Oleh : In’am el mustofa
Pengantar
Diujung Pemerintahan Joko Widodo ibarat orang sakit kini justru terkuak semua sebab musabab penyakit yang diderita Indonesia yakni adanya upaya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggungjawab pada Presiden sehingga menjadikan beberapa alat negara tidak berfungsi secara optimal serta makin lemahnya partisipasi masyarakat dalam melakukan control.
Keadaan demikian ternyata menimbulkan ekses yang sangat tidak baik; menyuburkan praktik korupsi, kolusi yang makin menggila baik yang dilakukan pada ranah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ujungnya menguntungkan kelompok tertentu serta merusak sendi-sendi penyelanggaraan negara secara nasional.
Menengok ke belakang 1998, reformasi memiliki semangat agar para penyelenggara pemerintah dapat berfungsi dengan baik, maka tercatat pada Rapat paripurna ke 4 tanggal 13 November 1998 dikeluarkanlah ktetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelanggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketetapan tersebut menegaskan dan memiliki semangat agar fungsi lembaga-lembaga tinggi negara jauh dari praktek Korupsi. Para penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, terpercaya serta menjauhi tindakan dan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme—maka mereka menjadi pejabat bersumpah atas hal tersebut sesuai dengan agama dan keyakinannya. Tidak hanya itu mereka juga wajib bersedia untuk melaporkan sekaligus diperiksa kekayaan sebelum dan sesudah menjabat.
Bermula dari Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 Presiden membentuk Komisi Pemeriksaan, kemudian UU Nomor 31 tahun 1999 mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan tindak pidana korupsi dengan wewenang luas termasuk didalamnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku.
KPK pada Masa Joko Widodo
Cukup ampuhkah aturan tersebut dalam menghambat laju korupsi? Ternyata tidak. Bahkan di era Joko Widodo nilai korupsi dan atau kerugian negara justru makin besar. Para akademisi melihat fenomena ini sebagai akibat dari sistem dan stuktur pemerintah yang banyak celah untuk melakukan tindak korupsi sekaligus apatisme terhadap tindak perilaku korup menjadi prilaku yang normal dan wajar.
Ada dua macam korupsi menurut Encyclopedia Americana: korupsi pemilu dan korupsi politik. Korupsi pemilu terkait dengan pembelian suara kepada pemilih dengan uang, iming-iming jabatan, kemudahan fasilitas, hadiah khusus. Sedang Korupsi politik memberi perhatian pada pencaharian yang tidak sah dan penyalahgunaan wewenang atau jabatan yang dimiliki. Keduanya berbeda, iya. Namun memiliki akibat politik sama yaitu dampak politis yang mengakibatkan kerugian negara dan multi efek. Penyebabnya tentu nafsu untuk mengatur sedemikian luas terhadap warga negara melalui kewenangan dan kekuasaan. Mendistribusikan ekonomi, sumberdaya alam serta kebijakan lain yang mengikat.
Evaluasi dilakukan namun kejahatan korupsi sekalipun sudah ada KPK dengan landasan hukum UU Nomor 30 tahun 2002 karena Jaksa dan polisi dianggap tidak efektif menyelesaikan kasus korupsi. KPK seiring berjalannya waktu justru kehilangan sifat independennya. Awalnya untuk mempersempit ruang gerak para koruptor tetapi justru berubah menjadi alat kekuasaan untuk menindak lawan-lawan politik.
Adanya KPK karena kenyataan sosial politik penyelenggara negara dinilai kurang mampu memenuhi tuntutan kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar yang makin meningkat sehingga pemerintahan berjalan efektif dan effisien. Momentum pada masa rejim Joko Widodo KPK mengalami gegar politik semenjak Presiden dan DPR menyetujui revisi UU nomor 30 tahun 2002 menjadi UU nomor 19 tahun 2019.
Sebenarnya publik sudah membaca bahwa revisi dimaksudkan untuk memperlemah KPK. Pelemahan ini menjadi bukti bahwa KPK sebenarnya berfungsi efektif sebagai lembaga independent. Sayang baik eksekutif dalam hal ini Presiden dan juga DPR bersepakat untuk merevisi.
Kalau Presiden Joko Widodo menolak revisi UU KPK tentu perjalanan KPK tidak separah sekarang yang kemudian hanya dimanfaatkan oleh mereka yang haus kekuasaan. Sekali lagi kini KPK menjelma menjadi alat politik kekuatan politik beberapa gelintir orang yang memiliki pengaruh ekonomi dan politik luar biasa. Padahal sudah diketahui bersama bahwa pemberantasan korupsi hanya membutuhkan political will dari pemimpin dalam hal ini Presiden. Joko Widodo sendiri sudah pernah menyatakan bahwa dia sendiri yang akan pimpin pemberantasan korupsi namun kenyataan lapangan jauh panggang dari api. Justru Presiden memelihara orang-orang yang terendus korupsi sebagai pembantunya, dan akan menghajarnya dikemudian hari untuk kepentingan politik kekuasaanya. Itu semua menjadi bukti bahwa berat atau ringan pemberantasan korupsi sangat membutuhkan komitmen dari pemimpin. Ada komitmen yang kokoh saja, 50 persen persoalan korupsi akan teratasi.
Publik sudah memberikan kritik terkait revisi UU KPK karena adanya cacat prosedur (formil) dan cacat substantif (materiil), bahkan publik mendesak agar dikeluarkan Perppu untuk menunda pemberlakuan UU KPK 2019.
Akhirnya penguatan KPK sebagaimana janji Joko Widodo hanya bohong belaka! ingatan publik masih segar bahwa revisi tersebut semua tanpa adanya naskah akademik, tidak masuk dalam prolegnas prioritas 2019, tidak melibatkan seluas mungkin masyarakat. Bahkan dibuat super kilat, hanya 14 hari. Ajaib.
Point-point krusial adalah hilangnya independensi KPK, kewenangan penerbitan SP3 alih status kepegawaian KPK menjadi ASN. Suka tidak suka KPK menjadi subordinat Presiden Joko Widodo dengan demikian dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Semula memang Presiden menolak beberapa point terkait ijin penyadapan kepada pihak eksternal, tidak setuju KPK koordinasi dengan kejaksaan agung dalam penuntutan, tidak setuju penyidik dan penyelidikan hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Namun toh dalam pembahasan bersama akhirnya presiden juga mengutus dua Mentrinya untuk hadir, namun diujung Presiden tidak menandatangi UU tersebut. Padahal ada ketentuan dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan UU tersebut disetujui, rancangan UU tersebut tetap menjadi UU dan wajib dilaksanakan. Jika demikian akhirnya terbuka mata publik bahwa konstitusi menjadi alat permainan kekuasaan dan semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi.
Manipulasi dan kebohongan dipraktikkan mulanya beralasan untuk penguatan pengawasan, salah satu alasan resmi dari pemerintah dan DPR adalah perlunya pengawasan terhadap KPK. Pembentukan Dewan Pengawas KPK disebut sebagai langkah untuk memastikan bahwa lembaga ini tidak bertindak sewenang-wenang dan tetap dalam koridor hukum.
Pendukung revisi mengklaim bahwa perubahan ini bertujuan untuk melindungi individu dari potensi penyalahgunaan kewenangan oleh KPK, terutama dalam hal penyadapan dan penuntutan.
Dalam UU yang baru, penyadapan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Pemerintah dan DPR juga mengklaim bahwa revisi UU KPK merupakan respons terhadap kritik masyarakat dan berbagai pihak yang menginginkan KPK bekerja dengan lebih transparan dan akuntabel.
Manipulasi Kewenangan KPK
Kecerdasan publik membaca manipulasi menilai bahwa revisi ini lebih banyak didorong oleh kekhawatiran dari sejumlah politisi dan pejabat yang merasa terancam oleh kekuatan KPK. Dengan memperlemah kewenangan KPK, dianggap sebagai upaya untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dari pengawasan ketat lembaga antikorupsi ini. Dalam arti lain sebenarnya KPK sesungguhnya merupakan lembaga yang kini dimusuhi oleh banyak pihak kemudian akan dijinakkan untuk kepentingan kekuasaan saja bukan untuk demokrasi politik dan ekonomi.
Posisi presiden sangat kuat memungkinkan sekali untuk memaksa atas nama negara kepada badan yudikatif dan legislatif untuk membuat legal policy pada ranah penegakkan hukum. Inilah paradoks dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang kemudian menjadi celah bagi para penghamba syahwat kekuasaan dan perampok kekayaan alam melakukan intervensi dengan cara jual beli pasal (produk hukum).
Riset SMRC menunjukkan bahwa pada periode kedua kekuasaan Joko Widodo-Makruf Amin sangat buruk 49,2%. Kepuasan publik terhadap pemberantasan korupsi sangat jauh dari harapan. Presiden Joko Widodo seperti dikatakan oleh ICW Lalola Easter tidak hadir langsung dalam pemberantasan korupsi—Stranas PK.
Kasus-Kasus Besar yang Ditangani KPK pada Masa Joko Widodo
Selama masa pemerintahan Joko Widodo, KPK menangani berbagai kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi, politisi, dan tokoh penting lainnya. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1. Kasus E-KTP:
Ini adalah salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah diungkap KPK, melibatkan proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang merugikan negara triliunan rupiah. Sejumlah tokoh penting termasuk Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR, terlibat dan dihukum dalam kasus ini.
2. Kasus Suap Hakim Mahkamah Konstitusi:
KPK menangkap Patrialis Akbar, seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, atas dugaan menerima suap untuk mempengaruhi putusan terkait uji materi undang-undang. Kasus ini menunjukkan bahwa praktik korupsi bahkan merambah hingga ke lembaga peradilan tertinggi.
3. Kasus Suap Gubernur Sulawesi Selatan:
Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan, ditangkap KPK pada tahun 2021 karena dugaan menerima suap terkait sejumlah proyek infrastruktur. Kasus ini menyoroti korupsi yang melibatkan pejabat daerah dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
4. Kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial Covid-19:
Kasus ini melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara yang diduga menerima suap dalam penyaluran dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Kasus ini sangat menarik perhatian publik karena dilakukan di tengah krisis pandemi.
5. Kasus Korupsi Proyek Listrik PLN:
KPK juga mengungkap kasus suap terkait proyek pembangunan pembangkit listrik yang melibatkan Sofyan Basir, Direktur Utama PLN. Kasus ini melibatkan proyek infrastruktur strategis yang sangat penting bagi Indonesia.
Selama masa pemerintahan Joko Widodo, KPK tetap aktif meskipun menghadapi tantangan besar, termasuk perubahan undang-undang yang memperlemah institusi ini. Beberapa kasus yang ditangani KPK di masa ini menunjukkan betapa luasnya praktik korupsi di berbagai sektor, dari proyek infrastruktur hingga pengadaan bantuan sosial.
Pada sisi lain permainan jabatan di KPK sudah mulai tercium, agar lebih mudah dikendalikan oleh Presiden. Persoalannya apakah DPR akan diam saja ketika KPK lebih banyak membidik orang partai politik, disinilah pelik dan paradoknya penegakkan hukum di Indonesia. KPK makin ganas maka DPR pun bersiap untuk mengajukan Hak Angket terhadap KPK, itu pernah dilakukan.
KPK dan Rejim baru Prabowo
Maka meskipun ada usaha KPK untuk terus tangani korupsi, perlawanan para perampok kekayaan alam dan proxy nya terus dilakukan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Levitsky dan Ziblatt bahwa perlunya demokratisasi politik hukum dan ekonomi perlahan tapi pasti mengalami reduksi terutama pada lembaga-lembaga dan komisi-komisi negara melalui revisi Undang-Undang.
Tantangan rejim baru terhadap penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi melalui KPK sudah amat nyata di depan mata.
Struktur KPK yang rawan intervensi dari kekuatan luar merupakan PR utama agar diselesaikan secara demokratis. Tarik menarik kepentingan politik dalam tubuh KPK sudah menjadi rahasia umum antar institusi yang berwenang dalam penegakkan hukum, kepolisian, kejaksaan pun juga DPR. Prabowo sebagai Presiden, imperative ia juga diberi ruang untuk mempengaruhi KPK dan dijamin oleh Undang-undang. Persoalanya akankah Prabowo menggunakan hal tersebut?
Pilihan terbaik Prabowo adalah mengembalikan, independensi KPK dengan cara membersihkan KPK dari pegawai dan pimpinan yang sarat kepentingan politik. Tidaklah tabu untuk keluarkan Perppu untuk memberi kewenangan KPK seperti semula yang lebih luas.
Rekomendasi
1. Kepada pemerintah baru nanti Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai ihktiar untuk mengembalikan kedaulatan rakyat melalui kedaulatan hukum hendaknya ada keberanian secara tegas Presiden Prabowo Subianto untuk menempatkan KPK sebagai lembaga yang benar-benar Independen dan dilepaskan dari vested interest tertentu/para oligarkh.
2. Baju ASN KPK harus ditinggalkan untuk menghindari bias kepentingan
3. Ketua dan anggota komisi harus didasarkan pada usulan atau melibatkan partisipasi rakyat secara luas. Hal tersebut sebagai wujud komitmen dan konsistensi Kepala negara sekaligus Kepala pemerintahan dalam pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme