Oleh : Agus Wahid
“Yang penting skill (keahlian), berkemampuan, bukan ijazah”, ucap Jokowi yang sempat viral di media sosial. Sebuah ucapan yang tentu punya makna implisit. Ke mana arah sesungguhnya di balik ucapan sang maestro politik tricky Jokowi itu?
Di satu sisi, ucapan Jokowi benar. Keahlian dan kemampuan jauh lebih urgent untuk menghadapi medan pekerjaan atau tugas. Terkait hal ini, di negeri ini pun punya catatan historis yang faktual. Seorang Adam Malik tak berpendidikan formal, alias tak punya ijazah. Tapi, karena sikll dan atau kemampuannya, beliau pernah menjadi Menteri Luar Negeri bahkan menjabat Wakil Presiden semasa Orde Baru. Bahkan, mantan Presiden Indonesia (Soeharto) yang tidak pernah mengenyam pendidikan SMP, alias tak punya ijazah perguruan tinggi (PT) pun – karena berkemampuan hebat – bisa menjadi Presiden RI selama 32 tahun.
Pertanyaannya, apakah Jokowi punya skill atau kapasitas, di luar kehalian selaku tukang kayu dan ahli bohong? Memimpin negara memerlukan otak encer, bukan stupid bin foolish. Juga, perlu memiliki pengetahuan yang luas, meski bersifat learning by doing.
Tak jauh beda ada orang “awak”, Soedjatmoko, tidak punya ijazah sebuah PT, tapi – karena keluasan ilmu pengetahuannya dan menguasai banyak bahasa internasional – beliau pernah menjabat Rektor United Nations University (UNU). Seorang Rocky Gerung (RG), meski hanya lulusan S1, tapi cakrawala ilmunya demikian mumpuni. Sampai-sampai mampu mengajar program doktoral dan mengajar di berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri, Lemhannas dan Sespim.
Itulah yang kita saksikan pada Adam Malik ataupun Soeharto, Soedjatmoko, Rocky Gerung. Publik meyakini kehebatan mereka. Lalu, apakah fakta sejumlah tokoh ilmuan hebat itu menjdi justifikasi bagi Jokowi? Sama sekali no.
Pernyataan Jokowi hanyalah untuk menggiring opini publik bahwa dirinya ingin menegaskan tanpa ijazah asli tak perlu dipersoalkan. Secara tak langsung, makna di balik pernyataannya sebenarnya membenarkan atau mengakui dirinya tak punya ijazah asli UGM. Bahkan, jika merever buku Jokowi Under Cover, karya Bambang Tri, Jokowi pun tak memiliki ijazah asli SMA.
Sekali lagi, dengan pernyataan “yang penting skill, tak perlu berijazah”, kita bisa mencatat putera Oei Hong Liong (gembong PKI Boyolali) ini berusaha menghalau tuntutan masyarakat untuk apa mempersoalkan lebih jauh kepemilikan ijazah asli, apalagi sampai ke penuntutan secara hukum. Demikian simplistisnya pemikiran sang Jokowi.
Namun demikian, Jokowi memang sangat berkepentingan agar masalah ijazah aslinya (dari UGM atau SMA) tak perlu dikuak secara pasti dengan pendekatan kepastian hukum. Baginya Herbertus Jokowi ini – ingat, nama baptis ini sesungguhnya masih melekat dalam dirinya – persoalan ijazahnya akan dijaga kerahasiaannya. Bisa jadi, sampai dirinya terkubur di liang lahat.
Why? Karena – untuk dirinya – menyangkut masa depan politiknya. Sebagai sosok yang ambisius, dia tampak merancang memelihara citranya sebagai sosok yang baik, berkemampuan dan digandrungi rakyat. Modalitas sosial politik ini menjadi senjata ampuh untuk meloloskan dirinya ke proses politik 2029 mendatang. Meski kini KPU pasti akan merevie keberadaan ijazah asli Jokowi jika ikut kontestasi pilpres mendatang, namun Jokowi piawai dalam “menaklukkan” orang-orang KPU.
Dengan pundi-pundi yang diraupnya dari berbagai sumber secara ilegal selama sepuluh tahun berkuasa, dia siap bertarung dengan Prabowo sekalipun. Keberaniannya ditambah dengan pundi-pudi dari naga sembilan yang siap memback up Jokowi karena tahu persis sang Jokowi manusia super foolish dan rela mengkhianati negara dan bangsa ini.
Membaca topografi politik 2029 mendatang, Prabowo khususnya – dengan sadar – harus mampu menyingkirkan manusia super bandit ini, apalagi paling bodoh di antara presiden Indonesia yang ada. Politik yang dimainkan cukuplah menyerahkan kepada seluruh anasir penegak hukum. Sasarlah lembaga pendidikan yang pernah dilalui Jokowi, at least mulai dari SMA dan UGM yang notabene pernah mengeluarkan ijazahnya.
Jika lembaga-lembaga pendidikan yang bersangkutan tetap melindungi kejahatan Jokowi, maka – atas nama integritas hukum dan keilmuan – mereka harus mendapatkan ganjaran sebagai pihak yang terlibat dalam kejahatan sistematis dan terencana.
Prabowo pun perlu menginstuksikan kepada seluruh aparat kepolisian dan TNI untuk melindungi hak-hak kebebasan berpendapat para pengunjuk rasa di arena publik yang menuntut kepastian ijazah Jokowi. Instruksi Prabowo sangat diperlukan untuk memuluskan perjuangan pro keberanaran sejati.
Dan yang lebih krusial adalah, Probowo – atas nama panggilan keadilan – harus menghormati hak-hak independensi para hakim yang memproses duduk perkara ijazah Jokowi. Independensi kekuasaan akan menggerakkan para penegak hukum di wilayah pengadilan. Sikap serupa juga perlu diinstruksikan Prabowo kepada lembaga kejaksaan. Agar, para penuntut umum ini pun tidak mau berkolaborasi untuk urusan kejahatan sistematis dan terencana itu.
Setidaknya, pemberian kebebasan terhadap ketiga lembaga terkait untuk bersikap sesuai integritasnya, akan mendorong nurani mereka yang tegak- lurus terjadap justisia. Sebuah urgensi bagi Prabowo adalah kekuasaannya akan semakin terkurangi dari aib besar Jokowi. Bahkan bisa megurangi sikap distrust masyarakat luas. Tak bisa dipungkiri, rakyat terus menanti integritas Probowo for law, bukan sungkem terhadap Jokowi.