Oleh: Radhar Tribaskoro

Selalu ada saat ketika sebuah republik tiba-tiba terasa bukan lagi seperti rumah yang akrab. Ia berubah menjadi lorong yang panjang, remang, penuh pintu tertutup rapat. Di balik pintu-pintu itu, kita mendengar suara berbisik, kunci berputar, dan seseorang menahan napas. Kita mengetuk, sekali-dua kali, tak ada jawaban. Kita mengetuk lebih keras, lalu tiba-tiba pintu itu bukan saja tak dibuka; ia dijaga.

Begitulah kira-kira suasana yang mengitari kisruh sebuah dokumen sederhana bernama ijazah: selembar kertas yang dalam sebuah republik mestinya tak lebih rumit dari akta kelahiran atau kartu vaksin. Tetapi ia telah berubah menjadi relik yang tak boleh disentuh—relic yang dijaga oleh institusi demi institusi, seakan di sana terdapat rahasia negara yang menentukan masa depan dunia.

Yang kita saksikan adalah rangkaian orang biasa—beberapa akademisi, sebagian aktivis, sebagian hanya warga negara yang risau—yang mencoba mengetuk pintu itu. Mereka tak mengetuk dengan palu godam. Mereka hanya meminta: tunjukkanlah kepada kami apa yang diklaim sebagai milik publik. Itu saja. Permintaan yang, dalam sistem demokrasi mana pun, mestinya tidak memerlukan keberanian moral.

Tetapi justru keberanian itulah yang menjadi syarat pertama.



Kisahnya berawal dari kecurigaan—bukan kecurigaan politik, melainkan kecurigaan epistemik. Sebuah gambar digital yang beredar, beberapa angka yang tak sesuai, huruf yang berpindah posisi, dan latar yang tampak asing. Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifa mengambil jalur yang paling rasional dalam dunia yang kian kehilangan rasionalitas: memeriksa. Meneliti. Mengobservasi.

Mereka menemukan kejanggalan. Bukan satu, tapi cukup banyak untuk membuat ruang publik bergetar dengan pertanyaan. Bukankah setiap dokumen akademik memiliki standar grafis tertentu? Bukankah institusi pendidikan tinggi, termasuk UGM, adalah benteng transparansi ilmiah?

Ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul, pintu pertama tertutup.

Muncul pula Dr. Bonatua Silalahi. Ia memilih jalur lain, jalur administratif. Ia meminta KPU menunjukkan ijazah yang pernah diterima lembaga itu ketika calon bernama Joko Widodo mendaftarkan diri sebagai kepala daerah. Permintaan itu wajar. Data itu wajar. Negara bekerja dengan dokumen, bukan dengan misteri.

Tapi lagi-lagi, pintu cuma tersedia untuk mengintip. Sebagian besar informasi ditutup tanpa alasan jelas. Tanpa uji konsekuensi.

Dan ketika pintu-pintu tertutup, kita mendengar langkah-langkah yang menjauh. Ada yang menahan berkas. Ada yang berkelit dengan bahasa yang sopan, sambil menolak memberikan apa yang seharusnya diberikan. Ada pula yang menjadikan keterbukaan informasi sebagai urusan yang bisa ditunda, dinegosiasikan, atau ditiadakan.

Di situ kita mulai melihat sesuatu yang janggal: sebuah negara yang tampaknya begitu takut pada selembar kertas.



Lalu muncullah Lukas Luwarso dan kawan-kawan. Mereka bukan pemburu sensasi. Mereka datang dari tradisi yang menghormati argumen: advokasi informasi publik. Mereka menuju Komisi Informasi Pusat—institusi yang dibentuk negara untuk mengawasi dirinya sendiri. Di sana, prosedur dilalui. Sidang digelar. Pembelaan disusun. Tetapi lagi-lagi, misteri dilindungi oleh tata cara dan alasan yang tak pernah sunyi dari aroma kepentingan.

Pada akhirnya, tak satu pun pintu terbuka. Tak ada ijazah. Tak ada transparansi. Tak ada penyelesaian.

Yang ada justru sesuatu yang lebih menakutkan: warga negara yang mencari kebenaran ditarik ke ruang pemeriksaan, dituduh, dilabeli, dan sebagian akhirnya menjadi tersangka.

Di titik itulah cerita ini menjelma menjadi kisah yang lebih tua daripada republik ini. Kita pernah membacanya dalam novel-novel dystopia: ketika bertanya adalah kejahatan, ketika keraguan dianggap makar, dan ketika negara merasa dirinya terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan.



Apa yang sebenarnya terjadi pada negeri ini?

Pertanyaan itu sederhana namun terasa menggema di ruang yang lebih besar daripada kasus ijazah itu sendiri. Mengapa sebuah republik yang dibangun atas nama transparansi dan kedaulatan rakyat tampak lebih memilih kerahasiaan ketimbang keterbukaan? Mengapa lembaga-lembaga negara—UGM, KPU, KIP, Polri, Kemendikbud—serentak berada di sisi yang sama: sisi ketertutupan?

Pertanyaan ini menyentuh inti yang paling sensitif: untuk siapa institusi-institusi itu bekerja?

Jawabannya tidak mudah. Tetapi ia terasa mengendap dalam bisu 10 tahun terakhir. Ketika negara, sedikit demi sedikit, kehilangan jarak dari figur yang mengendalikannya. Ketika institusi berhenti menjadi institusi, dan berubah menjadi sayap dari sebuah kekuasaan personal. Ketika birokrasi mulai bergerak bukan dengan logika hukum, tapi dengan logika loyalitas.

Sosiologi menyebut proses itu captured institutions. Teori politik menyebutnya erosion of horizontal accountability. Tetapi bagi warga negara yang berdiri di luar pagar istana, semua itu hanyalah tanda bahwa negara sedang membalikkan badan: bukan lagi menghadap rakyat, tetapi menghadap kekuasaan.

Apa yang terjadi pada Roy, Rismon, Tifa, Bonatua, dan Lukas bukan sekadar tragedi hukum. Ia adalah gejala. Gejala dari negara yang, alih-alih menjawab pertanyaan, memilih menghukum mereka yang bertanya.



Dalam sejarah republik ini, kita pernah mengenal negara yang melawan rakyatnya. Itu masa yang gelap. Kita juga mengenal rakyat yang melawan negara. Itu masa yang heroik. Tetapi kini kita menyaksikan bentuk yang berbeda: rakyat yang melawan negara bukan untuk menggulingkan kekuasaan, melainkan untuk memintanya kembali menjadi dirinya sendiri.

Ada ironi di sana.

Rakyat meminta negara menjalankan hukum. Negara membalas dengan menjadikan hukum sebagai senjata untuk membungkam rakyat.

Rakyat meminta transparansi. Negara menjawab dengan ketertutupan yang semakin pekat.

Rakyat meminta verifikasi. Negara menjawab dengan kriminalisasi.

Fenomena “melawan negara” di sini bukan perlawanan fisik, bukan pemberontakan. Ia adalah sejenis doa politik: sebuah permohonan agar negara kembali waras.



Sebab pada akhirnya, pertanyaan publik tentang ijazah itu bukan persoalan dokumen. Ia adalah persoalan integritas. Persoalan kejujuran kolektif. Persoalan apakah republik ini masih memiliki ruang untuk kritik tanpa dibalas dengan ancaman.

Dan yang lebih penting: apakah negara masih mampu membedakan antara kritik dan ancaman? Antara pertanyaan dan permusuhan? Antara warga negara dan musuh negara?

Dalam demokrasi yang sehat, pertanyaan tidak pernah dianggap musuh. Ia justru fondasinya.

Tetapi di negeri ini, sesuatu telah patah. Kita menyaksikannya dalam cara institusi-institusi negara bergerak. Dalam cepatnya mereka menanggapi kritik dengan represif. Dalam lambatnya mereka menjawab permintaan informasi.

Kita menyaksikannya dalam cara mereka menjaga sebuah dokumen seolah-olah itu pusaka kerajaan.

Sebagian orang berkata: “Biarkan saja. Tidak penting.” Tetapi demokrasi pernah runtuh hanya karena hal-hal yang tampak tidak penting. Bukan karena kudeta, bukan karena perang, tetapi karena hilangnya rasa percaya. Sekeping dokumen yang dirahasiakan adalah benih dari hilangnya kepercayaan itu.



Pada akhirnya, tulisan ini bukan tentang benar atau salahnya ijazah. Ia tentang sesuatu yang lebih besar: relasi antara negara dan warga negara. Relasi yang kini, pelan-pelan, tampaknya digantikan oleh rasa curiga, ketakutan, dan pembungkaman.

“Melawan negara” adalah metafora dari pertanyaan yang tidak mendapat jawaban. Dari pintu yang tidak dibuka. Dari suara yang tidak didengar.

Tetapi, seperti yang selalu terjadi dalam sejarah republik ini, suara itu tidak mudah padam. Ia akan tetap mengetuk pintu-pintu yang tertutup, karena di balik semua kebisingan politik, warga negara tetap menyimpan harapan sederhana: bahwa negara bekerja bukan untuk seseorang, tetapi untuk rakyat.

Dan bahwa kebenaran, betapapun ditutup-tutupi, selalu menemukan jalannya sendiri.===

Cimahi, 4 Desember 2025
Advertisement
Previous articleKhidmat, Doa Bersama dan Penggalangan Dana Warga dan Mahasiswa Asal Aceh di Yogyakarta.
Next articleNegara Bubar di Gerbangnya Sendiri

Tinggalkan Komentar