Oleh : Agus Wahid

Manuver politik terus dilancarkan. Jelang akhir kepemimpinannya pada 20 Oktober 2024, dia menempatkan sejumlah Menteri loyalisnya. Dalam berbagai sesi, dia pun tetap berusaha tampil ke ranah publik: mencari sebagian rakyat yang mengelu-elukan, yang – bisa jadi – berbayar. Dan, saat tiba lebaran, juga melakukan open house, bak sang presiden. Ada kesan upaya membangun “matahari kembar”. Sangat tidak etis. Lebih dari itu, juga mengundang sejumlah perwira tinggi dari institusi kepolisian. Dan hingga kini terus membangun empati masyarakat dengan pendekatan playing the victim melalui kasus ijazahnya yang absurd.

Sulit dipungkiri, semua manuver itu mengandung makna politik. Berdimensi jauh ke depan. Dan politiknya bukan untuk kepentingan negeri dan bangsa ini. Tapi, semata-mata untuk dirinya dan keluarganya. Inilah politik dinasti yang terus dibangun dengan cara apapun, meski harus menabrak sendi-sendi hukum dan etika.

Pertanyaannya, akankah tetap moncer masa depan politik keluarga Jokowi? Pesimis. Meski, telah menampatkan puteranya (Gibran) sebagai Wakil Presiden RI, dan satu lagi (Kaesang) sebagai Ketua Umum partai politik, bahkan menantunya (Boby Nasution) telah menduduki posisi Gubernur sumatera Utara, tapi semua itu tidak cukup untuk memback up barisan kekuatannya.

Dalam kaitan itu ada topografi politik yang tampaknya diabaikan. Pertama dan utama, pemerintahan Indonesia saat ini ada di tangan Prabowo. Di tangannya, ia punya kekuasaan mutlak untuk merombak seluruh elemen yang dinilai sebagai pemback up keluarga Jokowi. Siapa mereka?

Sejumlah elitis kepolisian dan TNI ke depan dipastikan bukan orang-orang loyalis Jokowi. Akan terjadi rotasi kekuasaan yang digantikan oleh para loyalis Prabowo. Dalam waktu tak lama lagi, akan terjadi reshuffle kabinet. Sekitar 17 menteri titipan Jokowi berpotensi besar untuk terlengser. Reposisi tersebut jelaslah besar pengaruhnya. “Partai Coklat” yang selama ini menjadi andalan Jokowi akan bergeser. Tak lagi berkiblat ke “istana” Solo”.

Kedua, patron partai-partai politik pun sudah menunjukkan kegerahannya. Para ketua umumnya bukan menyadari persoalan titik lemah Jokowi pasca lengser, tapi mereka – seperti biasanya karakter partai politik – tentu lebih melihat realitas politik yang ada saat ini. Eranya bergeser ke Prabowo. Bahkan, belum lama ini sudah ada manuver politik dari Golkar, PKB dan diperkuat PDIP yang menyuarakan pelengseran Gibran.

Suara itu bagai test the woter yang sedang ditunggu Gerindra. Partai besutan Prabowo ini tak lagi bicara masa lalu saat pilpres terkait “satu paket” menuju singgasana. Tapi, lebih bicara realitas obyektif. Gibran lebih dipandang sebagai “bocah” kemarin. Bukan sekedar usianya yang belum cukup, tapi kapasitasnya yang memang jauh di bawah standar normal. Akan selalu gelagapan ketika terjun ke lapangan.

Maka, sungguh menggelikan ketika Ade Armando itu berceloteh, “Gibran merupakan Wakil Presiden terbaik sepanjang sejarah negeri ini”. Pernyataan kader PSI itu bukan hanya nyeleneh dan sama sekali tak mencerminkan intelektualitas yang dimilikinya, tapi tampak jelas praktik budaya menjilat.

Ketiga, desakan rakyat kian meluas. Kini, yang menonjol dari para purnawirawan TNI-POLRI nasionalis. Tapi, gerakannya akan menginisiasi kesadaran berbagai elemen rakyat. Karena itu, sangat mungkin akan terjadi snow bowling politik manakala terjadi proses politik pelengseran terhadap Gibran. Persebaan kekuatan yang ekstensif ini akan memperlemah simpul-simpul yang dimiliki Jokowi.

Keempat, topografi politik riil itu tentu akan dibaca oleh mitra utamanya dari kaum oligarki. Karakter pebisnis, jelas tak mau rugi. Mereka kaum profit taker sejati. Prinsip inilah yang mendorong mereka berpikir jernih berdasarkan kalkulasi bisnis. Kesimpulannya, harus segera menjauh dari episentrum Jokowi, yang kini diwakili Gibran. Semakin memperjauh karena Gibran jelas-jelas tak memberikan kontribusi, tidak hanya gagal memproteksi megaproyeknya yang masih berlangsung, apalagi megaproyek baru. Hopeless.

Saat pilkada Jakarta lalu, diharapkan pemenangnya sang “boneka” Jokowi. Harapannya, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan diperluas sampai Cianjur(Jabodetabekjur) akan dirancang sebagai wilayah aglomerasi. Dan wilayah ini akan menjadi wilayah di bawah kekuasaan Wakil Presiden. Itulah sebabnya, Perpresnya sudah dipersiapkan: Perpress No. 60 Tahun 2020. Tapi, kegagalannya menciptakan wilayah aglomerasi membuat kaum oligarki bersikap: lebih menarik diri dari barisan Jokowi dan atau Gibran.

Sekali lagi, topografi politik tersebut memperkuat gambaran pesimisme bagi Jokowi untuk mempertahankan impiannya yang ambisius itu: membangun dinasti politik. Peta politik inilah yang mendorong Jokowi demikian bernafsu untuk segera mengamputasi Prabowo. Inilah yang sering kita tangkap pada sinyalemen kudeta dari dalam. Harapannya, Gibran segera naik tahta: menjadi Presiden. Agar segera menata ulang kekuatan baru pro Jokowi-Gibran. Demi dinati politiknya.

Desain kudeta itu bukanlah isapan jempol. Jauh sebelumnya, pengamat intelegen dan militer, Connie Rahankundini Bakrie sudah sampaikan, hanya kisaran 2 tahun Prabowo memimpin. Artinya, ada pemaksaan kekuasaan Prabowo terhenti di tengah jalan. Bisa sakit wajar karena memang usia, atau tak wajar. Bahkan, dengan cara vulgar. Inilah satu-satunya cara untuk mewujudkan dinasti politik Jokowi.

Informasi Connie tentu harus dilihat sebagai “sesuatu” yang sangat berharga. Yaitu, Prabowo tak boleh lengah dari berbagai manuver Jokowi dan atau anaknya, termasuk kemungkinan meracuni. Prabowo juga harus segera memutus mata rantai kekuatan yang terafiliasi ke Solo. Lebih dari itu, Prabowo – jika memang nasionalis sejati, patriotis dan negarawan – harus segera mempersiapkan putera terbaik bangsa, yang siap meneruskan jika dirinya berhalangan tetap.

Di sanalah urgensinya, Prabowo perlu merespon positif suara keprihatinan kalangan purnawirawan TNI-POLRI yang menghendaki Gibran harus segera terlengser. Bukan memaksakan kehendak, tapi suara itu untuk sebuah kedaulatan negara dan kepentingan anak bangsa ke depan.

Dengan langkah-langkah taktis yang menutup pintu pengaruh Jokowi, maka masa depan dinasti Jokowi agan segera sirna. Kesirnaan itu akan lebih cepat manakala kegerahan anti Gibran kian dikemas secara formal: melalui proses politik di parlemen untuk menyetujui agenda pelengserannya. Rekomendasi politik ini diteruskan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dengan posisi Anwar Usman yang tak lagi sebagai Ketua MK, maka terdapat potensi kuat bagi MK mengabulkan permohonan parlemen itu. Jawaban persetujuan MK akan mempercepat terbitnya putusan politik: sayonara Gibran. Dan good bye pula politik dinasti Jokowi. Itulah nasibnya. Sebuah nasib, bukan hanya menenggelamkan kiprah politiknya di negeri ini, tapi harus siap menikmati hidup di alam barunya yang serba terbatas: di balik jeruji besi.

Rakyat sudah menanti, ingin menonton sang manusia bengis dan barbar itu. Di saat-saat itulah kaum buzzer akan tunggang-langgang melarikan diri. Atau, segera melakukan metamorfosa dan taubat Untuk menyelamatkan diri. Sejarah akan berbalik arah. Kini saatnya, kalangan nasionalis-patriotik harus ikut menjungkir-balikkan sejarah, dari sang dikatator barbar, ke kedaulatan di tangan rakyat sesungguhnya.

Bekasi, 22 Mei 2025
Penulis: aktivis UI Watch PLUS

Advertisement

Tinggalkan Komentar