Catatan Cak AT

Pengantar :

Kalau kita jujur, membentuk kabinet murni zaken di Indonesia kayaknya memang mirip mimpi di siang bolong. Ada terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak kompromi, dan yang paling penting: terlalu banyak janji politik yang harus ditepati.


Wow, lebih seratus orang —tepatnya 107— yang telah dipanggil Prabowo ke kediamannya di Jalan Kertanegara. Apa ini ajang audisi Indonesian Idol versi kabinet? Bedanya, yang ini bukan untuk nyanyi, tapi buat menyusun kabinet.

Mereka adalah orang-orang terpilih, terjaring dalam radar Prabowo, untuk diajak mendampinginya memimpin pemerintahan 2024-2029. Luar biasa, kan? Satu per satu datang seolah audisi, tapi entah yang dipilih siapa yang bisa zaken, siapa yang sekadar “gagah tampil”.

Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, dengan bangga memastikan bahwa sekitar 38% calon menteri Prabowo berasal dari partai politik. Sisanya? Tokoh-tokoh yang katanya profesional.

Nah, ini nih bagian yang bikin lega. Kabinet yang akan memimpin 282 juta penduduk setidaknya bukan 100% politisi. Karena kita semua udah tahu, makin banyak politisi di kabinet, makin tinggi peluang kita nonton drama telenovela —bisa jadi primetime!

Saat berbicara ke media, Dasco kelihatan sumringah, “Kita senang, usulan-usulan dari parpol itu banyak yang profesional,” katanya. Ya, siapa yang tak senang kalau akhirnya ada beberapa profesional yang masuk kabinet? Meski jujur saja, di politik, definisi “profesional” itu agak luwes. Bisa jadi ahli dalam bidangnya, atau ahli dalam kompromi politik. Ya, begitulah.

Tapi, tunggu dulu. Dengan komposisi 38% politisi, artinya hampir 4 dari 10 orang di kabinet berasal dari partai politik. Oke, oke, kita paham kok, politik itu kan nggak bisa dipisahkan dari pemerintahan. Tapi, serius nih? 38% politisi tapi masih mau disebut kabinet zaken? Apa jangan-jangan ini kabinet “zaken-zaken-an”?

Pakar politik seperti Syamsuddin Haris sudah lama bersuara kalau kabinet zaken itu seharusnya diisi teknokrat —alias orang yang ngerti urusan, bukan orang yang mengerti cara mengamankan jatah kursi partai. Ibaratnya, kalau kabinet zaken itu masakan, yang masuk dapur seharusnya koki, bukan kru film telenovela yang cuma mengerti drama.

Nah, di sisi lain kita punya 62% yang katanya profesional. Nama-nama seperti Sri Mulyani dan Erick Thohir tentu saja masuk kategori ini. Tapi, jangan salah, meskipun mereka dibilang profesional bidang ekonomi, jejak mereka di dunia yang sarat politik sudah panjang.

Jadi, pertanyaannya, ini mereka benar-benar profesional, atau sekadar politisi yang lagi nyamar dengan jaket profesional? Mungkin perlu kita kasih kaca pembesar, siapa tahu bisa kelihatan jelas topeng-topengnya.

Apalagi, kalau lihat nama-nama yang muncul, dari politisi veteran seperti Fadli Zon sampai profesional seperti Budi Gunadi Sadikin, makin bingung deh kita: ini kabinet zaken yang sebenarnya, atau cuma kabinet zaken di atas kertas?

Yang jelas, kalau ada 38% politisi, ya gimana mau disebut kabinet yang murni teknokratis? Kabinet ini lebih cocok disebut kabinet “semi-zaken”. Atau, lebih jujur lagi: kabinet gado-gado.

Isinya campuran antara kacang, sayur, dan sambal politik yang nggak bisa dipisah-pisah. Kombinasi yang bisa bikin kenyang, tapi juga bisa bikin kembung kalau kebanyakan.

Beberapa pakar juga sudah mengingatkan, meskipun dominasi profesional lebih besar, keberadaan 38% politisi itu sudah cukup untuk bikin kita was-was. Kenapa? Karena itu artinya kabinet ini tak cuma soal kinerja, tapi juga akomodasi.

Bayangkan, kebijakan diambil berdasarkan data dan fakta, lalu datang politisi sambil nyelipin “catatan kaki” penuh kepentingan partai. Kelihatannya simpel, tapi bisa bikin rasanya jadi asin.

Jadi, meskipun kita semua senang ada profesional, jangan lupa, politisi tetap punya tangan panjang yang bisa nyentuh hampir semua kebijakan.

Harapan kita? Semoga sih, tak sampai bikin rencana hebat jadi “setengah matang”. Soalnya, kabinet ini mungkin tidak sepenuhnya zaken, tapi jangan sampai jadi kabinet “seken” juga!

Kalau kita jujur, membentuk kabinet murni zaken di Indonesia kayaknya memang mirip mimpi di siang bolong. Ada terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak kompromi, dan yang paling penting: terlalu banyak janji politik yang harus ditepati.

Maka, sepertinya kabinet Prabowo ini lebih pas disebut Kabinet Gado-gado. Ada sedikit zaken, sedikit politik, dan tentu saja, sedikit drama.

Tapi, apakah campuran gado-gado ini resep sukses untuk lima tahun ke depan? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang jelas, mari kita sama-sama berharap, semoga profesional benar-benar bisa bekerja tanpa kebanyakan disambelin politisi. Kalau terlalu pedes, ya, takutnya malah bikin perut kita yang kena.

Pada akhirnya, kabinet ini mungkin tak bisa disebut kabinet zaken yang murni. Tapi paling tidak, ini belum bisa disebut kabinet seken. Jadi, kita tunggu saja, hasil akhirnya apakah bisa bikin kita kenyang sama kerja nyata, atau cuma sekadar drama yang berakhir dengan kembung.

(Catatan Cak AT/Ahmadie Thaha [16.10.2024])

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar