“Sebuah negara rusak bukan karena kurangnya orang pintar tetapi lebih karena banyaknya orang pintar yang diam”
(Anonim)
Oleh: Sobirin Malian — Alumni Fakultas Hukum UII dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Setujukah Anda, koruptor disamakan dengan pengkhianat negara? Siapa pengkhianat itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka 1994 dikatakan, pengkhianat adalah pertanda tipu daya, orang yang tak setia, orang yang memperdayakan sesuatu, misalnya, pengkhianat cinta, atau pengkhianat negara.
Dalam pengertian untuk kepentingan tulisan ini, pengkhianat (dalam konteks negara) dapat diartikan sebagai seseorang yang melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam kepentingan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Plato dalam karyanya “Republik”, menggambarkan politik sebagai upaya untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, dengan penekanan pada peran filsuf-raja. Sementara Aristoteles dalam karyanya “Politik”, membahas tentang berbagai bentuk pemerintahan dan menekankan pentingnya keseimbangan dan moderasi dalam politik.
Jadi, jika zaman sekarang politik itu identik dengan korupsi, kekerasan dan permusuhan, maka itu berarti telah terjadi biased makna atau telah terjadi paradoks dalam praktik politik itu.
Politik telah makin jauh dari substansinya. Oleh karena itu, politik harus diluruskan kembali sebagai pengambilan keputusan secara damai, teratur dan stabilitas yang pada ujungnya sebagai “alat” kebaikan kemaslahatan/manfaat bersama.
Pengkhianatan Kaum Cendekiawan
Pengkhianatan sebetulnya tidak hanya terjadi dalam dunia politik. Pengkhianatan dapat juga terjadi pada kaum terdidik_kaum cendekiawan.
Julien Benda seorang intelektual Perancis pernah menyatakan, bahwa kaum cendekiawan pun banyak yang menjadi pengkhianat yaitu tatkala mereka terlibat dalam kancah politik dan melupakan tugasnya sebagai penjaga moral intelektual.
Dalam hal ini, kehadiran seorang cendekiawan seharusnya dapat menjaga moral, ilmu dan etika (akhlaknya) manakala dia terlibat dalam politik praktis.
Jika seorang cendekiawan terlibat dalam politik tetapi justru dia larut dan bahkan menghancurkan politik itu_dengan tak menjaga moral intelektualnya maka dia tergolong pengkhianat karena tidak menjaga marwah ke-intelektualannya.
Karl Mannheim, sosiolog kelahiran Hungaria pernah juga menyatakan bahwa cendekiawan yang tidak terlibat dalam kerja-kerja praksis dapat disebut sebagai pengkhianat karena hanya menyuarakan kebenaran dari menara gading ilmunya.
Bagi Mannheim seorang cendekiawan suka tidak atau mau tidak mau harus terjun dalam dunia politik terutama jika menyaksikan politik mulai menyimpang dari esensinya.
Dengan terjun ke dunia politik itu, maka menjadi kesempatan baginya untuk menguji, meluruskan sekaligus menjaga moral dan etika politik tetap dalam koridornya (on the track).
Mannheim sangat tidak setuju kalau cendekiawan hanya duduk manis, hanya berpangku tangan memandang situasi politik tanpa menyentuhnya. Menara gading sebagai istana cendekiawan, baginya tabu. Jika ada cendekiawan yang berperilaku demikian maka dia telah menjadi berkhianat secara moral intelektual.
Satu lagi nama, Antonio Gramsci_filsuf Italia yang menyatakan bahwa seorang cendekiawan bertugas menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam bentuk aktivisme sosial kolektif.
Jadi, kaum cendekiawan itu menjadi penyeimbang antara para politisi yang sering tak memiliki argumen dalam membuat kebijakan dengan memberi bobot (moral, etika, amanah berpihak kepada rakyat) kebijakan itu sehingga tidak keluar dari koridornya.
Pentingnya cendekiawan terjun dalam praksis politik itu tak lain agar konsep-konsep kebijakan (legislasi), hukum tetap terjaga secara moral, etik, berkeadilan untuk kesejahteraan orang banyak.
Dalam konteks pengkhiatan di Indonesia, cukup banyak nama-nama cendekiawan yang memiliki ilmu di berbagai bidang tetapi begitu terjun ke dunia politik__justru dia sendiri yang menghancurkan itu. Ilmu seolah tak berbekas dalam dirinya, sikapnya dalam politik sangat pragmatis.
Bahkan ia terjebak dan ikut arus dalam kesesatan politik yang ada. Tak jarang mereka terlibat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme. Marwahnya sebagai intelektual sama sekali tak nampak. Sangat paradoks dengan dunia intelektual yang digelutinya sebelum terjun ke politik atau menjadi pejabat negara.
Tentu jauh lebih banyak lagi para intelektual yang tidak peduli pada politik atau masalah kenegaraan lainnya, mereka tetap saja berada di menara gading walau apapun yang terjadi. Sikap ini sebagai opsi yang paling aman bagi dirinya. Bagi para filosof yang penulis sebut diatas mereka tetaplah kaum pengkhianat.
Bentuk nyata pengkhianat dalam negara, bisa korupsi, yaitu menggelapkan atau menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok_yang jelas merugikan negara. Bisa juga melakukan tindakan yang bertujuan untuk menggulingkan atau merusak pemerintahan yang sah.
Bentuk lain, pengkhianatan terhadap rahasia negara; membocorkan atau menyalahgunakan informasi rahasia negara untuk kepentingan pribadi atau musuh negara. Yang umum terjadi sejak lama pengkhianat melakukan kerja sama dengan musuh negara; bekerja sama dengan negara lain atau organisasi yang berniat jahat terhadap negara untuk merugikan kepentingan negara.
Pengkhianatan yang lebih ekstrem dan banyak berlaku di berbagai negara yaitu, penguasa (pemerintah) menggunakan kekuasaan atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, sehingga merugikan kepentingan negara.
Bentuknya bermacam-macam, bisa secara riil menggelapkan uang negara, korupsi; bisa juga menggunakan (modus) dagang pengaruh. Dalam bahasa Inggris dagang pengaruh diistilahkan dengan “influence peddling” atau “trading in influence” merujuk pada praktik ilegal di mana seseorang menggunakan pengaruh atau kekuasaan mereka untuk memperoleh keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau orang lain, seringkali melalui cara-cara yang tidak etis atau korup.
Dagang pengaruh dapat melibatkan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, seperti, suap atau gratifikasi. pemanfaatan informasi rahasia, pengaruh tidak sah terhadap proses pengambilan keputusan.
Masuk dalam kategori ini dan sering menjadi modus juga yaitu menjual posisi (jabatan). Misalnya, seorang bupati/wakil bupati menawarkan posisi jabatan Kepala Dinas tapi dengan cara membayar sejumlah uang. Kasus ini pernah di OTT oleh KPK kepada Bupati Klaten, Jawa Tengah.
Modus lain pengkhianatan oleh penguasa dengan mempermainkan hukum dan lembaga pengadilan. Sering diistilahkan dengan Judicial capture; situasi di mana pemerintah atau kekuasaan lain mengendalikan atau memengaruhi lembaga pengadilan (bisa MK, MA, Kejaksaan, Kepolisian) untuk mencapai tujuan penguasa tersebut.
Lolosnya Gibran Rakabumingraka melalui Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu__dicurigai tergolong kategori judicial capture ini.
Pengkhianat Menurut Filosof
Carl Joachim Friedrich seorang ahli filsafat hukum dan politik, pernah menulis buku, “The Pathology of Politics: Violence, Betrayal, Corruption, Secrecy, and Propaganda” (1992), buku itu membahas tentang fenomena patologi politik, yaitu perilaku dan tindakan yang tidak sehat dalam sistem politik.
Beberapa poin penting dari buku itu, berisi bahwa politik bisa menjadi penyakit (patology) bagi suatu masyarakat manakala ia menjadi perilaku dan tindakan yang tidak sehat dalam sistem politik, yang dapat merusak kepercayaan dan legitimasi pemerintah.
Contoh kasus adalah dengan mencari “celah” kelemahan konstitusi_melalui judicial review ke MK_ sehingga putusan MK menjadi legal. Sayangnya, hasil putusan MK itu hingga kini masih menimbulkan kegaduhan setelah Roy Suryo cs, melacak ijazah aslinya tidak ditemukan, dan lembaga di Australia itu hanyalah semacam “short course”.
Dalam politik beberapa bentuk patologi, termasuk kekerasan. Penggunaan kekerasan (terutama oleh alat negara_polisi, tentara dalam menangani demonstrasi, misalnya) sebagai alat politik dapat merusak kepercayaan dan legitimasi pemerintah.
Dalam sejarah, di zaman Yunani kuno, politik (politikē) merujuk pada kegiatan dan proses pengambilan keputusan dalam polis (kota-negara) tidak ditemukan penggunaan kekerasan semacam itu.
Politik di zaman Yunani kuno lebih berfokus pada, keteraturan dan stabilitas. Politik bertujuan untuk menciptakan keteraturan dan stabilitas dalam masyarakat. Politik artinya melibatkan proses pengambilan keputusan kolektif oleh warga negara, baik melalui lembaga-lembaga formal maupun informal. Di sini politik tak dapat dipisahkan dengan praktik demokrasi.
Politik di zaman Yunani kuno juga berfokus pada pencarian kebaikan bersama (eudaimonia) _dengan penekanan pada kemaslahatan/manfaat dan keadilan dalam masyarakat.
