya:
● Potensi ekonomi lokal kuat, tetapi belum terhubung antar-kawasan.
● Kelembagaan ada, tetapi belum solid; beberapa koperasi masih sebatas nama.
● Rantai pasok pendek, nilai tambah banyak hilang di tengkulak dan pedagang besar.
● Kerentanan lingkungan signifikan, terutama isu banjir di Sumatera.
● Pelaku usaha kreatif, tetapi serapan pasar rendah.

Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih menegaskan bahwa persoalan konektivitas tidak hanya berbicara tentang fisik. “Yang harus dibangun adalah konektivitas ekonomi: bagaimana sebuah komoditas dapat keluar dari desa, tetapi nilai tambahnya tetap kembali ke desa,” ujarnya.

Suara Daerah: Harapan, Kebutuhan, dan Kekhawatiran

Dalam sesi diskusi, perwakilan daerah menyampaikan pandangan yang lebih pragmatis. Perwakilan Kabupaten Musi Rawas, misalnya, menekankan bahwa masyarakat sangat menunggu realisasi program setelah bertahun-tahun hanya menerima pendampingan dan survei. “Kami berharap ini tidak berhenti sebagai laporan. Warga ingin melihat kawasan transmigrasi menjadi pusat ekonomi baru, bukan hanya tempat tinggal,” ujar Amar Mopandi, perwakilan Dinas Transmigrasi Musi Rawas.

Daerah lain menyoroti masalah kepastian lahan, akses pembiayaan, dan minimnya ruang pasokan ke industri besar. Sebagian wilayah juga belum terhubung jalan tol sehingga manfaat ekonomi belum terasa.

Rekomendasi: Tiga Tahap Transformasi Kawasan Ikonik G2RT-KT pada JTTS

Dalam laporan akhirnya, UGM memberikan rekomendasi strategis bertahap untuk lima tahun ke depan.
1. Penguatan Internal Kawasan
● Konsolidasi kelembagaan: BUMDes, koperasi, Koperasi Merah Putih.
● Pemetaan rantai pasok dan aktor ekonomi.
● Penguatan identitas produk unggulan ikonik berbasis G2R Tetrapreneur.

2. Integrasi Konektivitas dan Sinergi Wilayah
● Penataan ruang yang menghubungkan simpul produksi dengan pintu tol berbasis Tetra 1 – Chainpreneur.
● Pengembangan pusat logistik kecil dan pasar desa dekat koridor JTTS.
● Harmonisasi rencana pembangunan kabupaten–provinsi–koridor.

3. Optimalisasi Skala Ekonomi dan Kebijakan
● Pembentukan pasar non-kompetisi untuk UMKM dan pelaku usaha lokal (Tetra 2 – Marketpreneur)
● Penyiapan kebijakan afirmatif yang mengunci pasar bagi produk kawasan transmigrasi yaitu penciptaan pasar kebijakan (Tetra 4 – Brandapreneur)
● SNI G2R Tetrapreneur sebagai panduan nasional penguatan ekonomi.




Tinggalkan Komentar