Kontradiksi Moralitas Politik dan Hipokrisi Religiusitas

Oleh: Gus Nas Jogja
“Di mana hukum berakhir, tirani dimulai. Dan tirani, tak peduli seberapa banyak ia disucikan oleh retorika agama atau nasionalis, tetaplah kekacauan moral.”—
John Locke
Paradoks Negeri yang Mengenal Dosa
Kita berdiri di hadapan sebuah kontradiksi yang menyayat nalar dan menguji iman: mengapa di negeri yang secara statistik dikategorikan non-agamis atau sekuler (sering kali di Barat atau Asia Timur) para pemimpinnya mampu menunjukkan ketegasan etis dan akuntabilitas publik yang tinggi—misalnya, dalam menindak tegas perusak lingkungan (oligarki) atau penguras kas negara—bahkan mendapatkan apresiasi besar dari rakyatnya?
Sebaliknya, di negeri yang mengklaim diri sangat agamis dan sangat mengenal konsep dosa (seperti ‘haram’, ‘zalim’, ‘fasiq’), justru terjadi keloyoan struktural: hukum tumpul ke atas, perusak ekologi dan ekonomi nasional relatif leluasa, dan impunitas menjadi norma yang sunyi.
Ini bukanlah perbandingan statistik keimanan, melainkan sebuah gugatan filosofis terhadap moralitas politik. Esai ini tidak mencari jawaban sederhana, melainkan sebuah Renungan mendalam untuk membongkar tiga lapisan krisis ini:
1. Krisis Terminologis: Apa itu Dosa dalam ruang publik?
2. Krisis Struktural: Mengapa Religiusitas Institusional gagal mengamankan Keadilan Publik?
3. Krisis Kepemimpinan: Siapakah Pemimpin Tanpa Dosa yang sesungguhnya?
Kita akan menyelami pemikiran para filsuf dari Timur dan Barat untuk memahami mengapa moralitas sekuler yang tegak sering kali lebih efektif menciptakan kebaikan publik daripada ritual religius yang hipokrit.
Konsep Dosa dalam Filsafat Politik
Negeri yang “sangat agamis” cenderung mendefinisikan dosa dalam kerangka privat dan ritualistik: dosa pribadi seperti meninggalkan salat, meminum alkohol, atau tidak menutup aurat. Dosa dipandang sebagai urusan vertikal (manusia dengan Tuhan) yang balasannya bersifat metafisik (Surga atau Neraka).
Namun, dalam perspektif filsafat politik, dosa yang paling menghancurkan adalah Dosa Publik (The Public Sin), yaitu: Kezaliman Struktural, Korupsi Kekuasaan, dan Pengkhianatan Amanah.
Mengutip Emmanuel Kant, moralitas sejati terletak pada Imperatif Kategoris, yaitu tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban universal, terlepas dari konsekuensi atau harapan pahala pribadi. Pemimpin yang menindak perusak lingkungan secara tegas, meskipun ia mungkin non-agamis, telah memenuhi Imperatif Kategoris yang paling mendasar dalam politik: Kewajiban menjaga bonum publicum –kebaikan bersama. Kegagalan melaksanakannya adalah dosa, terlepas dari seberapa taat ia beribadah.
Kant: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim kehendakmu selalu dapat berlaku sebagai prinsip undang-undang umum.”
Dosa publik pemimpin agamis yang loyo adalah kegagalan menjadikan keadilan dan penegakan hukum sebagai hukum universal—mereka justru membuat pengecualian bagi oligarki yang mereka lindungi.
Perbandingan dua jenis pemimpin ini juga dapat dianalisis melalui lensa etika:
1. Etika Deontologis –Negeri Agamis Loyo: Menekankan niat dan ritual. Pemimpin merasa sudah menjalankan tugas karena niatnya baik (misalnya, demi stabilitas), atau karena ia telah menjalankan kewajiban agama pribadinya. Namun, hasilnya nol.
2. Etika Konsekuensialis/Utilitarianisme –Negeri Sekuler Tegas: Menekankan hasil dan manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Pemimpin menindak perusak hutan bukan karena takut Neraka, melainkan karena konsekuensinya (banjir bandang, kerugian ekonomi) merugikan mayoritas rakyat.
Tokoh seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill (Utilitarianisme) akan mengapresiasi pemimpin yang “tidak mengenal dosa” jika tindakannya menghasilkan kebaikan publik yang lebih besar, karena bagi mereka, kebaikan (goodness) diukur dari dampak nyata, bukan dari klaim kesalehan.
Secara empiris, fenomena ini terlihat jelas dalam data global. Negara-negara yang sering kali diidentifikasi sebagai negara sekuler atau non-agamis –misalnya Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Singapura– secara konsisten menduduki peringkat teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International.
Data ini menunjukkan adanya disosiasi total antara tingkat religiusitas formal suatu masyarakat dengan tingkat integritas struktural pemerintahannya. Yang salah bukanlah agamanya, melainkan institusionalisasi agama yang gagal mentransformasi nilai-nilai etik menjadi sistem akuntabilitas politik yang efektif.
Ketika Keimanan Menjadi Tirai
Mengapa keimanan yang seharusnya menjadi benteng moral justru menjadi tirai yang menutupi kebobrokan?
Max Weber, dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, menunjukkan bagaimana etika agama (khususnya Protestan Kalvinis) dapat mendorong rasionalitas, disiplin, dan etos kerja profesional yang menjadi fondasi kapitalisme modern dan, secara implisit, tata kelola negara yang efisien. Di sini, kekayaan dan kesuksesan dipandang sebagai tanda anugerah Ilahi, yang menuntut pertanggungjawaban dan kerja keras (bukan korupsi atau suap).
Sebaliknya, di negeri-negeri agamis yang loyo, seringkali berlaku Etika Paternalistik atau Etika Feodal-Religius. Kepemimpinan dipandang sebagai Hak Warisan Ilahi atau Hak Istimewa, bukan sebagai tanggung jawab profesional. Sistem ini memandang dosa korupsi sebagai hal yang dapat ditebus melalui ritual, sedekah, atau klaim kesalehan publik.
Pemimpin boleh korupsi (dosa publik), asalkan ia dermawan kepada yayasan keagamaan (pencitraan religiusitas). Suap menjadi sedekah, dan korupsi menjadi biaya politik yang halal.
Fenomena keloyoan ini dapat dipahami melalui lensa Machiavelli dalam The Prince. Machiavelli berargumen bahwa dalam politik, tampilan (citra) kesalehan jauh lebih penting daripada kenyataan kesalehan.
Pemimpin di negeri yang sangat agamis menggunakan retorika agama sebagai alat kekuasaan (virtù). Mereka mungkin loyal kepada perusak ekosistem, tetapi mereka akan memastikan diri terlihat sebagai pelindung moralitas publik (misalnya, melarang maksiat privat).
Machiavelli menulis: “Seorang Pangeran tidak perlu memiliki semua kualitas baik di atas, tetapi ia harus benar-benar terlihat memilikinya… Tampak religius, setia, manusiawi, jujur, dan taat adalah hal yang sangat berguna.”
Inilah yang terjadi: Ketaatan Ritual yang terlihat menutup mata rakyat dari Kezaliman Struktural yang tersembunyi. Kekuatan retorika agama melumpuhkan Nalar Kritis dan Tuntutan Akuntabilitas publik, menjadikan rakyat lebih peduli pada dosa pemimpinnya (apakah ia berpuasa?) daripada dosa kejahatan lingkungannya (apakah ia menjual hutan?).
Hipokrisi Ekologis di balik Bencana
Bencana ekologis (seperti banjir bandang di Sumatera) seringkali dihadapi dengan narasi fatalis: “Ini cobaan dari Allah,” atau “Ini azab karena moralitas rendah rakyat.”
Narasi ini adalah hipokrisi bencana yang paling parah. Ia mengalihkan perhatian dari pelaku kejahatan ekologis (oligarki yang merusak DAS) kepada korban (rakyat jelata). Pemimpin agamis yang loyo menggunakan takdir (Qadla dan Qadar) sebagai tameng untuk menutupi kegagalan kebijakan dan keterlibatan kriminal mereka dalam perusakan.
Sementara itu, pemimpin sekuler yang “menyikat habis” perusak hutan menegakkan Logika Kausalitas Sains dan Hukum: bencana adalah konsekuensi yang dapat dicegah dari keserakahan yang tidak diatur. Mereka bertindak sebagai agen restorasi kausalitas, bukan pembenaran takdir.
Siapakah Pemimpin Tanpa Dosa yang Sesungguhnya?
Jika pemimpin yang agamis justru berbuat dosa publik, lalu siapakah Pemimpin Tanpa Dosa?
Pemimpin tanpa dosa bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah, melainkan orang yang mendirikan sistem yang melindungi rakyatnya dari kezaliman. Filsuf John Rawls, dalam A Theory of Justice, mengusulkan konsep Tirai Ketidaktahuan atau Veil of Ignorance.
Rawls meminta kita membayangkan hukum dan struktur negara dibuat oleh orang-orang yang tidak tahu posisi sosial, kekayaan, atau status agama mereka kelak. Hukum yang tercipta dalam kondisi ini adalah hukum yang paling adil bagi semua pihak, terutama yang paling rentan.
Pemimpin tanpa dosa adalah pemimpin yang bertindak seolah-olah ia berada di belakang Tirai Ketidaktahuan. Ia menyikat habis perusak hutan karena ia tidak tahu apakah kelak ia akan menjadi korban banjir atau anak cucunya yang akan terancam oleh pencemaran.
Pemimpin sekuler yang efektif cenderung beroperasi dalam Logika Rawlsian ini: mereka menjunjung tinggi Rule of Law dan akuntabilitas universal, bukan karena ketakutan metafisik akan dosa, melainkan karena kewajiban rasional untuk mempertahankan konsensus sosial dan keadilan prosedural.
Filsafat modern mengajarkan bahwa kepemimpinan etis harus berbasis Etika Tanggung Jawab (The Imperative of Responsibility) yang diajukan oleh Hans Jonas.
Jonas menuntut agar tindakan kita saat ini mempertimbangkan keberlangsungan generasi mendatang. Kejahatan merusak lingkungan yang didiamkan oleh pemimpin agamis adalah Dosa Antar-Generasi. Mereka mengorbankan masa depan anak cucu demi keuntungan oligarki saat ini.
Pemimpin tanpa dosa (yang efektif) adalah mereka yang menjadikan kelestarian lingkungan dan kehati-hatian finansial sebagai imperatif moral mutlak, yang melampaui kepentingan politik jangka pendek.
Menggugat Hipokrisi Institusional
Pertanyaan mengapa pemimpin di negeri non-agamis lebih efektif menindak kezaliman adalah sebuah kritik tajam terhadap institusionalisasi agama yang gagal memproduksi moralitas publik.
1. Dosa adalah Tindakan: Dosa sejati dalam politik adalah Kezaliman Struktural dan Korupsi Kekuasaan, bukan hanya pelanggaran ritual.
2. Keimanan adalah Konsekuensi: Keimanan sejati harus dilihat dari konsekuensinya (Utilitarianisme), yaitu sejauh mana ia menghasilkan keadilan, kedamaian, dan keberlanjutan bagi masyarakat.
Lalu, siapakah Pemimpin Tanpa Dosa itu?
Jawabannya adalah: Bukan yang paling taat beribadah, melainkan yang paling takut pada kezaliman publik. Mereka adalah pribadi yang, meskipun mungkin tidak mengenal istilah “dosa” dalam kamus teologisnya, secara naluriah dan rasional memegang teguh Etika Keadilan (Rawls) dan Etika Tanggung Jawab (Jonas).
Negara yang agamis perlu menyadari bahwa ritual tanpa keadilan adalah kepalsuan. Surga tidak akan diperoleh melalui salat dan puasa di tengah kehancuran ekologis dan ekonomi yang sengaja didiamkan. Surga hanya diperoleh melalui Penegakan Keadilan Publik yang tegas, universal, dan tanpa kompromi. Hanya dengan begitu, negeri yang mengenal dosa dapat menghasilkan pemimpin yang, dalam pandangan rakyat dan Tuhan, benar-benar “tanpa dosa” kezaliman.
Esai ini menyimpulkan bahwa integritas sejati kepemimpinan harus diukur oleh Logika Konsekuensi Publik (Utilitarianisme) dan Ketegasan Sistemik (Rawls dan Hobbes), bukan oleh Klaim Moralitas Privat (Hipokrisi Religius).
Pertanyaan pamungkas, siapa Pemimpin Tanpa Dosa itu?
Jawabannya adalah ia yang berhasil mendirikan Sistem Keadilan yang tidak mengenal kasta oligarki, yang memaksa setiap warga negara—termasuk dirinya sendiri—untuk bertindak seolah-olah mereka adalah “Tanpa Dosa” dari kezaliman.
1. Dosa adalah Jembatan: Dosa adalah meloloskan koruptor atau perusak ekologi melalui celah hukum.
2. Iman adalah Benteng: Iman adalah benteng yang menjaga hukum tetap tajam dan universal.
Negara yang agamis harus melalui revolusi epistemologis dalam memahami dosa. Hanya ketika Kezaliman Struktural diakui sebagai Syirik (Dosa Tak Terampuni) dalam politik—karena menuhankan kekuasaan dan harta di atas Keadilan Ilahi—barulah negeri ini bisa menghasilkan pemimpin yang bersih dan efektif.
PEMIMPIN TANPA DOSA adalah arsitek sistem yang membuat korupsi menjadi mahal, dan keadilan menjadi tak terhindarkan. Inilah Hikmah yang diajarkan oleh negeri-negeri yang secara statistik tidak mengenal dosa, namun secara praktik, lebih mulia dalam menjaga amanah publik.
Embuhlah …
Catatan Kaki dan Rujukan Ilmiah
Catatan kaki ini mencakup sumber-sumber utama filosofis, teologis, dan empiris yang menjadi fondasi analisis dalam esai.
I. Rujukan Filsafat Politik dan Etika
1. John Locke, Second Treatise of Government (1689): Epigrafi diadaptasi dari Locke, yang menekankan bahwa kekuasaan politik harus dibatasi oleh hukum (Rule of Law). Frasa “Di mana hukum berakhir, tirani dimulai” adalah inti dari pemikiran Locke tentang pembatasan kekuasaan untuk mencegah despotisme, terlepas dari klaim moral atau agama penguasa.
2. Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785): Konsep Imperatif Kategoris dan kewajiban moral universal. Digunakan untuk mendefinisikan “Dosa Publik” sebagai kegagalan dalam mewujudkan hukum universal yang adil (bonum publicum).
3. Jeremy Bentham & John Stuart Mill, Utilitarianisme: Etika Konsekuensialis. Digunakan untuk menilai kepemimpinan berdasarkan dampak nyata (konsekuensi) tindakannya terhadap mayoritas rakyat (penyelamatan ekosistem dan ekonomi), bukan niatnya.
4. John Rawls, A Theory of Justice (1971): Konsep Tirai Ketidaktahuan (Veil of Ignorance). Digunakan untuk mendefinisikan kepemimpinan etis sebagai pembentuk sistem yang menjamin keadilan prosedural bagi semua pihak, terutama yang paling rentan (korban bencana).
5. Hans Jonas, The Imperative of Responsibility (1979): Konsep Etika Tanggung Jawab yang berfokus pada kelangsungan hidup generasi mendatang. Digunakan untuk mendefinisikan kejahatan ekologis sebagai Dosa Antar-Generasi.
II. Rujukan Sosiologis dan Kekuasaan
6. Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905): Analisis tentang bagaimana etika agama dapat mendorong rasionalitas birokrasi dan profesionalisme. Digunakan untuk membandingkan Etika Profesional (Negeri Sekuler) dengan Etika Paternalistik (Negeri Agamis Loyo).
7. Niccolo Machiavelli, The Prince (1532): Analisis tentang pentingnya citra/tampilan (virtù) kesalehan dalam politik, terlepas dari moralitas sesungguhnya. Digunakan untuk menjelaskan Retorika Agama sebagai alat kekuasaan.
8. Thomas Hobbes, Leviathan (1651): Konsep kedaulatan negara (Leviathan) dan Hukum Positif sebagai satu-satunya cara mengamankan ketertiban. Digunakan untuk menganalisis mengapa Sanksi Positif lebih efektif daripada Sanksi Metafisik.
III. Rujukan Timur, Sufistik, dan Empiris
9. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama): Konsep Hijab (Tirai) dan Nafsu Ammarah. Digunakan untuk menganalisis kegagalan batin pemimpin agamis di mana ritual menjadi penghalang untuk melihat kebenaran Keadilan.
10. Chanakya, Arthashastra (Abad ke-4 SM): Konsep Rajadharma (Kewajiban Raja). Digunakan untuk menganalisis kegagalan pemimpin agamis sebagai kegagalan menjalankan kewajiban kosmik/sosial tertinggi.
11. Data Empiris IPK: Rujukan data tahunan dari Transparency International, Corruption Perception Index (CPI). Digunakan untuk menegaskan secara kuantitatif adanya disosiasi total antara klaim religiusitas suatu negara dan tingkat integritas pemerintahannya.










