AIRMATA Goenawan Mohamad (GM) menetes lagi. Dulu ketika diwawancari sebuah media ia tak dapat menutupi kekecewaannya pada Jokowi, yang mati-matian ia dukung, ia jagokan. Kini ia terisak, airmatanya menetes kembali, saat menghadiri helat audiensi di Mahkamah Konstitusi bersama sejumlah akademisi dan aktivis, Kamis (22/8/2024).
Di tengah suasana emosional, melihat situasi demokrasi di negeri ini yang genting. Mengenakan kopiah hitam, dengan tenang, mimik datar, tapi menyimpan geram, kata “revolusi” pun muncul dari mulutnya, membakar api.
“Ya, kalau saya enggak menahan diri, saya bilang kita revolusi saja,” ujarnya.
Ia pun jelas menyayangkan sikap DPR yang semestinya mewakili suara rakyat malah melawan konstitusi. “Sebenarnya DPR yang melawan konstitusi harus dibubarkan,” ucapnya.
Ia sudah tahu karena revolusi harganya mahal, maka ia menahan diri. Airmatanya boleh jadi tulus, keluar dari mataair seorang pejuang demokrasi.
Dan kerinduan saya untuk membaca “Tempo” tak terbendung lagi. Sebab, belakangan saya menikmati “Tempo” rasa tempe. Setelah GM menangis lagi, saya bergairah membaca “Tempo” rasa tahu. Pingin “tahu” skenario apa yang bakal terjadi bila GM dan kawan-kawannya benar-benar bergerak, lalu berseru, “Revolusi Jadi”.
Meski ia, Goenawan Soesatyo Mohamad sudah genap berusia 83 tahun, tapi energinya menembus dinding tirani. Saatnya GM tak berkutat di “Pinggir”, berani ke tengah. Tampil di podium rakyat.
Kata sahabat saya dari Aceh, yang pernah jadi juru runding di Helinski, GM pantas didaulat untuk menjadi pemimpin revolusi yang selama ini suara rakyat tersumbat di gorong-gorong demokrasi zombi.
Jakarta, 23 Agustus 2024