(Janji Surga Fiskal, Neraka di Lapangan)
Oleh: Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa
Pendahuluan
Indonesia baru saja mendapat “bendahara negara” baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Dengan wajah serius dan jargon teknokrat, ia menebar janji seakan menemukan resep mujizat ekonomi, dana ratusan triliun ditempatkan di bank negara, stimulus belasan triliun untuk rakyat, dan optimisme manis bahwa semua masalah akan selesai.
Sayangnya, kebijakan fiskal bukan dongeng Disney. Dan umat Islam, yang mayoritas hidup dari usaha kecil, koperasi, warung, pasar tradisional, dan sektor halal, tampaknya hanya akan jadi penonton setia di tribun, menyaksikan pesta uang negara yang digelar untuk para elit.
ilusi Dana Ratusan Triliun
Rp200 triliun ditempatkan di bank negara katanya untuk “dorong kredit.” Hebat, bukan? Tapi mari kita jujur, bank itu bukan malaikat dermawan. Mereka tidak akan berani kasih kredit ke tukang bakso yang tidak punya agunan. Mereka tidak akan percaya pada penjual gorengan yang hanya bermodal kepercayaan pelanggan.
Yang dapat kredit? Ya itu-itu juga, konglomerat berjas rapi, perusahaan besar yang bahkan pura-pura mendaftarkan anak perusahaanya sebagai “UMKM.” Umat Islam yang 90% menggerakkan UMKM? Cuma jadi nama dalam laporan presentasi power point.
Syariah Hanya Stiker Promosi, Bukan Kebijakan
Pemerintah bangga menempelkan label “Bank Syariah Indonesia.” Tapi mari kita cek, berapa persen dana stimulus yang dialirkan ke pembiayaan syariah? Nol besar. Syariah cuma jadi stiker promosi, brosur manis di seminar, tapi tidak pernah jadi jalur nyata.
Inilah ironi negeri dengan mayoritas muslim, ekonomi Islam diperlakukan sebagai penggembira, bukan pilar. Padahal umat Islam sudah punya zakat, wakaf, dan koperasi yang jika diberi dukungan bisa jadi tulang punggung ekonomi rakyat. Tapi semua itu dibiarkan kering, sementara bank konvensional berpesta dengan uang negara.
UMKM Retorika Panggung, Jadi Korban di Lapangan
Setiap pidato pejabat penuh dengan kalimat indah, “UMKM tulang punggung ekonomi nasional.” Tapi di lapangan, UMKM ditendang ke pinggir.
-Prosedur ribet.
-Syarat kredit njelimet.
-Akses terbatas.
Stimulus Rp16 triliun? Jangan mimpi warung kecil di kampung bisa menikmatinya. Yang dapat justru “UMKM jadi-jadian” milik perusahaan besar. Jadi, UMKM muslim hanya dipakai sebagai foto latar panggung menteri, tapi tidak pernah diberi akses nyata.
Inflasi Senjata Pemusnah Perut Rakyat
Ketika stimulus jor-joran tanpa kendali, inflasi datang. Harga cabai naik, beras melambung, minyak goreng meroket.
Pejabat sibuk menjelaskan grafik inflasi, rakyat sibuk menahan lapar.
Teknokrat sibuk main istilah “stabilisasi moneter”, ibu-ibu di pasar sibuk marah-marah karena harga naik.
Inilah wajah nyata kebijakan, jargon ekonomi berputar di ruang seminar, tapi rakyat kecil menjerit di dapur.
Masa Depan Ekonomi Umat Islam Sengaja Dihancurkan?
Pertanyaannya sederhana, apakah ini hanya kelalaian, atau memang desain sistematis?
Umat Islam diperas pajak, tapi hasilnya tidak kembali pada mereka.
Ekonomi syariah dijadikan pajangan, bukan prioritas.
UMKM muslim dipinggirkan demi proyek besar.
Kalau ini terus dibiarkan, maka jelas ekonomi umat Islam sedang dihancurkan secara perlahan tapi pasti. Bukan dengan bom atau senjata, tapi lewat kebijakan yang halus, yang dibungkus jargon modern, yang terdengar pintar, tapi sejatinya menikam mayoritas rakyat.
Rekomendasi Tegas (Kalau Pemerintah Masih Punya Malu)
1. Kuota Wajib Syariah – Setidaknya 25% dana stimulus harus mengalir ke pembiayaan syariah. Kalau tidak, “ekonomi syariah” hanyalah pepesan kosong.
2. Audit Transparan – Publikasikan penerima dana Rp200 triliun. Jangan ada UMKM palsu jadi sapi perah.
3. Integrasi Zakat & Wakaf – Dana sosial Islam harus jadi instrumen resmi kebijakan.
4. Kontrol Inflasi – Jangan bangga dengan angka pertumbuhan sementara rakyat lapar.
Penutup
Kebijakan Purbaya bisa tercatat sebagai penyelamat ekonomi, atau justru sebagai pengkhianat umat Islam. Jika mayoritas rakyat hanya dijadikan pajangan, maka masa depan ekonomi Islam akan hancur.
Sejarah akan mencatat, apakah ini sekadar ketidakmampuan teknokrat, atau memang desain busuk untuk memastikan umat Islam di negeri mayoritas muslim ini tidak pernah benar-benar berdaulat secara ekonomi.
Dan jika umat Islam tidak segera sadar, maka uang mereka akan terus diperas, usaha mereka dipinggirkan, dan masa depan mereka dijual murah di meja kebijakan.
Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta
