Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. – Advokat
Kemarin (Kamis, 14/11), Penulis melakukan Safari Podcast dengan dua entitas sekaligus dalam rangka membangun kesatuan perspektif dan pemikiran, untuk memahami sekaligus melawan kezaliman perampasan tanah rakyat di Proyek PIK 2. Aktivitas ini, penulis dedikasikan sebagai advokasi publik (public dependent), pemberian bantuan hukum umum yang menjadi bagian dari fungsi dan peran Advokat.
Jadi, Advokat selain menjual jasa hukum untuk mencari penghasilan, juga berkewajiban untuk memberikan layanan jasa hukum gratis (bantuan hukum).
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan:
‘advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu’. Untuk memenuhi amanat Undang-Undang telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.”
Bahkan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sudah menerbitkan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Setiap advokat dianjurkan memberikan bantuan hukum pro bono 50 jam setahun.
Intinya, menjadi Advokat tak semata bekerja mencari uang. Melainkan, juga beramal untuk membela rakyat.
Kunjungan Pertama, Penulis datang ke studio Bang Edy Channel, di daerah Tomang, Kec. Grogol petamburan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sekitar 1,5 Jam penulis silaturahmi, dan dalam silaturahmi tersebut penulis melakukan podcast, membahas kasus perampasan tanah di PIK 2.
Kunjungan Kedua, Penulis memenuhi undangan dari senior-senior aktivis UI WATCH, di Jl Kramat Raya, Kramat, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Di UI WATCH, Penulis juga mengadakan podcast terkait perampasan tanah di PIK 2 bersama Roy Suryo. Menpora Era SBY, yang juga dikenal sebagai ‘Dalang Fufufafa’.
Dalam podcast ini, Mas Roy Suryo seperti biasa membawa wayang dan memparodikan kezaliman proyek PIK 2 dengan wayang. Ada sosok Buto Ijo Rambut Geni (Raksasa Berambut Api) melambangkan oligarki PIK 2 yang mengangkangi Republik ini. Ada Petruk Besar dan Petruk Kecil, melambangkan penguasa jahat yang mewariskan kejahatannya pada anaknya. Ada Wlekudoro, kstaria yang berkuasa tapi masih dalam bayang-bayang hegemoni Petruk kecil yang dititipkan Petruk besar. Dan ada wayang yang melambangkan rakyat korban dan para buzser. Semua, dinarasikan ada di negeri Wakanda.
Meski sama-sama mengkritik proyek PIK 2, Mas Roy Suryo lebih halus. Khas dengan karakter Jawa, yang dalam berpolitik memang halus, namun mematikan. Parodi tokoh wayang yang ditampilkan, sejatinya menjelaskan kondisi dan situasi di Republik ini yang tidak baik-baik saja.
Sementara penulis sendiri, meski berdarah Jawa, namun lahir dan dibesarkan di Sumatera, makan dan minum saripati tanah sumatera. Sehingga, karakter terbuka, ‘tunjuk poin’, tanpa Tedeng Aling-aling, tanpa basa basi, penulis tampilkan dalam mengkritisi kezliman proyek PIK 2.
Misalnya saja, tanpa basa-basi penulis tegaskan bahwa di PIK 2 terjadi perampasan tanah rakyat oleh perusahaan milik Aguan atau Sugiyanto Kusuma. Penulis menyampaikan hal itu, berangkat dari definisi perampasan tanah.
Penulis mendefinisikan perampasan tanah adalah tindakan mengambil secara paksa tanah milik orang lain, tanpa keridloan pemiliknya. Yang dimaksud tidak ridlo, maksudnya bisa meliputi tidak ridlo karena tanah diambil begitu saja tanpa kompensasi, atau tidak ridlo dengan transaksinya, atau tidak ridlo dengan harganya, atau tidak ridlo dengan caranya, atau tidak ridlo karena tidak ingin melepaskan tanahnya, dll.
Rata-rata, masyarakat di Banten tidak ridlo, disebabkan beberapa alasan:
Pertama, sebagian dari mereka ada yang tidak ridlo karena tidak ingin menjual tanah. Jangankan dihargai 50.000 perak, 5 juta per meter pun, mereka tidak mau. Karena ada sejarah, kenangan dan amanah keluarga, agar tanah tetap dikelola sendiri, tak boleh dijual.
Kedua, mereka tak ridlo karena ganti ruginya kecil, cuma 50.000 perak per meter. Andaikan, harga yang diberikan pengembang wajar, yakni harga pasar, paling tidak 500 ribu per meter, masyarakat mungkin akan ridlo melepaskan tanahnya.
Ketiga, mereka tidak ridlo karena akan kehilangan kampung halamannya. Mirip di Rempang. Mereka tak mau, kampung yang mereka tinggali berpuluh tahun hingga ratusan tahun, hilang DIGUSUR menjadi perumahan elit, atau tertutup aksesnya oleh kerakusan perumahan elit, yang akhirnya terdampak banjir, kerusakan lingkungan, kesemrawutan, dll.
Keempat, mereka tidak ridlo karena tanah diambil begitu saja, mereka kehilangan sumber penghasilan, tidak bisa menanam padi atau mengelola tambak, hingga tak bisa melaut mencari ikan karena tertutup akses.
Apalagi, perampasan tanah di PIK 2 meminjam tangan kekuasaan melalui status PSN. Padahal, PIK 2 murni swasta, tujuannya untuk memperoleh laba. Laba yang diperoleh untuk Aguan dan Anthony Salim, bukan untuk rakyat.
Pemberian status PSN ini telah melegalisasi perampasan tanah rakyat oleh PANI, dengan memanfaatkan UU No. 2/2012 untuk melakukan pengadaan tanahnya. Sungguh, ini merupakan kezaliman yang nyata.
Penulis tidak anti bisnis property. Karena bisnis ini, juga memberikan manfaat bagi rakyat untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan.
Tapi, proses produksinya jangan zalim. Pengadaan lahannya jangan dengan merampas tanah rakyat. Perampasan tanahnya, meminjam otoritas penguasa. Sehingga, seluruh aparat menjadi pelayan kepentingan oligarki property, untuk memuluskan perampasan tanah rakyat.
Ternyata, paralel kami berdiskusi podcast dengan UI WATCH yang dipandu oleh Pak Heru Purwanto, Bang Juju Purwantoro yang juga anggota UI WATCH kemarin pada hary yang sama (Kamis, 14/11) melakukan tinjauan ke lokasi. Jadi, kemarin terjadi dua advokasi, Advokasi udara melalui podcast untuk memberikan kerangka pemikiran dan perspektif atas perampasan tanah rakyat di PIK 2.
Sementara itu, pada hari yang sama Bang Juju bersama alumni kampus lainnya melakukan advokasi darat, melakukan empowering (penguatan) pada masyarakat terdampak di lokasi proyek. Kunjungan dilakukan di Pantai Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo, Tanggerang, Banten.
Semestinya, KPK atau Kejagung turun untuk memeriksa proyek PIK. Karena proyek ini, yang menggunakan status PSN, jelas terjadi penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum, yang merugikan keuangan negara, yang hanya menguntungkan korporasinya Aguan. Potensi berkurangnya PPH dan BPHTB dari peralihan hak tanah, merugikan pemilik tanah dan negara.
Pemilik tanah rugi, karena tanah yang harganya 500 ribu per meter hanya dibayar 50 ribu per meter. Negara rugi, karena pajak yang diterima harusnya dihitung dari 500 ribu per meter, namun hanya dibayar pajaknya dari harga 50 ribu per meter.
Tapi, kalaupun kasus PIK 2 ini masih perlu proses lebih lanjut, sebenarnya Aguan harusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap oleh Bareskrim Polri dalam kasus perampasan tanah SK Budiardjo & Nurlela. Dalam kasus ini, Aguan merampas tanah SK Budiardjo & Nurlela, lalu dijadikan perumahan Golf Lake Residence, tanpa membayar satu rupiahpun.
photo : kompas