Menelusuri Jejak Perlawanan Aceh terhadap Kolonialisme Belanda

Oleh: Gus Nas Jogja


Hikayat Perang Sabil — disingkat (HPS) — adalah teks perlawanan paling krusial dalam Historiografi Aceh (1873-1942). Khususnya, versi yang dinisbahkan kepada Cik Pante Kulu menjadi arsip spiritual yang paling efektif, meresap ke dalam struktur Gampong atau desa melalui format yang mudah dihafal, seperti Mars Prang Sabi. Teks ini bukan sekadar catatan kronologis pertempuran, melainkan sebuah deklarasi Kedaulatan Spiritual Aceh di hadapan penindasan kolonial.

Historiografi kolonial, yang diwakili oleh Snouck Hurgronje, berupaya keras mereduksi HPS sebagai manifestasi “fanatisme” belaka, sebuah upaya sengaja untuk meniadakan dimensi filosofis, kultural, dan spiritual dari perlawanan Aceh. Historiografi Pribumi, yang kita gali melalui HPS, justru menunjukkan bahwa perlawanan Aceh adalah konsekuensi logis dari sistem nilai yang kokoh, di mana Adat dan Syarak (hukum Islam) bersintesis untuk mendefinisikan Haq (Kebenaran Mutlak) yang harus dipertahankan. Esai ini bertujuan menelusuri Mars Prang Sabi sebagai kredo mobilisasi, menyingkap agensi rakyat yang terlupakan, dan mereklamasi HPS sebagai teks utama dalam Historiografi Pribumi Indonesia.

Epistemologi Perang Sabil: Filsafat Haq Melawan Logika Kapita Kolonial

Inti filosofis HPS adalah pertarungan epistemologis—perang antara definisi Kebenaran (Haq) yang diyakini Aceh melawan logika kekuasaan material (Kapita) yang dibawa oleh Belanda.

Deklarasi Epistemologis dan Mandat Transendental. Mars Prang Sabi tidak dimulai dengan deklarasi politik atau ekonomi, melainkan dengan perintah spiritual yang tak terbantahkan.

Kutipan Mars Prang Sabi:

Prang Sabi perintah Allah
cik ka sunnah dilee ba’ nabi_
Be’ ta takot disupoh bede
Surga Firdaus di lamree siti

Baris “Prang Sabi perintah Allah, cik ka sunnah dilee ba’ nabi” adalah sebuah deklarasi epistemologi kedaulatan. Teks ini mengklaim bahwa otoritas untuk berperang berasal dari sumber tertinggi –Allah dan Sunnah Nabi–, sebuah sumber yang jauh melampaui otoritas Ratu Belanda atau perjanjian politik. Perang menjadi manifestasi dari Jihad Akbar (perjuangan spiritual internal) yang diproyeksikan keluar. [3]

Ini menegaskan bahwa kerangka pemikiran Aceh bukanlah irrasional seperti klaim Hurgronje, melainkan meta-rasional—mereka beroperasi di bawah premis ontologis yang berbeda. Sebagaimana dicatat oleh Anthony Reid, perlawanan ini didorong oleh ideologi yang “tidak dapat ditawar” oleh keuntungan material [4]. HPS menukar logika kerugian material (kalah harta, kalah nyawa) dengan keuntungan transendental (Surga Firdaus), secara efektif menihilkan logika kolonial.

Estetika Sastra: Metrum dan Makna yang Mengikat.

Kekuatan sastrawi Mars Prang Sabi terletak pada metrumnya yang cepat dan berirama (sering dinyanyikan atau dilisankan), yang menembus batas buta huruf.

Metrum ini mengubah doktrin spiritual yang kompleks menjadi nyanyian mobilisasi yang masif. Frasa seperti “Be’ ta takot disupoh bede” (Jangan gentar dihantam bedil) menggunakan bahasa yang sangat puitis dan langsung, menjadikan peluru Belanda bukan ancaman fisik, melainkan gerbang yang dipercepat menuju hadiah abadi (“Surga Firdaus di lamree siti”). Teks ini adalah tasawuf dalam bentuk mars perjuangan. [5]

Adat, Gampong, dan Filsafat Rakan: Arsitektur Sosial Perlawanan yang Terlupakan

HPS berhasil memadukan Syarak ke dalam kerangka Adat (hukum dan tradisi sosial), menjadikan Gampong sebagai benteng yang tak tertembus.

Panggilan Komunal Rakan dan Pembubaran Stratifikasi.

Panggilan awal Mars Prang Sabi ditujukan kepada “rakan” (saudara/sahabat) dan “tuhaa muda” atau tua dan muda, sebuah seruan yang melampaui stratifikasi uleebalang dan ulama yang sering dibesar-besarkan Belanda.

Kutipan Mars Prang Sabi:

Wahei rakan be’ ta duek leee
Beudoh saree tuhaa muda.
Tapeu siap lom perkakas
tajak meulangkah medan Prang Sabi


Sapaan “Wahei rakan” menciptakan sebuah Etika Persaudaraan (Rakan) yang bersifat inklusif. Dalam tradisi Aceh, Gampong adalah unit sosio-politik yang otonom. HPS menjadikan Jihad sebagai tugas komunal Adat, bukan hanya fatwa agama. Tugas menyiapkan “perkakas” dan melangkah bersama memastikan bahwa perang didesentralisasi: setiap gampong berfungsi sebagai pusat logistik dan pangkalan militer [6].

“The strength of the Acehnese resistance lay in its decentralized nature, where the gampong, under the direction of the Keuchik [kepala desa] and Imam Meunasah, served as the nucleus of organization. This system was easily mobilized by religious texts like HPS.”

–Teuku Ibrahim Alfian–.

Budaya Perempuan sebagai Penjaga Etos Syahid.

Advertisement
Previous articleMenggali Makna Banjir Aceh
Next articleMemahami Sastra dan Unsur Tasawuf

Tinggalkan Komentar