Oleh: M. Nigara
STY BUKAN UJUG-UJUG. Kalimat pendek itu sengaja saya ambil untuk menegaskan semua keputusan diambil sudah dengan perhitungan. Demikian juga dengan Rizky Ridho dan kawan-kawan termasuk di dalamnya anak-anak naturalisasi.
Tahun 2019, tepatnya, 1 Desember, menjelang Indonesia melawan Vietnam di SEA Games Manila. Ketua Umum PSSI, Iwan Bule dan Wakil Ketua Umum, Iwan Budianto memberitahukan pada Menoira, Zainudin Amali, ada dua nama pelatih untuk menangani Tim Nasional kedepan.
Memperpanjang Luis Mila atau memilih pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong. Setelah menimbang dengan cermat dan didasari banyak pertimbangan, Menpora ZA setuju ketika PSSI akhirnya memilih STY.
Sebagai ujung tombak pemerintah, Kemenpora di bawah ZA begitu luar biasa dalam menjalin hubungannya dengan PSSI. Hal ini dikarenakan peran Presiden Jokowi yang begitu luar biasa. Bahkan, ketika mengumumkan nama dan posisi Kementerian:
“Bapak Zainudin Amali, Menpora. Sepakbolanya ya Pak,” begitu kata Presiden yang disambut tawa oleh para Menteri yang duduk di tangga Istana Merdeka, Jakarta.
Dari sana, keinginan pemerintah untuk memajukan sepakbola, terlihat sangat jelas. Amali pun menjadi Menpora pertama sejak era SBY, 2004 yang mau berjibaku untuk memajukan sepakbola.
Pada era-era sebelumnya kesan yang tertangkap di publik, Kemenpora dengan PSSI berseberangan. Malah, Kemenpora sempat memberi dukungan pada kubu yang ngotot ingin masuk, tapi dapat perlawanan sangat keras. Catatan, upaya yang dilakukan kubu ini sudah dimulai saat era SBY, 2010.
Kubu itu kemudian mendeklarasikan PSSI tandingan. Itu sebanya Indonedia disangsi oleh FIFA. Berkat hubungan yang sangat dekat antara Presiden FIFA dengan Erick Thohir, PSSI terhindari sangsi yang berat dan lama.
Sindiran Halus
Dukungan pemerintah tidak tanggung-tanggung. Melalui Menpora, Zainudin Amali, kala itu, PSSI dipersilahkan untuk melakukan pemusatan latihan di mana saja dalam rangka Piala Dunia U20. Itu sebabnya Iwan Bule dan PSSI dapat memenuhi seluruh permintaan STY.
STY pertama muncul di Stadion Singaperbangsa, Karawang, Jawa Barat. Ketika dihampiri oleh ZA, mantan pelatih nasional Korsel itu berceloteh: “Kalau harus berlatih di sini, pasti banyak pemain yang cidera,” katanya.
Kalimat sindiran yang halus itu untuk melukiskan bahwa timnas yang akan diatangani, membutuhkan fasilitas terbaik. Sebagai pelatih yang berpengalaman di tim nasional kelas dunia, STY mengajukan segala persiapan dan peralatan yang prima. Dia juga mengatakan keberhasilan itu harus diawali dengan langkah yang baik dan benar.
STY terus dan terus memperkuat timnya dengan pemain-pemain pilihannya. STY juga bukan typologi pelatih yang mudah percaya pada seorang pemain dalam satu posisi.
Saya jadi teringat Rinus Michels, pelatih legendaris asal Belanda. Tahun 1974, Michels menciptakan total football di mana setiap pemain berada dan bertugas dalam berbagai posisi. Saat itu Johan Cruyff, Johan Neeskens, Johny Reeb, Wim Yansens, dkk mampu menggetarkan dunia, meski di final mereka kalah 1-2 dari Jerman Barat.
Nah, STY mirip seperti itu, meski tidak menerapkan total football. Bukti konretnya, STY tidak pernah baku dengan starting eleven. Menurut hemat saya, dengan begitu, lawan akan sulit memprediksi kekuatan timnas kita. Lalu yang lebih hebat lagi, setiap pemain harus selalu siap untuk ditempatkan di posisi mana pun.
Maka, tak heran jika: Ernando Ari, Rizky Ridho, Pratama Arhan, Marselino Ferdinan, Ramadhan Sananta, Fajar Fathur Rahman, Hoky Caraka, Muhammad Ferrari, Arkhan Fikri, Rafael Struick, Ivar Jenner, Justin Hubner, dapat bermain di berbagai posisi. Memang tidak terlalu ekstrim, namun STY tidak pernah kesulitan jkka 1-2 pemain berhalangan. Dan semua pemain bisa jadi pemain inti.
“STY pasti telah memiliki pengganti yang kelasnya tidak jomplang,” kata Kombes Pol Sumardji, manajer timnas Merah-Putih, ketika ditanya Elshinta soal Rafael Struick yang tidak bisa main karena akumulasi kartu kuning.
Ini juga yang saya lihat sebagai kelebihan STY. Dulu, pemain inti dengan pemain pengganti, gap nya terlalu jauh. Akibatnya begitu pemain utama berhalangan, kekuatan timnas jadi timpang.
Di samping itu, STY juga memiliki program yang jelas untuk meningkatkan kebugaran. Sepanjang sejarah, setidak sejak 1981 ketika saya melekat dengan tim nasional, kebugaran adalah kendala lain selain mental. Tidak banyak pemain kita yang bisa bermain 90 menit. “Rata-rata hanya mampu 30-40 menit,” kata Maulwi Saelan, mantan Ketum PSSI 1964-67 dalam satu wawancara saya, 1990an.
Satu-satunya timnas Indonesia yang memiliki kekuatan fisik, dan sukses merebut emas Seag 1991, Manila, saat ditangani Anatoli Polosin, pelatih asal Soviet. Polisin yang didampingi Danurwindo, melatih fisik pemain ekstra keras. Itu saja Polosin diserang oleh para pelstih lokal. “Pelatih bola kok melatih lari,” begitu serangan mereka.
Bantuan Pemerintah
Sekarang berbeda. Berkat bantuan pemerintah untuk tempat, fasilitas, dan asupan yang luar biasa, maka STY memiliki timnas yang baik.
STY pun dapat menerapkan dan meningkatkan kekuatan fisik pemain dengan asupan yang baik dan benar. Kemudian STY juga memperoleh kesempstan untuk latih tanding dengan lawan-lawan yang mumpuni. Jadi, ketika ada pemain yang menyimpang lalu kedapatan makan mie instan, STY marah.
Begitulah kekuatan fisik dan mental para punggawa U23 kita dibentuk. Semua berawal dari mempersiapkan tim untuk PD U20. STY meberapkan pengawasan yang ekstra ketat. Ada semacam tantangan yang luar biasa.
Hal itu terungkap saat STY berbincang dengan Amali. “Melatih Indonesia tantangannya jauh lebih besar ketimbang melatih Cina,” begitu jawaban STY.
Membuat nothing menjadi something adalah pekerjaan yang tidak mudah. Di situlah kejelian lain seorang STY.
Sayang PD U20, karena politik praktis terpaksa bergeser dari Indonesia.
Dari satu sisi, STY dan tim memiliki keberuntungan. Persiapan bisa dilanjutkan dan memiliki jam yang lebih lama. Maka, ketika kita melihat penampilan timnas U23 begitu luar biasa, ini pasti karena persiapan yang baik sejak awal dan bertambahnya jam terbang.
Jangan lupa, di Piala Asia U23, 2023 di Qatar, anak-anak kita bukan hanya menang skor 1-0 atas Australia, 4-1 atas Yordania, dan 2-2 (11-10) atas Korsel, tapi mereka juga mampu menampilkan permainan berkelas.
Kemenangan atas Korsel itu merupakan kemenangan ke-7 sejak 1952. Seluruhnya sudah 58 pertemuan, timnas kita 7 menang, 8 seri, dan 43 kalah.
Jadi, kalau ada pengamat yang mengatakan semua itu hanya kebetulan, kita tak perlu marah. Kita bilang saja: “Sorry ye, sorry ye_…”
Selain itu, keberhasilan timnas U23 kita menggapai semifinal, juga berkat kerja keras semua pihak. Apalagi, Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang menggantikan Iwan Bule, mau turun langsung ke masalah-masalah yang agak teknis. Artinya, ketika STY mengatakan butuh pemain seperti ini dan itu, Etho sapaan akrab Ketum, langsung berjibaku untuk mendapatkannya.
Sekali lagi, jika langkah itu oleh seorang pengamat yang patut dapat diduga, tidak ingin STY dan Indonesia sukses, disebut langkah berlebihan. “STY keenakan disuapin terus oleh Ketum,” katanya.
Padahal langkah Ketum memenuhi permintaan STY adalah untuk kesuksesan timnas yang artinya demi mengharumkan nama bangsa. Permintaan STY sendiri juga bukan tanpa dasar. Tujuannya ya hanya satu, mengangkat harkat dan martabat bangsa lewat sepakbola.
Semoga di partai semifinal, Rizky Ridho dan kawan-kawan kembali mampu menampilkan permainan terbaik….
Aamiiin ya Rabb
*) Penulis wartawan sepakbola senior