PERTAMINA, DARI SUMUR RAKYAT KE RANTAI GLOBAL

– Sejarah Gelap dan Terang

Oleh: Denny JA

Merenungkan perjalanan Pertamina dalam hubungannya dengan politik, bisnis global, korupsi dan rakyat jelata, saya teringat kisah ini.

Ini peristiwa sebenarnya yang ditulis oleh Pradana P.M: The Artisanal Oil Wells of Cepu (1), 2023. Ia kisah minyak dari tanah sendiri di Cepu, Jawa.

Sumur itu tak bersuara. Tapi setiap tetesnya bercerita.

Di ujung ladang tua, lelaki-lelaki berkumpul. Mereka bukan karyawan korporat. Mereka petani. Tukang becak. Sopir truk. Tapi hari ini mereka menambang minyak.

Tanpa alat berat. Hanya sasis mobil tua, ember, dan keyakinan.

Setiap ember ditarik dari kedalaman tanah. Minyaknya pekat, beraroma tajam. Tapi bagi mereka, itu bukan bau. Itu harapan.

Di sudut sumur, seorang anak duduk diam. Ia memperhatikan ayahnya bekerja. Tak berkata apa-apa. Hanya menatap.

Ia belum tahu istilah “energi nasional” atau “geopolitik migas.”
Tapi ia tahu: minyak itu menyekolahkan kakaknya. Membeli obat untuk neneknya. Mengisi dapur rumah mereka.

Ibunya berdiri tak jauh. Memeluk galon kosong. Menunggu giliran menimba rezeki.

Mereka tahu sumur ini bisa rusak. Bisa kering. Bisa meracuni tanah. Tapi mereka tak punya pilihan.

Satu-satunya kemewahan mereka adalah: mereka bekerja di tanah sendiri. Menarik kehidupan dari bumi yang sama yang melahirkan mereka.

Di tengah pusaran bisnis global, di balik layar kontrak kilang triliunan rupiah, ada cerita kecil yang nyaris luput.

Cerita tentang rakyat kecil yang menggali sisa-sisa mimpi.
Cerita tentang anak-anak yang tak menggambar sumur, tapi tumbuh di sisinya.

Cerita yang pelan. Tapi nyata.
Dan di sanalah, barangkali, letak makna minyak yang sesungguhnya.


-000-

Ibnu Sutowo: Sang Bapak Minyak dan Impian Pasca-Kolonial


Sejarah Pertamina tidak bisa dimulai tanpa menyebut satu nama: Ibnu Sutowo.Di tahun 1957, ketika Indonesia masih terhuyung mencari bentuk pasca-kemerdekaan, Ibnu mendirikan Permina (Perusahaan Minyak Nasional).

Ia bukan sekadar jenderal, tapi visioner. Ia percaya: jika Indonesia ingin berdaulat, maka ia harus menguasai energinya sendiri.

“Oil is power,” begitu keyakinannya. Di tangannya, Permina berkembang menjadi Pertamina setelah merger dengan Permigan (1968).

Dan di masa itu, Pertamina bukan hanya perusahaan. Ia menjadi negara dalam negara:

• Mempunyai pesawat eksekutif sendiri.

• Mendirikan rumah sakit, sekolah, bahkan jaringan intelejennya.

• Memberi gaji yang lebih besar dari kementerian.

• Menjadi sponsor utama proyek-proyek negara.

Tapi ketika kekuasaan terlalu terpusat, idealisme pun bisa mengeras jadi kroniisme.


Tahun 1970-an adalah masa puncak kejayaan Pertamina. Harga minyak melonjak akibat embargo OPEC. Pendapatan mengalir deras. Indonesia pun bermimpi menjadi raja minyak Asia.

Namun pada 1975, dunia diguncang: Pertamina bangkrut.
Utang senilai US$10,5 miliar menyeretnya ke jurang.

Skandal ini adalah yang terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia saat itu. Bahkan pemerintah harus turun tangan: Ibnu Sutowo dicopot. Struktur organisasi dibongkar habis-habisan.

Banyak proyek mewah mangkrak. Ada pelabuhan tanpa kapal, hotel tanpa tamu, pesawat yang tak terbang.

Apa yang terjadi?
Nasionalisme berubah jadi nepotisme. Minyak bukan lagi alat kedaulatan, tapi menjadi canduan kekuasaan.

Krisis 1997—krisis moneter yang melumpuhkan Asia—sekali lagi membuka luka lama. Salah satu syarat bailout dari IMF adalah reformasi BUMN energi.

Maka pada 2003, Pertamina diubah dari Perum (Perusahaan Umum) menjadi Persero (Perusahaan Terbatas).

Artinya?
Pertamina kini bukan hanya milik negara—tapi juga harus profitable, efisien, dan transparan seperti perusahaan terbuka.

Tekanan datang dari pasar global, rating lembaga keuangan, hingga citra internasional.

Namun satu hal tak berubah:
Pertamina tetap berada di bawah bayang-bayang politisasi domestik.

-000-

Reformasi yang Setengah Jalan: Dari Karen ke Nicke


Era pasca-reformasi menampilkan dua figur penting:

• Karen Agustiawan, (2009-2014), direktur utama perempuan pertama.
Ia mencoba ekspansi global, menjalin kontrak dengan Irak dan Algeria, menjanjikan era baru.

Tapi ia juga terjerat kasus hukum. Di balik ambisi global, lubang korupsi tetap menganga.

• Nicke Widyawati, sosok yang memimpin Pertamina (2018-2024)

Ia dikenal efisien, fokus pada green transition, tapi tetap harus berjibaku dengan isu politik harga BBM, mafia solar, dan distribusi subsidi.

Pertamina adalah perusahaan yang beroperasi di tiga dimensi waktu:

masa lalu yang penuh beban sejarah, masa kini yang rumit oleh birokrasi, dan masa depan yang diintip oleh pasar energi hijau.

-000-


Yang membuat Pertamina unik bukan hanya karena ia besar—tetapi karena ia berada di titik simpang antara:

• Ideal kemerdekaan energi,
• Kepentingan rakyat banyak, dan
• Nafsu elit kekuasaan dan bisnis.

Dari Cepu hingga Blok Rokan, dari proyek kilang di Tuban hingga ambisi green refinery, Pertamina kerap menjadi arena tarik-menarik: antara politik dan profesionalisme, antara kebijakan populis dan efisiensi pasar, antara subsidi dan keberlanjutan.

Pertamina adalah cermin. Di dalamnya terpantul impian dan kegagalan bangsa.

Ia lahir dari keyakinan bahwa energi harus dimiliki rakyat, tapi ia tumbuh dalam sistem yang sering menukar rakyat dengan elite.

Seperti sumur tua yang mengering pelan-pelan, cita-cita awal kadang lenyap di antara dokumen tender dan proyek offshore.

Apakah minyak nasional harus dikelola negara?
Ataukah dibiarkan ke pasar bebas?
Ataukah ada jalan ketiga: rakyat sebagai pemilik, bukan hanya objek?

-000-

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

1. Nasionalisme tak cukup tanpa akuntabilitas.

Ibnu Sutowo membangun kerajaan, tapi tak membangun kontrol.

2. Perubahan bentuk hukum tak menjamin perubahan budaya.

Dari Perum ke Persero, dari birokrasi ke korporasi, mentalitas rente tetap membekas.

3. Energi bukan sekadar komoditas.

Ia adalah darah ekonomi dan denyut demokrasi.
Jika disalahgunakan, ia akan jadi racun. Tapi jika dikelola benar, ia bisa menjadi pupuk bagi masa depan bangsa.

-000-

Mimpi di Ladang Tua

Suatu pagi di Cepu, bocah itu menggambar sumur minyak. Tapi kali ini, ia menambahkan matahari.

“Kenapa ada matahari?” tanya ibunya.

“Agar sumur ini tetap hangat dan tidak diambil oleh orang-orang serakah,” jawab si bocah.

Dari mulut anak-anak kadang terucap kebenaran paling dalam.
Dari sejarah Pertamina, kita belajar:
Energi tak boleh menjadi mesin sekelompok orang. Ia harus menjadi cahaya untuk semua warga bangsa.

Di antara deru kilang dan debu Cepu, sekelompok pemuda menanam pohon
nyamplung.

“Ini energi masa depan,” bisik mereka, sambil memandang sumur tua yang menguap.

Minyak mungkin fana, tapi akar-akar ini menjalar ke sistem: dari tanah rakyat ke peta kebijakan yang belum tergambar.***

Referensi

(1) The Artisanal Oil Wells of Cepu – sillynewsboy, 2023

(2) Daniel Yergin, The Quest: Energy, Security, and the Remaking of the Modern World (Penguin Press, 2011)

Advertisement

Tinggalkan Komentar