
Oleh: Haidar Bagir
Kopi Sanger adalah kopi khas Aceh. Ia diracik dari kopi hitam—umumnya kopi Arabica Gayo—dengan sedikit susu kental manis, lalu diseduh dengan teknik tarik hingga di permukaannya muncul busa tipis.
Rasanya tetap dominan pahit dan aromatik, tetapi lebih lunak.
Dalam obrolan rakyat, nama sanger sendiri sering dijelaskan sebagai singkatan “sama-sama ngerti”. Penjual dan pembeli saling memahami bahwa manisnya cukup setengah, tidak lebih seperti kopi rasa susu manis biasa.
Siang tadi, bersama seorang teman, saya menyempatkan diri mampir ke sebuah warung kopi kecil, seusai menikmati sate kambing Madura yang tak kalah enaknya, di kompleks kuliner sederhana yang sama. Memang enak sekali kopinya. Saya sendiri bukan peminum kopi yang serius. Kebiasaan minum kopi saya justru bermula dari minuman susu gula aren, yang beberapa tahun belakangan ini menjadi populer. Manis, tentu saja. Waktu itu saya bahkan tak tahu jenis kopi apa yang saya minum. Kadang, jika terlalu sore meminumnya—terutama untuk merek kopi gula aren tertentu—tidur malam saya menjadi gelisah dan terganggu.
Hingga suatu hari, hampir tanpa sengaja, saya berkenalan dengan kopi yang dibuat dengan metode Vietnam drip. Dari situlah, dari kebiasaan baru minum kopi ala Vietnam drip ini, saya pelan-pelan menyadari adanya kopi yang berasa asam. Kopi yang diseduh dengan metode ini memang lebih sering menggunakan kopi Arabica, yang memiliki unsur rasa asam yang kuat. Ya, asam.
Anehnya, tanpa sedikit pun terbayang sebelumnya, saya justru menyukainya. Makin asam, makin saya merasa cocok.
Lalu saya pun mengenal kopi Arabica wine. Ia disebut demikian karena rasa asamnya yang lebih tajam. Saya pun makin jatuh hati. Kadang kopi ini dibuat dengan metode manual brew, dituang perlahan dengan gaya tertentu melalui saringan kertas. Sesekali, jika keduanya tak tersedia di warung kopi yang saya datangi, saya memesan Americano. Dengan satu permintaan yang selalu sama: disediakan susu kental manis. Ya, SKM—yang oleh banyak orang dianggap susu kurang berkualitas, entah dibuat dari apa. Maka jangan heran, lebih sering saya tak mendapati kopi Vietnam drip plus SKM di tempat-tempat minum kopi yang “serius” dan bergengsi. Alhasil, saya merasa keenakan, dan makin ketagihan.
Nasihat seorang rekan muda yang ahli kopi menambah keyakinan saya. Ia mengatakan bahwa yang lebih berpotensi mengganggu tidur adalah kopi Robusta, karena kandungan kafeinnya lebih tinggi. Seorang rekan dokter yang ahli gastritis—penyakit maag—juga pernah memberi tahu saya bahwa kopi Arabica umumnya lebih aman. Maklum, saya penderita gastritis sejak muda.
Sejak saat itu, saya selalu minum kopi Arabica dengan SKM—yang jumlahnya tidak sedikit. Maka setiap kali orang bertanya apakah saya peminum kopi yang serius, saya hampir selalu menjawab, “Saya bukan peminum kopi. Saya peminum sirup rasa kopi.”
Nah, siang tadi itu, penjual muda yang ramah di warung kopi kecil tersebut menawari saya kopi sanger ketika saya bertanya apakah ada kopi Arabica. Saya langsung mengiyakan. Dan benar saja, kopinya terasa sungguh enak.
Namun belum lama kopi itu membasahi kerongkongan saya, pikiran-pikiran lain segera berseliweran. Sejak dua hari terakhir, diliputi keprihatinan atas bencana di Sumatra—khususnya di Aceh—saya menelepon ke sana-sini untuk mencari tahu keadaan di lokasi bencana. Bahkan sempat terlintas di benak saya keinginan serius untuk berangkat sendiri ke sana. Dari cerita mereka, dan dari foto-foto dan video-video yang dikirimkan kepada saya, tergambar jelas betapa memprihatinkan keadaannya.
Memang, jumlah korban meninggal jauh lebih “kecil” dibandingkan Tsunami Aceh tahun 2004. Namun mereka yang memahami situasi mengatakan bahwa kali ini kerusakannya justru lebih parah dan penderitaan korbannya lebih besar.
Beberapa teman menasihati saya agar tidak pergi, karena medan yang amat sulit. Jika pun saya bersikeras, mereka menyarankan agar saya menuju Tamiang melalui Medan—rute yang sudah bisa dilewati, meski memakan waktu lebih dari empat jam.
Ada pula pilihan menuju wilayah lain yang jalannya sudah terbuka, tetapi harus membonceng motor trail. Mana mungkin, pikir saya, tubuh yang sudah mulai menuju usia tujuh puluh tahun ini sanggup diguncang-guncang motor trail berjam-jam di medan sesulit itu?
Hanya tak kurang dari dua jam setelah menelepon ke sana-sini itu, kopi sanger berbahan Arabica Gayo itu membasahi kerongkongan saya. Ada sensasi nikmat yang bercampur pahit dan getir. Hampir bersamaan, di luar kendali saya, terbayang di mata saya rumah-rumah yang terendam banjir berhari-hari, hingga penghuninya terpaksa mengungsi ke atap rumah. Termasuk di wilayah Gayo.
Dan setelah air surut pun, mereka tak bisa kembali tinggal di rumah mereka. Hampir seluruh bagian rumah terisi lumpur yang mengeras. Jangan bicara listrik atau suplai air. Semuanya hancur. Rumah mereka, dan semua harta yang mereka punyai: mobil, motor, perabot rumah tangga, dan apa pun yang selama ini menopang hidup mereka. Segalanya ludes dimakan banjir yang berlumur lumpur itu.
Tak terbayang ke mana mereka harus mengungsi untuk menyambung hidup. Ada yang menumpang di rumah-rumah yang masih selamat—jika jalan tidak putus dan tujuan masih bisa mereka raih. Sebagian lainnya bertahan di tenda-tenda darurat. Tak sedikit pula yang harus menahan lapar karena tak bisa ke mana-mana, sementara bantuan terhambat masuk akibat jalan yang terputus.
Maka jadilah kopi sanger saya yang manis, bercampur pahit dan asam, itu, seolah merekam kepedihan masyarakat Aceh —masyarakat Sumatra pada umumnya —yang sedang terlanda bencana.
Sejak itu saya berniat, rasa manis dalam kopi sanger yang saya minum harus menjadi pengingat akan penderitaan mereka. Jangankan menikmati kopi enak, sebagian dari mereka bahkan terpaksa minum air banjir yang tersisa di saluran-saluran atau parit-parit yang ada.
Tolonglah mereka, Tuhan. Beri kami kekuatan untuk menolong mereka, seberapa pun kami mampu. Dan semoga Engkau memberi kekuatan kepada mereka, serta mengganjar kesabaran mereka dengan pahala berlipat ganda. Kabulkan, ya Allah…
Foto: theatjehpost











