(Tulisan saya Januari 2021)

Oleh : Hendrajit

Menurut saya soal kontroversi berjilbab jangan dibenturkan dengan para perempuan berkebaya. Dialektikanya jadi nggak asyik. Sebab kemudian berkembang antara berjilbab itu Islam ortodoks, dan berkebaya itu kejawen atau budaya lokal.

Banyak perempuan kerabat keluarga dekat saya baik yang dari Solo, bumi Pasundan, dan Cirebonan, yang saat ini berjilbab atau yang hingga akhir hayatnya berjilbab, pada masa muda dan setengah baya mereka, pada berkebaya dengan berbagai corak sesuai daerahnya masing-masing.

Mereka ini sedari awal juga menyadari sebagai muslim, bahwa berjilbab memang anjuran agama, namun oleh berbagai pertimbangan psikologis yang rasanya kita tidak berhak menghakimi, belum siap berjilbab. Namun sangat menghargai dan mengapresiasi saudara atau kerabat lainnya yang dari awal secara tegas berjilbab.

Jadi beragama itu merupakan proses transformatif, ada saat ketika mereka mulai menghayati keagamaannya secara lebih komplit dan kaffah, otomatis dorongan berjilbab itu muncul dengan sendirinya seiring bertambahnya usia dan kematangan spiritualnya.

Maka itu saya juga sangat tidak sreg ketika dalam sikapnya yang cenderung anti-jilbab kemudian mengkampanyekan busana kebaya yang tidak pada tempatnya dan konteksnya, sebagai gerakan kontra terhadap tradisi berjilbab.

Sebab berjilbab dan berkebaya, seiring pengalaman saya sendiri di tengah kerabat keluarga perempuan yang pada waktu itu lekat dengan suasana budaya lokal masing-masing daerah, bukan merupakan sebuah pilihan yang bertentangan.

Sama sekali tidak ada pikiran di benak para perempuan kerabat keluarga saya itu, bahwa berkebaya itu budaya lokal, berjilbab itu Islam ortodoks. Apalagi ketika santri dibenturkan versus abangan, Islam ortodoks versus kejawen. Polarisasi atau pengkutuban seperti itu sama sekali nggak ada di pikiran mereka.

Mungkin pakar antropologi Amerika Clifford Geertz yang di Indonesia terkenal dengan buku klasiknya ”The Religion of Java”, sengaja atau tidak, telah menanamkan sebuah cara pandang yang keliru bahkan terhadap kalangan cendekiawan ilmu sosial kita. Terutama adanya trikotomi Priayi, Santri dan abangan.

Priyayi yang berasal dari kalangan bangsawan atau kelas ningkrat Jawa, dipandang seolah-olah menganut keyakinan yang sudah fix dan tidak berubah-ubah sebagai penganut kejawen, yang di alam bawah sadarnya anti Islam. Abangan, mirip seperti itu juga, hanya saja berasal dari kelas sosial yang bukan dari kalangan ningrat-bangsawan kraton maupun priyayi kecil, tapi dari kelas sosial rendahan. Namun sama seperti kaum priyayi, kalaupun mereka Islam, tapi dipandang sebagai Islam KTP atau islam formal belaka.

Yang benar-benar beranjak dari tradisi Islam menurut Geertz, baik tradisional maupun modern, merekalah sebenar-benarnya masuk golongan santri.

Padahal dalam kenyataanya, teori Geertz sudah banyak gugur sejak dekade 1980-an. Bahwa dari lapis sosial yang oleh Geertz dipandang sebagai priyayi atau abangan, secara transformatif seiring kematangan penghayatan keagamaannya maupun spiritualnya, kemudian bertransformasi ke kultur santri. Sehingga berjilbab hanya salah satu aspek dari transformasi penghayatan keagamaannya yang bersifat dinamis.

Di sinilah kekeliruan mendasar dari Geertz. Bahwa trikotomi santri, abangan dan priayi itu, dalam prosesnya tidak statis, melainkan dinamis dan bersifat transformatif. Yang dulunya dianggap kejawen, dalam arti jarang sholat, sholat jumat nggak pernah, puasa juga suka-suka, oleh perkembangan waktu, banyak yang bertransformasi masuk kultur santri. Jadi pada rajin sholat, yang dulunya cuek baca Quran, tiba tiba rajin tadarusan dan rajin ikut komunitas pengajian.

Di lingkup keluarga besar saya sendiri dari jalur alm. Ayah yang Solo maupun jalur alm ibu saya yang Pasundan dan Cirebonan, hakekatnya dari keluarga priyayi, bahkan beberapa ada jalur langsung ke bangsawan kraton.

Dulu pas saya masih remaja atau mahasiswa, kalau ada event acara keluarga saya pakai peci hitam atau orang Jawa bilang kupluk/kopiah, spontan para bude-bulik dan mbakyu-ua dan teteh saya selalu nyindir, “Wah pak kiai e wis teko ki (wah pak kiai kita dah datang nih). Pengajian wis ono sing mimpin ki.”

Beberapa tahun kemudian, pas saya sudah dewasa dan berkeluarga, dan kembali ikut perhelatan keluarga lagi, para bude/bulik dan mbakyu saya itu, sudah pada berjilbab semua.

Apa kemudian mereka jadi pada anti kebaya, batik dan lurik? Sama sekali tidak. Karena dari awal itu bukan milih ini dan itu, melainkan soal transformasi kesadaran. Daya kreasi mereka sebagai para putri Jawa dan Sunda, justru tergugah untuk menciptakan kreasi2-kreasi kebaya gaya baru, seiring semakin menyatunya tradisi keislaman yang semakin meluas, dengan pentingnya pelestarian budaya lokal.

Advertisement

Tinggalkan Komentar