Oleh : Jacob Ereste

Tindak kekerasan terhadap wartawan tampaknya semakin brutal dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang mungkin merasa sangat terganggu oleh fungsi kontrol yang dilakukan insan pers. Setidaknya dalam sepekan ini saja di Sumatera Utara — belum selesai kasus pembakaran rumah berikut anggota keluarga jurnalis Sempurna Pasaribu terkuak — terjadi lagi pembunuhan sadis terhadap pekerja pers TV One, Susmri Yanto di depan rumahnya di Jalan Lau Pinggang, Ketepul, Kabanjahe, Karo, Sumatra Utara dengan sejumlah luka tikaman di tubuhnya.

Peristiwa serupa ini sesungguhnya sudah harus diantisipasi jauh sebelumnya — seperti telah berulang kali diuraikan dalam berbagai ulasan — ketika seseorang sudah menentukan pilihan untuk bekerja pada bidang pers, sepatutnya juga dia sudah harus mempersiapkan diri dari berbagai ancaman serta intimidasi hingga tidak kekerasan dari pihak yang menjadi sorotan pemberitaan. Karena itu, sejak masa awal hendak menekuni dunia pers, para penulis senior era 1970-an sudah menyarankan untuk membekali diri minimal dengan dasar-dasar ilmu bela diri, sehingga masih mampu menghadapi minimal dua orang penjahat yang akan selalu mengancam keselamatan hanya dengan imbalan yang relatif murah dari mereka yang menghendaki untuk mencederai atau bahkan membunuh kita sebagai pekerja pers.

Semasa beraktivitas di Jawa Tengah, Kadus Udin (Fuad Syafrudin) sebagai wartawan Berita Nasional (Bernas) Yogyakarta dianiaya hingga koma dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit hingga kemudian meninggal dunia. Peristiwa kisaran tahun 1980 an ini — semakin terasa meyakinkan bahwa ancaman terhadap insan pers yang kritis dan keras melakukan investigasi untuk pemberitaan memang harus menanggung resiko ancaman dan penganiyaan hingga pembunuhan secara gelap, tak terungkap. Pengaman penulis ketika penulis beraktivitas di Kepulauan Riau pada tahun 2000 awal — karena menghindar dari euforia reformasi 1998 di Jakarta dan sekitarnya — modus paling gampang melenyapkan pekerja pers dengan melakukan cara tabrak lari, sehingga yang bersangkutan bisa mati konyol di tempat dan sulit diusut siapa pelakunya.

Kegigihan seorang kawan wartawan dari Media Indonesia, Emerson Tahioran, misalnya sempat disarankan untuk lebih hati-hati dan waspada, sebab kasus yang tengah dia ungkap tergabung dalam kelompok mafia bisnis hitam. Tak lama berselang, kediamannya pun mendapat lemparan bom molotov. Meski dalam peristiwa itu, garasi mobilnya yang menjadi sasaran tidak sempat habis hangus terbakar. Toh, intimidasi yang harus ditanggung sebagai pekerja pers sungguh mempunyai resiko yang berat. Padahal, nilai penghargaan untuk pekerja pers di Indonesia pada umumnya sejak dahulu hingga sekarang belum pernah bisa dikatakan mewah.

Belajar banyak dari Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar hingga Mahbub Junaidi misalnya, toh kondisi ekonomi mereka tidak juga terbilang mewah. Kendati gaya hidup sangat mungkin dapat dikatakan acap tampil dengan gaya kelas masyarakat atas. Lantaran jalinan dan jaringan kerja insan pers memang meliputi sampai kalangan atas yang nyaris sulit dipercaya oleh banyak orang.

Oleh karena itu, saran para wartawan senior itu dahulu agar generasi muda giat membekali diri dengan beragam model ilmu bela diri, mulai dari Kempo, Yudo hingga Pencak Silat sungguh sangat penting dan perlu, bukan cuma sekedar memperluas wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan bidang peliputan atau penulisan. Agaknya pun, kewajiban membekali diri ini bagi insan pers ini tidak kecuali bagi mereka yang berjenis kelamin wanita. Sebab ancaman dan resiko dari semua pekerja pers sama saja yang harus dihadapi juga.

Setidaknya, alasan dari seorang kawan yang sepakat untuk membekali diri dengan ilmu bela diri ini, ketika harus meliput di lapangan yang mempunyai resiko kecelakaan yang tinggi, dapatlah sedikit teratasi. Misalnya harus melompat dari lantai dua sebuah gedung yang sedang terjadi insiden kebakaran. Atau saat meliput aksi perompak di tengah laut, sehingga harus berenang di antara ombak yang cukup besar pun, harus bisa diatasi.

Ancaman, intimidasi bahkan penganiayaan terhadap pekerja pers oleh sebuah instansi, kelompok atau geng mafia bisnis atau sejumlah orang yang melakukan aktivitas ilegal — melanggar hukum — jelas akan menghadapi risiko yang telah mereka perhitungkan lebih matang untuk mengantisipasinya. Cekakanya, profesi pekerja pers kurang mendapat perhatian dari pemerintah — utamanya pihak aparat keamanan — karena justru tidak sedikit diantaranya mereka yang terlibat, atau bahkan menjadi pelindungnya.

Maka itu, tidak ada pilihan terbaik bagi pekerja pers kecuali membekali diri sebaik mungkin dalam kemampuan membela diri. Toh, pada hari libur bisa ikut latihan sejurus atau dua jurus ilmu bela diri yang dianggap penting dan perlu dimiliki juga. Karena tak ada yang bisa memberi jaminan keamanan bagi insan pers saat melakukan investigasi yang dianggap menarik dan patut untuk diketahui secara umum oleh masyarakat luas. Apalagi kegiatan para sindikat itu sangat merugikan rakyat.

Begitulah realitanya, tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap insan pers semakin meresahkan. Sementara perhatian dari pihak keamanan tak ada semacam garansi yang dapat dilakukan. Bahkan, sejumlah kasus yang menerpa pekerja pers cenderung menguap dan hilang tak pernah jelas hasilnya.

Menteng, 22 Juli 2024

Ilustrasi : beritatagar

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar