Catatan Cak AT

Di jagat politik Indonesia yang penuh warna, kepergian Presiden Prabowo ke luar negeri membawa diskusi serius sekaligus mengundang kekhawatiran. Perdebatan yang tadinya soal kebijakan, kini beralih pada sebutan untuk Wakil Presiden Gibran yang menggantikan tugas presiden sementara.

Media menyebut Gibran sebagai “Plt Presiden,” istilah yang sering digunakan untuk pejabat daerah sejak beberapa tahun sebelum dilangsungkannya Pilkada pada akhir November ini, namun jarang terdengar di level kepresidenan. Apakah ini hanya sebuah candaan, atau memang ada kekhawatiran tersembunyi?

Dalam aturan yang sebenarnya, istilah “Plt Presiden” tidak dikenal. Wakil Presiden secara otomatis menjalankan tugas presiden ketika presiden berhalangan, baik karena alasan kesehatan atau, seperti sekarang, perjalanan luar negeri. Keputusan Presiden (Keppres) memang dikeluarkan untuk menugaskan Gibran memegang tugas sehari-hari presiden. Namun, ini bukan berarti dia memiliki kekuasaan penuh sebagai presiden.

Dalam banyak situasi, ia tetap harus berkonsultasi dengan Prabowo jika ada keputusan besar yang harus dibuat. Ini praktik umum di berbagai negara, di mana wakil kepala negara hanya menjalankan “tugas administratif” saat presiden berhalangan tanpa perubahan formal pada kedudukan.

Di sisi lain, Gibran bukan hanya terkenal sebagai politisi muda, tetapi juga sebagai “pembangkang media sosial.” Masa lalunya dengan alias “Fufufafa” yang terkenal akan komentar-komentar kontroversial turut memancing tanda tanya. Di kalangan masyarakat yang terbiasa dengan citra “dewasa” seorang pemimpin, rekam jejak Gibran yang kekanak-kanakan menimbulkan keprihatinan.

Media sosialnya masih sering diisi konten gaming, yang bagi sebagian masyarakat dianggap kurang “berwibawa.” Ini menggarisbawahi pola pikir bangsa Indonesia yang masih mengaitkan usia dan keseriusan dengan kematangan dalam kepemimpinan, bahkan jika peran yang diemban hanyalah sementara.

Kekhawatiran tak berhenti di soal karakter. Mengingat Gibran adalah putra mantan Presiden Jokowi, muncul kecurigaan liar tentang agenda tersembunyi. Beberapa orang bahkan mencurigai bahwa kehadirannya di posisi ini dapat menjadi “pintu belakang” bagi kepentingan Jokowi, yang pernah dibicarakan ingin memperpanjang masa jabatan presiden.

Bagi sebagian rakyat Indonesia yang gemar berspekulasi, “mengambil alih” kekuasaan dari Prabowo melalui tangan anak sendiri bisa menjadi bahan teori konspirasi yang gurih. Apalagi bersama keberangkatan Prabowo memulai lawatannya 16 hari ke sejumlah negara, Jokowi diketahui meninggalkan Solo, kota kediamannya.

Di negara maju, tugas pengganti presiden sementara berlangsung tanpa drama. Misalnya, di Amerika Serikat, wakil presiden otomatis mengambil alih tugas administratif tanpa perlu pengesahan khusus, dan jarang ada kekhawatiran publik. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa yang dewasa secara politik lebih menekankan pada sistem, bukan pada orang. Berbeda dengan Indonesia, di mana kita masih memandang pemimpin sebagai figur paternalistik yang penuh kewibawaan .

Kecurigaan berlebihan soal “Plt Presiden” Gibran sebenarnya mencerminkan kondisi psikologis bangsa yang cenderung mencari hiburan dalam bentuk kekhawatiran. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat melihat kepemimpinan tidak hanya sebagai otoritas serius, tetapi juga sebagai panggung hiburan, di mana drama, konspirasi, dan isu kejiwaan menjadi sorotan. Dengan kata lain, bangsa ini mungkin sedang membutuhkan pelarian—bukan sekadar dari masalah, tetapi dari keseriusan politik itu sendiri.

Jadi, debat soal Plt Presiden Gibran adalah bukti dari sifat masyarakat yang cenderung mendramatisasi keadaan. Bagi mereka yang merasa cemas, sebaiknya ingatlah bahwa ada aturan jelas yang membatasi peran pengganti presiden sementara, termasuk Gibran. Dan bagi mereka yang merasa terhibur, mungkin ini adalah cara untuk sedikit “mewarnai” kepenatan kita dalam bernegara.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 11/11/2024
Kans Jawara

Tinggalkan Komentar