Oleh: Anto Narasoma

DALAM ilmu tasawuf, salat itu tak hanya diartikan dari nilai gerakan-gerakan kepatuhan ke pada Allah SWT semata.

Sebab, tasawuf mengajarkan kita untuk memahami hakikat sesembahan kita sebagai bentuk untuk mengenal diri sendiri dan Tuhan (Allah SWT) yang kita sembah.

Seperti hakikat puisi, nilai ide dan gagasan yang dikembangkan itu memberikan arti (pengetahuan) bagi pemahaman kita terhadap diksi (kalimat) yang berisi tema (sense), feel (nilai rasa), tone (nada kata) serta tujuan arti (amanat isi).

Karena itu ilmu tasawuf digunakan untuk memahami diri kita sebagai apa, siapa, mengapa, dan untuk tujuan apa dari kehidupan kita.

Bisa jadi, setelah kita mempelajari nilai-nilai ketasawufan (tasawuf) secara mendalam, maka kesadaran spiritual dan keimanan kita kita akan dapat memahami dimensi cahaya yang menyorot ke diri kita, serta arti bayangan yang memanjang dari sepotong diri ini.

Artinya, kumpulan unsur cahaya itu berkumulasi (siapa yang memberi cahaya dan menyatukan unsur sinar dalam sorotan cahaya) ke tubuh seseorang, kemudian melahirkan sepenggal bayangan dirinya.

Unsur ini sangat dalam nilai yang perlu kita terjemahkan. Sebab, dari kesadaran spiritual yang dikelola emosi, pikiran, dan perasaan itu membuat kita dapat mengenal diri sendiri dan Allah SWT yang kita sembah.

Saya percaya (sangat yakin), ketika pola pikir dan pemahaman kita sudah melampaui pemahaman unsur satuan arus cahaya yang menyorot ke diri seseorang dengan bayangan yang memanjang, maka nilai akhirnya dapat mengembangkan sifat-sifat mulia, seperti unsur kesabaran (sabar), syukur, cinta ke pada Allah dan kasih sayang antarsesama kita.

Memang, tasawuf tak hanya sekadar ilmu kebatinan yang mampu membersihkan hati dan pikiran kita, namun esensinya dapat membantu memahami kehidupan ini sebagai perjalanan spirutual menuju Tuhan Serusekalian Alam (ajal).

Dari tahapan mendasar tentang tasawuf, merupakan perjalanan spiritual yang bertujuan untuk mencari makna (arti) dan hikmah mendalam dari progres, kelahiran, kehidupan, dan kematian.

Dapat kita rasakan setelah kita “membersihkan” pikiran dan perasaan melalui unsur-unsur pelajaran tasawuf, akan kita rasakan nilai kedamaian batin dan kebahagiaan sejati (moral : akhlak).

Seperti dijelaskan penyair Jalaluddin Rumi, unsur rasa seperti itu ibarat menggunakan kata-kata dari nilai rasa (sense of poe) untuk menangkap dan mewujudkan ide menjadi unsur tujuan puisi (intention).

Seperti yang dikemukakan di atas, unsur kedekatan antarkita dengan Allah SWT, tak hanya dilihat dari kualitas salat, tapi nilai kepedulian dengan segala unsur yang ada di lingkungan dirinya, dapat terpelihara secara baik.

Apabila ada orang kesulitan, dengan sigap kita akan segera memberi bantuan. Jika ada yang kelaparan, kita juga berusaha untuk memberikan makanan bagi mereka yang kelaparan.

Tak hanya membantu antar sesama kita, jika kita melihat ada kucing, anjing, atau hewan apa saja yang kelaparan, dengan segala kedamaian batin, kita akan berusaha untuk membantu semampunya.

Inilah unsur mendalam setelah kita mengenal diri sendiri secara mendalam. Sebab, dengan mengenal sebatang diri sendiri secara psikologis, kita juga akan mengenal siapa yang menciptakan kita (Allah SWT).

Memang, memahami unsur tasawuf itu merupakan ruang luas yang dikelilingi kaca bening untuk melihat siapa kita sebenarnya.

Andaikan kita sedah memasuki fase-fase ke dalam unsur tasawuf, maka kita akan menyadari tentang keberadaan Tuhan yang memiliki hubungan kita ke pada-Nya.

Ini yang disebut ma’rifatullah atau mengenal eksistensi Tuhan Yangmaha Pencipta. Dengan mengenal Tuhan yang menciptakan alam semesta, kita akan mampu menjaga nilai-nilai kualitas akhlak kita di dalam kehidupan ini.

Pemahaman diri dalam mengawasi emosi (perasaan), pikiran, sikap hidup sehari-hari, dampaknya bisa memberikan daya tawar yang baik bagi kita sendiri, orang lain, dan bagi semua makhluk hidup. Kita tidak akan tega melakukan sesuatu dengan kekerasan sikap yang merugikan diri sendiri.

Memang, unsur sikap untuk mengawasi diri sendiri itu disebut muraqabah. Allah SWT sangat menyintai orang-orang yang telah memahami tahapan ini.

Unsur lanjutan dari upaya membersihkan diri dari penyakit hati seperti dengki, ujub, benci, sombong, merendahkan orang lain, serta merasa segala-galanya dibanding orang lain adalah melaksanakan mujahadah atau berjuang melawan hawa nafsu. Dengan kata lain, dalam memelihara diri sendiri dari cengkraman hawa nafsu.

Meskipun pada lapisan ini tampaknya sangat mudah, tapi aplikasinya benar-benar berat dan sulit. Sebab, banyak mereka yang ilmu agamanya sudah ke tahapan penceramah, akhirnya tergelincir karena hawa nafsu.

Mereka justru terjerumus ke lingkungan hawa nafsu (berzinah) dan korupsi uang dana haji. Padahal mereka itu berkutat dengan institusi keagamaan yang menurut kita, mustahil mereka main perempuan dan merampok uang dana haji.

Ada pertanyaan batin yang paling mendasar singgah ke dalam pikiran kita. Apakah sikap-sikap buruk seperti itu bisa kita hindari?

Meskipun pertanyaan ini harus dijawab, namun esensinya terpulang ke diri sendiri. Sebab pemahaman terhadap ilmu tasawuf bisa menghindari hal-hal mendasar bagi kebutuhan psikologis seperti itu.

Selain yang sudah disebutkan tadi, dalam Islam selain berjuang melawan hawa nafsu yang kita sebut sebagai mujahadah, ada aktivitas takhali untuk membersihkan diri dari sifat-sifat negatif seperti main perempuan dan maling uang rakyat, kita dianjurkan untuk membersihkan diri, sehingga kita dapat mengembangkan sifat-sifat positif.

Misalnya menjauhkan diri dari perilaku yang dapat memperburuk perilaku seseorang, sehingga muncul sifat buruknya yang bisa menjerumuskan dirinya ke ruang busuk yang merugikan akhlak kita sendiri.

Memang, aktivitas tasawuf dapat menjaga hawa nafsu yang seimbang untuk melawan keinginan-keinginan megatif yang dapat memperburuk akhlak kita.

Yakinlah, dengan cara mendalami nilai akhlak dan kebaikan secara tasawuf, Insya Allah, kita akan dapat memperoleh nilai-nilai yang dapat menghiasi diri dengan kemuliaan sikap yang sabar (penyabar), selalu bersyukur dan cintai nilai-nilai kelahiran, kehidupan, dan kematian. Dalam sastra kita diajak untuk mendekatkan imajinasi kita ke dalam pendekatan kejiwaan dan pendekatan falsafah hidup (tasawuf).

Dengan demikian kita akan menemukan nilai-nilai yang baik setelah memahami nilai ke dalam (intrinsik) dan nilai di luar dari diri kita sendiri (ekstrinsik). (*)

Palembang
26 November 2025

Advertisement
Previous articleHikayat Perang Sabil
Next articleSekapur Sirih Sastra Aceh

Tinggalkan Komentar