Catatan Cak AT

Pengantar:

Peneliti duduk diam-diam dengan clipboard mereka, menunggu pemilih keluar seperti fotografer yang mengintai burung langka. Di titik ini, muncul pertanyaan filosofis: Apakah hasil survei ini benar-benar akurat, atau hanya sekadar karya seni interpretatif?

Di hari yang tenang, setelah hiruk-pikuk kampanye, TPS menjadi panggung besar jutaan warga mencoblos kartu suara di Pilkada Serentak 2024. Namun, drama sesungguhnya bukan hanya di bilik suara, melainkan di depan TPS, tempat exit poll berlangsung. Di sinilah para pemilih, yang baru saja melaksanakan hak pilih mereka, tiba-tiba diserbu tim survei.

Mereka ditanya hal-hal yang seharusnya bersifat pribadi —dan anehnya, sebagian besar menjawab dengan sukarela. Mungkin mereka merasa seperti bintang film dadakan yang diwawancarai wartawan infotainment. Mereka disodori pertanyaan klasik seperti: “Anda tadi nyoblos siapa, kenapa memilih dia, pendapat Anda tentang pemilu ini?”

Salah satu bintang dalam pertunjukan exit poll tentunya Lingkaran Survei Indonesia (LSI) milik Denny JA. Dengan klaim “Kami paling cepat, kami paling akurat,” LSI telah memposisikan diri sebagai raja Quick Count. Mereka bahkan pernah menerima penghargaan atas selisih terkecil dibandingkan hasil KPU: 0,00%! Ini prestasi langka, hampir seperti memenangkan lotre tanpa membeli tiket.

Bagi yang belum familiar, exit poll itu survei instan yang dilakukan kepada pemilih setelah mereka keluar dari TPS. Jika survei prapemilu seperti peramal yang menebak cuaca, maka exit poll tak ubahnya si pelapor cuaca yang mengabarkan kondisi terkini. Bedanya, si pelapor ini kadang memakai kacamata hitam, jadi tidak selalu melihat semuanya dengan jelas.

Tapi, mari kita akui, exit poll punya daya tarik. Tidak hanya memberikan gambaran cepat tentang hasil pemilu, tapi juga menjadi bahan gosip nasional. Siapa yang menang di DKI? Ridwan Kamil, Dharma Pongrekun, atau Pramono Anung? Di Jawa Timur, apakah Khofifah mampu mempertahankan kursinya, ataukah Risma mengambil alih?

Semua prediksi ini diumumkan secepat mungkin, tentu saja setelah jam sakral pukul 15.00 WIB—karena Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan itu. Denny JA senyum-senyum di depan laptop, mengeluarkan bocor halus tiap beberapa menit, berupa meme-meme hasil exit poll lembaganya dengan kalimat-kalimat yang menggemaskan, seperti, “tapi harus kupastikan.”

Metode yang dipakai bukan sembarangan, tapi tetap acak. “Random sampling” adalah mantra yang sering diucapkan oleh lembaga survei. Jangan salah paham, ini bukan acak-acak seperti mengambil kelereng di kantong. TPS yang dipilih untuk exit poll dipilih secara strategis berdasarkan data demografi, pola pemilih, dan lokasi geografis. “Random”-nya lebih mirip memilih menu di restoran cepat saji: terkesan spontan, tapi jelas ada perhitungan matang di balik layar.

Setiap TPS yang dijadikan lokasi survei menjadi semacam “zona rahasia” di mana peneliti duduk diam-diam dengan clipboard mereka, menunggu pemilih keluar seperti fotografer yang mengintai burung langka. Di titik ini, muncul pertanyaan filosofis: Apakah hasil survei ini benar-benar akurat, atau hanya sekadar karya seni interpretatif?

Di lapangan, ketika ditanya, tentu tidak semua pemilih ingin menjawab. Ada yang takut rahasianya bocor, ada yang malas, dan ada juga yang sibuk membungkus bakso langganannya, atau mengambil sajian minuman bir pletok yang disediakan panitia di pojok TPS. Tantangan seperti ini mengingatkan kita bahwa survei tidak hanya soal data, tapi juga soal memahami psikologi manusia.

Dalam jagat survei, LSI bukan hanya pemain lama, tetapi juga inovator. Mereka tidak hanya menggandalkan televisi untuk menyiarkan Quick Count, tetapi juga memanfaatkan Facebook Denny J.A’s World. Dengan tagar #QuickCountRealTime, mereka mengklaim bisa menyajikan data terbaru setiap 10 menit.

Dengan gaya penuh percaya diri, mereka memproklamasikan keakuratan data mereka hanya selisih 0,07% dibandingkan KPU. Bahkan, di masa lalu, mereka mencetak rekor MURI dengan selisih 0,00%. Itu prestasi atau kebetulan kosmis? Kita serahkan pada pembaca.

Namun, klaim ini bukan tanpa kritik. Tahun 2014, Quick Count dari beberapa lembaga berbeda pernah menghasilkan kebingungan nasional. Untungnya, Denny JA menghibur kita dengan filosofi “seleksi alam”: lembaga yang salah akan lenyap dengan sendirinya, seperti dinosaurus di era es.

Mari kita jujur: Quick Count adalah keajaiban teknologi, tapi tetap memiliki batasan. Sebagus apa pun metode yang digunakan, tetap ada ruang untuk bias, kesalahan sampling, atau ketidakjujuran responden. Tetapi, di era media sosial, drama ini menjadi lebih menarik. Quick Count yang diumumkan secara real-time merupakan pertunjukan besar yang tidak hanya menarik perhatian pemilih, tetapi juga menjadi alat promosi lembaga survei.

LSI memadukan teknologi canggih dengan narasi emosional yang membungkus data dalam kemasan yang menggoda. Tapi, seperti kata Denny JA sendiri, “Kepercayaan publik harus berlabuh pada keputusan resmi KPU.” Ini semacam cara elegan untuk berkata, “Kalau kami salah, ya sudah, anggap hiburan saja.”

Pada akhirnya, exit poll dan Quick Count diakui sebagai cermin demokrasi modern: cepat, seru, tapi kadang membingungkan. Di tangan lembaga seperti LSI, fenomena ini bukan hanya alat ilmiah, tetapi juga bentuk seni dalam memenangkan hati publik.

Namun, tetap saja, satu pertanyaan besar menggantung di udara: Apakah kecepatan dan keakuratan benar-benar segalanya, ataukah ini hanya bagian dari permainan besar untuk memikat perhatian kita?

Seperti TPS yang menjadi panggung, Quick Count adalah drama politik yang tidak pernah sepi penonton. Dan siapa tahu, di pemilu berikutnya, mungkin kita akan mendengar slogan baru: “Kami paling cepat. Kami paling akurat. Kami paling viral.”

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 27/11/2024

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar