Oleh: Dr. Sobirin Malian
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Ira Puspa Dewi, mantan Direktur Utama PT ASDP yang divonis 4,5 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara, telah menjadi titik fokus perdebatan intens di ruang publik, hukum, dan politik Indonesia. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Presiden Prabowo sendiri telah menyetujui rehabilitasi tersebut setelah adanya aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui DPR dan kajian hukum yang dilakukan oleh Komisi Hukum DPR dan Kementerian Hukum dan HAM. Meski prosedur ini diklaim telah sesuai dengan ketentuan konstitusional, pemberian rehabilitasi yang diberikan saat proses Peninjauan Kembali (PK) masih berlangsung ini menimbulkan sejumlah implikasi politik dan hukum yang kompleks. Keputusan ini berpotensi menggerus fondasi negara hukum Indonesia seperti dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Implikasi Hukum: Ancaman terhadap Supremasi Hukum dan Equality Before the Law

Secara hukum, rehabilitasi dalam konteks ini menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Pasal 97–99 KUHAP yang mensyaratkan rehabilitasi hanya dapat diberikan setelah putusan pengadilan membebaskan seseorang secara hukum tetap (inkracht). Hal ini bukan instrumen politik atau kebijakan diskresi untuk membatalkan vonis pengadilan. Pernyataan juru bicara MA menegaskan bahwa rehabilitasi tidak mengubah isi putusan hakim, tetapi kuasa hukum Ira mengklaim rehabilitasi ini membebaskan kliennya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat memengaruhi persepsi publik terhadap keadilan.

Konstitusi Indonesia, melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, membatasi hak prerogatif Presiden agar tetap menghormati independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana Pasal 24 UUD 1945. Oleh sebab itu, pemberian rehabilitasi secara prematur sebelum diselesaikannya proses peradilan merupakan bentuk intervensi eksekutif terhadap yudikatif yang bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers). Ini merupakan preseden serius yang dapat melemahkan supremasi hukum di Indonesia dan berpotensi membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan elite politik dan korporasi.

Selain itu, asas equality before the law—yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945—dilanggar ketika elite BUMN mendapat rehabilitasi yang relatif cepat sedangkan masyarakat biasa harus menghadapi proses hukum panjang dan kompleks. Korupsi adalah kelalaian terhadap kepentingan publik yang diatur ketat sebagai delik kepentingan umum dalam UU Tipikor Pasal 2 dan dikuatkan oleh Putusan MA No. 153 K/Pid/2017. Pemberian rehabilitasi ini melemahkan efektivitas penegakan hukum, mengikis deterrence atau efek jera terhadap korupsi, dan menimbulkan kesan hukum bisa dinegosiasikan sesuai kedekatan politik, bukan keadilan.

Implikasi jangka panjang dari kasus ini adalah berkurangnya kepastian hukum dan legitimasi lembaga peradilan, yang memungkinkan proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi atau pembatalan administrasi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam periode 90 hari, ketika terbukti ada pelanggaran prosedur administratif. Hal ini menciptakan kemungkinan konflik antar lembaga dan ketidakpastian dalam penegakan hukum publik.

Implikasi Politik: Penguatan Kekuasaan Eksekutif dan Krisis Legitimasi Demokrasi

Secara politik, keputusan ini memperkuat citra Presiden Prabowo sebagai pemimpin yang tegas dan setia kepada loyalis dan korporasi negara, khususnya di sektor BUMN. Keputusan ini juga merupakan respons terhadap aspirasi DPR yang menjadi wakil rakyat serta hasil kajian Komisi Hukum DPR dan kementerian terkait. Dalam konteks agenda anti-korupsi yang masih menjadi isu sentral nasional, rehabilitasi tersebut menunjukkan fleksibilitas politik eksekutif dalam mengelola tekanan dan koalisi politiknya. Hal ini dapat mempererat hubungan politik dengan partai pendukung korporasi dan elite bisnis dalam kabinet serta parlemen.

Namun, risiko politis yang besar adalah terjadinya backlash dari kelompok oposisi yang memandang keputusan rehabilitasi ini sebagai abuse of power, semirip dengan kontroversi grasi Bank Century pada masa pemerintahan sebelumnya yang memicu polarisasi dan ketidakpercayaan publik. Keputusan yang tidak disertai transparansi dan fakta hukum baru dalam proses terbuka dapat menimbulkan tudingan nepotisme dan korupsi politik yang lebih sistematis, sehingga mewarnai potensi krisis legitimasi demokrasi yang sedang dibangun sejak Reformasi tahun 1998.

Dalam konteks ketatanegaraan, pemberian rehabilitasi ini mengganti keseimbangan checks and balances yang esensial antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuatan eksekutif yang didukung mayoritas parlemen dapat mendominasi mekanisme pengawasan terhadap keputusan-keputusan penting negara, dan hal ini mengkhawatirkan bagi demokrasi yang sehat karena memicu dominasi politik atas lembaga peradilan dan penegakan hukum.

Keseimbangan dan Dampak Jangka Panjang bagi Ketatanegaraan

Menimbang aspek hukum dan politik, keputusan rehabilitasi ini secara prosedural memang dapat dianggap sah jika berdasarkan ketentuan konstitusional dan pertimbangan MA, namun dengan risiko inkonstitusionalitas apabila melanggar supremasi hukum dan independensi yudikatif. Secara politik, keputusan tersebut memperkuat konsolidasi kekuasaan eksekutif dan dapat mempercepat pengelolaan koalisi, namun juga menimbulkan risiko legitimasi dan polarisasi yang merugikan demokrasi dan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, reformasi diperlukan untuk membatasi pemberian rehabilitasi dan abolisi pada kasus-kasus korupsi, misalnya dengan mewajibkan putusan hukum akhir (PK selesai) sebagai syarat sah rehabilitasi, proses rehabilitasi yang transparan dan terbuka, serta penguatan peran Komisi Yudisial dalam mengawasi integritas proses hukum. Edukasi hukum kepada publik juga sangat penting agar masyarakat dapat memahami dan mengawasi jalannya negara hukum secara lebih kritis dan partisipatif.

Penutup

Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspa Dewi membawa konsekuensi politik dan hukum yang mendalam. Keputusan ini harus dilihat secara menyeluruh, sejauhmana menghormati supremasi hukum sambil menyeimbangkan kepentingan politik dan keadilan substantif, terutama dalam kerangka negara hukum Indonesia yang demokratis. Tanpa mekanisme koreksi yang efektif dan transparan, preseden seperti ini berpotensi menggerus fondasi ketatanegaraan dan demokrasi yang sedang dibangun dengan susah payah.

Advertisement
Previous articleParadoks Zohran
Next articleMengapa Dosen Indonesia Harus Bergelar Doktor? Analisis, Fakta, dan Seruan Transformasi SDM Nasional

Tinggalkan Komentar