Oleh: Agus Wahid

Para Jokower kian liar dalam mengembangkan diksi pembelaannya. Falsafahnya hanya satu: poko`e Jokowi dan keluarganya tak pernah salah. Harus dibela dengan cara apapun. Yang mengherankan adalah pendirian seperti itu ada pada sejumlah kaum intelektual, praktisi hukum, bahkan praktisi survei dan sejumlah politisi. Pembelaannya membabi-buta. Tanpa reserve.

Sebagian mereka berada dalam posisi sosial yang relatif bergengsi: di wilayah perguruan tinggi ternama, di lembaga Dewan Yang Terhormat (DPR RI), di kantor kementerian dan pos-pos strategis lainnya yang tak kalah bergengsinya.

Jika kita cermati sepanjang perjalanan Jokowi berkuasa hingga telah lengser dari singgasananya, pembelaan mereka tak pernah berbanding lurus dengan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Selalu paradok dengan prinsip yang – secara universal – terkategori sebagai kebenaran dan kejujuran atau obyektif. Yang selalu ditampakkan adalah subyektivitas personal dan gengnya.

Paradoksalitas itu bukan hanya nyleneh, tapi sungguh jauh di bawah standar akal sehat. Tidak rasional. Karenanya – jika kita gunakan standar kecerdasan umat manusia – mereka sudah tergolong idiot. Lebih rendah dibanding simpanse. Tak mampu lagi berfikir sesuai level kecerdasan yang sesungguhnya dimiliki. Tak mampu membedakan mana yang benar dan jujur, dan mana yang sebaliknya.

Standar penilaian yang dilihat hanyalah mana yang menguntungkan dirinya dan mana yang merugikan. Cara berpikir seperti ini tak jauh beda dengan binatang, yang – secara instink – hanya dibekali mana yang enak dan tidak. Lalu, apakah kalian binatang? Tentu tak rela dipersamakan. Tapi, tabiatnya sama persis binatang, yang pijakan berpikirnya hanyalah kepentingan personal yang menguntungkan dirinya.

Yang menggelikan adalah, logika pembelaan yang dikembangkan selalu tidak argumentatif. Uniknya lagi, para Jokower selalu tak bisa menerima pandangan kebenaran yang disampaikan oleh siapapun. Apriori. Dirinya selalu merasa paling benar atau lebih baik. Dalam terminilogi agama, sikap apriori sejatinya jelmaan “iblis”, hanya menampakkan jasad manusia.

Tentu, mereka yang bergelar doktor, guru besar, setidaknya sarjana dan politisi nasional tak akan rela dinilai sebagai manusia idiot. Tak rela juga disejajarkan dengan binatang. Bahkan, akan memberontak ketika dinilai sebagai jelmaan iblis. Tapi, pola pikir dan tindakannya sulit dibedakan dengan tingkat kecerdasan yang jauh di bawah standar, sehingga idiot itulah yang paling pas pada manusia-manusia Jokower. Bahkan, karena kelakuannya, mereka layak dipadankan dengan binatang dan jelmaan iblis.

Dua makhluk yang pantas disematkan pada kaum Jokower – binatang dan iblis – tak lepas dari tabiatnya yang benar-benar tak menggunakan lagi hati nurani. Bagi mereka, nurani telah hilang. Itulah sebabnya, mereka tak mampu melihat dengan jernih mana kejujuran dan kebenaran. Hilangnya nurani mereka menambah otaknya makin tumpul. Benar-benar gelap dalam melihat kondisi obyektif terkait kebenaran dan kejujuran.

Fakta itu dapat kita baca jelas pada sikap mereka dalam memandang panorama kekuasaan Jokowi, bahkan setelah lengser. Kasus mutakhir yang kini sedang memasuki babak baru dapat kita lihat pada persoalan ijazah yang diakuinya digondol dari UGM.

Pihak otoritas UGM – sekali lagi karena sudah berubah menjadi idiot dan hilang nurani – hingga kini masih meyakini sang Jokowi alumninya, padahal demikian banyak paradoksalitasnya. Yan sangat menggelikan, sang intelektual papan atas berbicara tidak mendasarkan data obyektif. Serupa tapi tak sama, sikap para pembela lainnya juga seirama suaranya. Intinya, junjungan yang bernama Jokowi 100% benar, memiliki ijazah UGM, bergelar Ir.

Kini, kita perlu merenung lebih jauh, apa yang mendorong mereka gigih pendiriannya dan terus membela Jokowi? Dapat dilihat dengan mudah. Semuanya bermuara pada “cuan”, fasilitas, jabatan dan lainnya yang bermakna pemenuhan kepentingan sempit dirinya.

Landasan materialistik itu cukup mengabsahkan perilakunya sebagai pedagang: profit taker. Mereka memperdagangkan intelektualitasnya, kapasitasnya sebagai akademisi, sebagai wakil rakyat Yang Terhormat, sebagai praktisi hukum yang berkacamata kuda (kliennya harus menang).

Yang menjadi persoalan serius, sikap memperdagangkannya bukan hanya membentur nilai-nilai luhur kebenaran dan kejujuran, tapi membenarkan kejahatan yang dilakukan manusia stupid yang bernama Jokowi itu. Fakta bicara, kejahatan Jokowi terhadap bangsa dan negara sulit dirinci secara matematis. Tidak hanya penggarongannya terhadap hak politik dan hak asasi warga negara, tapi juga terhadap kekayaan negara dengan sejumlah eksploitasenya.

Dalam perspektif kriminologi, kelakuan Jokowi sejatinya bandit kelas dunia. Dia menjarah bahkan menghancurkan sistem ketatanegaraan, merampas hak-hak politik warga negara dan sejumlah menyalahgunaan kekuasaannya (abuse of power). Yang perlu kita lansir lebih jauh, apa gelar yang tepat bagi para jokower? Berangkat dari motivasi besar pembelaannya terjadap Jokowi yang mengarah pada kepentingan pragmatis, maka mereka sejatinya juga bandit.

Itulah gelar yang tepat bagi para Jokower. Dengan pembelaannya tanpa reserve, mereka menikmati fasilitas negara dan mendapatkan kekuasaan. Banditisme intelektual dan kapastisnya digunakan semata-mata untuk menggapai kepentingan pribadi. Hal ini harus disikapi dengan tegas, karena ulah dan pembelaannya berada dalam episentrum kejahatan. Seluruh komponen rakyat harus bergerak untuk “menghakimi” para bandit itu.

Kini, rezim Prabowo – jika tak ingin dinilai bersekongkol dengan Jokowi – sudah selayaknya menyikapi tegas para bandit itu. Dalam rangka mencegah penggarongan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Juga, dalam kerangka mengikis budaya penjilatan. Harus disadari, budaya menjilat akan menghancurkan sistem ketatanegaraan yang sedang dibangun.

Ciputar, 13 Juli 2025
Penulis: analis politik

Advertisement

Tinggalkan Komentar