Cerpen Terinspirasi dari Kisah Nyata
Cerpen : Marlin Dinamikanto
Biarkan Evita pergi. Meninggalkan cinta yang hambar. Setelah prasasti yang tercatat di dahi tidak menggambarkan apa-apa. Selain kemelut asmara yang dibiarkan berkerak. Menjadi daki. Selama bertahun-tahun. Kebencian bertunas. Semoga tidak menular ke anak satu-satunya yang dia bawa pergi.
Aku harus move on. Hidup bukan sekedar menekuni tali asmara yang ruwet. Banyak bijian kopi yang harus dipetik. Dijemur. Keesokan harinya baru disangrai. Tap sialnya matahari selalu disembunyikan oleh mendung. Hidup menjadi serba canggung.
Kring… Telepon rumah berdering. Dari Toni Listianto rupanya. Dia anggota polisi yang sudah 16 tahun bertugas di di Timor Leste. Pertama dibenum di Los Palos, hanya 3 bulan di sana lalu dipindah ke Polsek Ermera. Sejak bujangan dia memang memiliki hobi yang sama dengan aku. Bergunjing tentang kopi.
“Kau harus datang ke sini, Lin,” ujarnya
“Kenapa? Mau kau jadikan mata-mata? Enggak lah,” jawab saya bercanda.
Saat itu kondisi Timor Lester memang sedang bergejolak. Setiap hari koran-koran nasional tidak pernah istirahat untuk memberitakan Timor-Timur (sebutan resmi saat itu). Terakhir kali rumah Manuel Carascalo – kakak mantan Gubernur Mario Vegas Carascalo – di Jl. Martinho de Carvalho diserbu pasukan sipil bersenjata seusai Apel perngatan hari integrasi Timor Leste ke Indonesia.
“Biarlah, itu urusan orang-orang di atas. Yang penting kau datang ke sini. Sebentar lagi aku panen kopi,” ucap Toni.
“Yang betul? Hebat kamu. Jadi polisi di wilayah konflik masih sempat-sempatnya bertanam kopi. Apa nggak diomeli komandan?” tanya saya.
“Di sini nggak seperti di kabupaten lain. Di sini relatif aman dan damai. Urusan milisi biar diurus tentara. Urusanku hanya jangan sampai telat apel pagi sudah itu kabur ke kebun kopi yang aku beli dari penduduk setempat,” bebernya.
“Wah, boleh juga. Tapi belikan tiket ya?”
“Ampun-ampun. Jangan ngece. Kau tahu sendiri berapa sih gaji bintara polisi?”
“Ya sudah. Biar aku beli tiket sendiri. Aku pengen tahu apakah kopi yang kau panen senikmat kopi Ermera yang pernah aku minum.”
Toni memang puzzle yang tidak pernah hilang dari mozaik hidupku. Cerita Lindi Sang Juragan Kopi tidak akan lengkap tanpa Toni. Dia yang pertama mengajak liburan ke perkebunan kopi Banaran milik kenalan bapaknya. Di situ aku pertama melihat pohon kopi. Namanya juga anak Kebayoran.
Dia tinggal di Gang Mangga, Tulodong Atas (sekarang SCBD) dan aku tinggal di Gunawarman. Toh begitu kami bersahabat sejak sekolah di SD Blok R, SMP 56 hingga SMA 70 Bulungan. Tamat SMA aku melanjutkan pendidikan ke Amerika, dia langsung berkarir menjadi polisi di Timor Leste sejak 1983.
Aku berangkat dengan maskapai penerbangan Merpati Air Lines ke Dily lanjut Ermera. Meninggalkan tali asmara yang kusut. Hampir tidak bisa diurai dan diluruskan lagi.
*
Dari Bandara di Dily aku dijemput dengan Jeep Willys. Ternyata dia mengajak komandan yang pikirannya telah dia racuni ada pengusaha besar yang tertarik membuka perkebunan kopi di Ermera. Padahal aku hanya pengusaha kopi kecil-kecilan. Peralatan pun masih seadanya.
“Iya, Dik. Kopi Ermera tidak kalah dari Sidikalang atau Toraja. Mudah-mudahan saja otonomi khusus yang menang, biar setelah pensiun tidak kembali ke Jawa tapi bekerja di perkebunan milik adik di Ermera, ” ucap perwira polisi senior berpangkat Kapten di tengah perjalanan antara Dily – Liquisa.
Aku lihat Toni hanya senyum-senyum saja. Cara halus menjemput teman secara berkelas adalah menipu komandan. Sebab mobil ini tidak akan pernah dilepas tanpa mengajaknya. Dan aku pun maklum sedang diajak bersandi wara.
Meskipun sarjana. Lulusan Amerika. Tapi bisnis yang aku rintis selalu gagal. Di tengah kegagalan itu aku teringat biji kopi di Banaran, daerah perbatasan antara Kabupaten Semarang, Magelang dan Temanggung. Sejak itu sisa modal aku belikan perkebunan kopi di daerah Ciwidey, sambil membuka homestay kecil-kecilan.
Itu lah sisa hidup selain tali asmara yang kusut. Evita kabur membawa Tole ke rumah orang tuanya di Jakarta. Tinggal aku dan lima orang pegawai yang setiap hari menekuni biji kopi. Kadang pula menerima tamu homestay untuk menambal over head yang masih bolong.
Setelah tiga jam perjalanan, melintasi check point yang bertebaran sepanjang jalan sampai juga kami di Ermera. Pohonan kopi jenis arabica tampak merimbun di punggung-punggung bukit. Benar kata Toni, suasana di sini lebih damai. Tak terlihat milisi berkeliaran di jalan.
Kami langsung njujuk rumah komandan. Disuguhi kopi dan keripik singkong. Tuan rumah terus bicara tentang usianya yang sudah 46. Dua tahun lagi pensiun. Kalau harus pulang ke Boyolali repot. Maka dia putuskan tetap tinggal di Ermera. Semoga saja otonomi khusus yang menang.
Satu jam berbincang kami pamit. Komandan tidak keberatan mobil dinasnya aku bawa. Toni mengajak langsung ke rumahnya yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah komandan. Tapi aku bersikeras langsung ke kebun kopi yang menjadi miliknya sejak 10 tahun lalu.
Biji kopi terlihat merah. Sudah saatnya dipanen. Aku berjalan mengitari areal yang luasnya hanya seperempat hektar. Rupanya para pemetik kopi sudah menunggu. Tidak lama, Maria, istri Toni yang asli orang Timor Leste datang. Jalan kaki menempuh jarak 2 km dari rumah ke kebun.
“Anaknya kok nggak diajak?” tanyaku setelah berkenalan dan bercanda kecil tentang Toni kok masih ada yang mau.
“Si sulung tinggal sama Embahnya di Jakarta, nomer dua dan tiga ikut buliknya di Dily dan si Ragil di rumah,” jawab Maria.
“Banyak banget anakmu. Ada yang nggak kebagian tunjangan dan jatah beras dong?”
Toni dan Maria senyum-senyum kecil. Sebenarnya mau panen. Tapi sudah kesorean. Maka diputuskan panen besok pagi. Kami bubar. Aku ikut pulang ke rumah Toni, di sebuah asrama polisi berdinding batako yang tidak begitu luas.
*
Butir embun masih menyisa di bijian kopi yang dipetik tiga lelaki berbibir merah. Mereka terbiasa mengunyah buah pinang. Hidup mereka sederhana. Tidak terlihat raut kebencian kepada kami meski secara fisik kami berbeda dengan mereka.
Bahkan Toni orang Jawa kelahiran Jakarta dan komandannya yang asal Boyolali bisa menikahi penduduk setempat. Tali asmara yang sederhana, tidak penuh drama seperti Lindi dan Evita, lebih terlihat seperti burung dara. Tidak perlu diruwetkan oleh masalah kecil yang selalu diungkit dan dibesar-besarkan.
Keesokan hari setelah panen kopi, penduduk setempat yang asli Timor Leste berduyun-duyun ke sebuah lapangan dekat kantor kecamatan. Di tangan mereka nasib komandan yang hendak tetap tinggal di Ermera setelah pensiun ditentukan.
Begitu juga dengan nasib Toni yang memiliki empat orang anak dari hasil pernikahannya dengan Maria. Sejak panen selesai, kopi dijemur, kami tidak lagi bicara tentang kopi. Melainkan lebih terbawa oleh obrolan jajak pendapat yang tentu saja menyangkut keutuhan rumah tangga yang sudah lama mereka bina.
“Lin, kamu kan yang lebih tahu. Kalau opsi merdeka yang menang apakah aku masih bisa membawa Maria dan anak-anak ke Indonesia? “
“Kenapa tidak? Mereka kan keluargamu. Tapi mudah-mudahan bukan itu yang terjadi,” jawabku sekaligus melihat-lihat suasana pencoblosan.
Yang dikawatirkan Toni dan komandannya terjadi juga. Di TPS tempat Maria dan kerabat besarnya mencoblos, opsi merdeka menang telak. Keesokan harinya semua personil ABRI dari semua matra dan kepolisian dikumpulkan. Toni bintara Polsek Ermera bergabung pasukan Lorosae yang bertugas mengevakuasi penduduk non-Timor Leste ke Dily. Hampir semua jalanan dijejali truk dan kendaraan lainnya yang membawa pengungsi beserta barang-barang yang mereka bawa.
Pertama yang dievakuasi Toni adalah keluarganya, termasuk aku yang terjebak ruang konflik yang luput dari perhitungan. Hampir semua media pro-Jakarta yakinku otonomi khusus menang. Maka aku tidak ragu lagi datang sekaligus melupakan Evita.
Aku berdiri di bak truk bersama sekitar 50 pengungsi. Antara tanggal satu dan tanggal dua September, meskipun secara resmi hasil jajak pendapat belum diumumkan, kami harus segera meninggalkan Timor Leste.
Satu kantong biji kopi dari Ermera aku ikatkan dengan tali rapia ke tangan. Kami dibawa ke areal Bandara. Pesawat terbang hilir mudik, ada yang landing ada yang terbang. Setiap pesawat datang petugas sibuk menertibkan antrian yang berlomba masuk pesawat.
Sekali kantong plastik ditabrak kerumunan pasti ambyar, jatuh berserak dan diinjak-injak. Maka tali rapia tak boleh putus. Kelak biji kopi ini bisa bicara apa saja. Tali asmara yang kusut, suntuk, dan seperti ayam tanpa kepala jalan nabrak-nabrak.
Aku tidak lagi melihat Maria dan anak-anaknya. Ternyata mereka sudah lebih dulu terbang menggunakan pesawat Hercules ke Bandara Eltari, Kupang. Tinggal aku sendiri di keramaian menunggu pesawat yang semakin jarang datang.
Keesokan harinya, tanggal 3 September 1999, lewat Despen, seorang teman lama yang berprofesi wartawan, namaku tercatat dalam manifes penumpang Hercules. Itu pesawat terakhir. Pengungsi yang tersisa akan dievakuasi ke pelabuhan.
Aku turun di Bandara El-Tari. Tentu saja sekantong plastik biji kopi tetap terikat di tangan. Di terminal kedatangan aku melihat Maria dan keempat anaknya. Aku hampiri mereka dan berpelukan.
Mereka sudah satu malam tidur di tenda pengungsi dekat Bandara. Sejak pagi hari mereka berjaga di terminal kedatangan. Berharap bertemu aku, sekedar memberi kabar mereka baik-baik saja.
“Ayo, ajak anak-anak ikut aku ke Bandung. Tunggu suamimu di sana,” ajak saya sambil mencari-cari calo tiket yang kala itu menjadi hal lumrah di setiap bandara.
“Terima kasih om. Tapi biarkan saya dan anak-anak menunggu bapak di sini saja. Kalau ditelepon bapak, katakan, kami menunggu di tenda pengungsi dekat Bandara El-Tari” jawab Maria.
Diam-diam aku mengagumi Toni. Bisa membahagiakan istri dan keempat anaknya dengan cara sederhana. Jauh berbeda dengan aku dan Evita. Bisa berantem berhari-hari hanya karena tidur lupa cuci kaki dan gosok gigi. Semua serba diatur. Bahkan saat bercinta.
“Biarkan Evita pergi,” ucapku sambil meneguk kopi Ermera yang dirosting tanpa narasi, tanpa trik dan tanpa drama.