
Oleh : Budi Sutiono PN
Kualitas pendidikan tinggi di Indonesia semakin menentukan arah kemajuan bangsa, terutama dalam menghadapi persaingan global yang menuntut inovasi, riset kuat, dan kemampuan adaptasi cepat. Dalam konteks ini, keberadaan dosen dengan kualifikasi doktor bukan lagi sekadar kebutuhan administratif, tetapi menjadi pilar utama yang menentukan apakah sebuah perguruan tinggi mampu bertahan, berkembang, atau tertinggal. Pendidikan doktoral membentuk cara berpikir ilmiah mendalam, ketajaman metodologis, kemampuan analitis tingkat tinggi, serta kapasitas untuk menghasilkan pengetahuan baru—semua ini merupakan fondasi utama dalam membangun SDM unggul.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Prof. Mohamad Nasir, Mantan Menristekdikti, yang menegaskan bahwa “Perguruan tinggi tidak akan maju tanpa kekuatan riset. Dan kekuatan riset membutuhkan dosen-dosen dengan kualifikasi doktor.” Penegasan tersebut menggambarkan bahwa keberadaan dosen doktor adalah prasyarat untuk mendorong universitas menjadi pusat pengetahuan dan inovasi, bukan sekadar tempat mengajar rutin.
Sejalan dengan itu, Prof. Azyumardi Azra, salah satu pemikir besar pendidikan Indonesia, menekankan bahwa perguruan tinggi membutuhkan ilmuwan, bukan hanya pengajar. “Perguruan tinggi harus menjadi pusat pengembangan ilmu, bukan pabrik ijazah,” ujarnya. Hal ini menekankan bahwa dosen doktor memegang peran strategis dalam menciptakan ekosistem ilmiah yang sehat, kritis, dan produktif.
Pakar global seperti Ernest Boyer, penggagas Scholarship of Teaching and Learning (SoTL), juga menegaskan pentingnya dosen sebagai knowledge creator, bukan hanya knowledge transmitter. Dosen yang berkualifikasi doktor dituntut untuk meneliti, menemukan, mempublikasikan, dan mengimplementasikan hasil risetnya pada masyarakat, industri, dan kebijakan publik. Inilah standar global yang menentukan kualitas institusi pendidikan.
Dampak Langsung pada SDM Nasional
Ketika perguruan tinggi dipimpin oleh dosen-dosen doktor, berbagai perubahan positif terjadi: Pertama, kurikulum menjadi berbasis riset dan kebutuhan masa depan, bukan berdasarkan materi lama atau rutinitas. Kedua, mahasiswa dibimbing dengan standar penelitian lebih tinggi, menghasilkan lulusan yang kritis dan inovatif. Ketiga, Kolaborasi kampus–industri–pemerintah semakin kuat, karena penelitian doktoral biasanya relevan dengan persoalan strategis. Kempat, Inovasi teknologi, kebijakan, dan model bisnis lebih banyak lahir dari kampus, bukan hanya impor dari luar negeri. Kelima, Ekosistem akademik menjadi hidup, dengan publikasi, seminar, dan penelitian terapan yang berdampak.
Sebagaimana ditekankan oleh BJ Habibie, ikon riset Indonesia, “Kualitas SDM menentukan kemajuan bangsa, dan kualitas SDM ditentukan oleh kekuatan riset.” Dengan demikian, dosen doktor menjadi pusat dari siklus peningkatan kualitas tersebut.
Realitas dan Opini Tajam: Saatnya Indonesia Berhenti Berkompromi
Meski penting, masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang minim dosen doktor. Banyak kampus terjebak pada pola mengajar tanpa riset, sehingga mahasiswa kehilangan akses pada pembelajaran berbasis data, inovasi, dan perkembangan terbaru dunia. Jika kondisi ini dibiarkan, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi inovasi negara lain, bukan pelaku utama.
Kita tidak bisa berharap menghasilkan lulusan berdaya saing tinggi jika pengajarnya sendiri tidak dibentuk dalam tradisi ilmiah yang kuat. Tidak mungkin mahasiswa inovatif jika dosennya tidak pernah menghasilkan penelitian. Tidak mungkin industri berkembang jika riset kampus lemah.
Sudah saatnya Indonesia bersikap tegas: Meningkatkan jumlah dosen doktor secara agresif, Memperkuat kualitas pendidikan doktoral, Memberikan insentif bagi dosen untuk meneliti, Menghubungkan riset akademik dengan kebutuhan industri, Dan memastikan bahwa hasil penelitian tidak berhenti di jurnal, tetapi menyentuh masyarakat.
Penutup: Transformasi Pendidikan untuk Transformasi Bangsa
Jika Indonesia ingin melompat menjadi negara maju, maka fondasinya harus dibangun dari kampus. Dan kampus yang kuat hanya lahir dari dosen-dosen dengan kapasitas ilmiah terbaik—yaitu para doktor yang mampu memimpin riset, melahirkan inovasi, serta mengembangkan SDM yang cerdas, kompetitif, dan adaptif.











