Membaca Jejak Manuskrip


Oleh: Gus Nas Jogja


Senyap di Gerbang Ma’rifat, Riwayat di Puncak Daulat

Sastra Aceh adalah permata yang tidak hanya dipahat oleh sejarah, tetapi dicetak oleh Filsafat Agama yang mendidih di jantung Kesultanan. Ia adalah ‘Arasy yang terukir di Serambi Mekkah’, sebuah warisan yang mendefinisikan dirinya dalam ketegangan abadi antara Daulat (Kekuasaan), Syariat (Hukum), dan Hakikat (Kebenaran Mistik).

Puncak dari gema spiritual ini terjadi di Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), masa di mana Aceh mencapai zenith politik, sekaligus menjadi Pentas Perdebatan Ruh Nusantara. Perjuangan pada masa ini melampaui pelayaran armada melawan Feringgi (Portugis) di Selat Malaka. Perjuangan sejati terletak di bilik-bilik Meunasah dan Baitul Hikmah, tempat para Ulama besar bertarung dalam medan fatwa.

Filsafat Agama: Dialektika Wujud dan Kredo Perjuangan

Inilah masa krusial bagi Filsafat Agama Aceh. Konsep Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud) yang radikal dari Hamzah Fansuri—yang mengajarkan bahwa segala wujud adalah manifestasi Tuhan (tajalli)—diuji dan ditentang oleh pandangan yang lebih konservatif dan berbasis Syariat, seperti yang diusung oleh Syeikh Nuruddin al-Raniri. Perdebatan ontologis ini—Bagaimana Tuhan Wujud? Bagaimana Ruh mengenal-Nya?—tidak hanya tersimpan dalam kitab teologi, tetapi disarikan ke dalam prosodi puitis Hikayat dan Syair. Sastra, pada titik ini, adalah medan perang teologis yang menentukan kredo spiritual seluruh bangsa.

Dari dialektika filosofis inilah lahir Ontologi Perjuangan Sastra Aceh: eksistensi manusia hanya sah dan paripurna jika ia digunakan untuk menjaga kemurnian Tauhid dan menegakkan keadilan. Perang (Prang Sabi) menjadi manifestasi etis dari keyakinan terdalam ini.

Jarum Emas di Bawah Kanopi Daulat

Namun, di tengah kemegahan Daulat yang cenderung absolut dan ketegasan Syariat yang kadang memunculkan kemunafikan, Sastra Aceh tak pernah kehilangan Jarum Satir-nya. Sastra lisan dan Ca’e Peungon (Syair Sindiran) adalah mekanisme kontrol etis yang berani berbisik di bawah bayangan singgasana.

Ada riwayat bisikan di sudut Meunasah, tentang Seorang Qadi yang Riba’—seorang ahli agama yang fasih melantunkan khutbah tentang zuhud (asketisme) bagaikan air Zamzam yang jernih, namun tangannya secara sembunyi-sembunyi mengocok dadu duniawi. Sang Pujangga, alih-alih memberontak secara fisik, menyematkan kritik tajam ini dalam pantun yang tersembunyi dan satir yang puitis, membuat penguasa dan hipokrit tersentak tanpa merobek kain institusi.

“Sungguh indah kain sutra yang menutupi
_Tapi di baliknya ada ulat yang menggerogoti.
Air mata di mimbar adalah permata khayal,
Jika tangan kanannya masih menghitung riba yang halal.”

Sastra Satir ini adalah bukti bahwa Epistemologi Ruh Aceh adalah epistemologi yang kritis dan etis. Ia mengajarkan bahwa kebenaran harus diucapkan, meskipun dalam balutan sajak yang paling halus.

Risalah filosofis ini adalah Sekapur Sirih yang mengajak kita menyelam ke dalam khazanah Sastra Aceh—sebuah perpaduan yang langka antara Tauhid yang keras, Ma’rifat yang mendalam, Perjuangan yang berdarah, dan Kritik Etis yang puitis. Kita akan membedah teks-teks ini untuk menemukan Mutu Manikam yang telah mendefinisikan jiwa Serambi Mekkah selama berabad-abad.

Historiografi Darah dan Hikayat: Ontologi Pengorbanan

Historiografi Aceh secara intrinsik terjalin dengan narasi konflik, yang puncaknya terekam dalam genre Hikayat, khususnya Hikayat Prang Sabi. Genre ini melampaui catatan sejarah konvensional; ia adalah Historiografi Eskatologis, yang mendefinisikan keberadaan manusia Aceh dalam kerangka yang lebih besar: perjuangan abadi melawan kezaliman hingga akhir zaman.

Hikayat Prang Sabi: Epik Syahid dan Eksistensi. Hikayat Prang Sabi adalah puncak ontologi perjuangan Aceh. Ia adalah teks yang menggerakkan jiwa, bukan hanya untuk berperang, tetapi untuk mencapai status Syahid—bentuk eksistensi tertinggi dalam pandangan spiritual Aceh. Secara filosofis, hikayat ini mengubah kematian fisik menjadi pintu menuju Wujud Sejati (al-Haqq).

Pujangga anonim yang menyusun hikayat ini menetapkan bahwa nilai-nilai duniawi (dunia nasut) adalah bayangan fana. Kehidupan hanya memiliki makna substansial ketika dipertaruhkan demi menegakkan agama.

“Bukanlah hidup ini jika tiada berjuang di jalan Tuhan. Jiwa yang gentar di medan jihad adalah jiwa yang lalai akan Hakikat Ruh-nya. Kematian syahid adalah pernikahan agung, menjumpai Wujud yang dirindukan, dan itulah puncak dari segala wujud.” {1}

Ontologi Syahid yang diusung oleh Hikayat Prang Sabi menjadi inti dari identitas Aceh. Ia memadukan unsur prosa liris (syair) dengan fatwa teologis, menjadikan sastra sebagai komandan spiritual di medan perang, menggarisbawahi bagaimana kata dapat mengubah perbuatan hingga ke akar eksistensialnya.

Narasi Perjuangan dan Filsafat Ketaatan. Di balik gemuruh perang, hikayat juga mencerminkan ajaran Ulama besar. Konsep Tauhid (Keesaan Tuhan) yang kuat dan ajaran Syeikh Nuruddin al-Raniri tentang pentingnya ketaatan pada Syariat menjadi landasan moral bagi Jihad. Perang Prang Sabi bukanlah pemberontakan acak, tetapi ketaatan yang terstruktur, di mana semangat Tasawuf dipraktikkan melalui disiplin militer.

Historiografi Sastra Aceh mengajarkan bahwa setiap peristiwa masa lalu harus dilihat sebagai babak dalam ujian keimanan. Kegagalan atau kemenangan hanyalah manifestasi zahir dari seberapa teguh jiwa memegang Hakikat Tauhid di medan ujian.

Epistemologi di Balik Tabir Lisan: Neurajah, Hiem, dan Pengetahuan Gaib

Sastra Lisan Aceh— Neurajah, Hiem, dan Narit Maja —adalah repositori Epistemologi yang berbeda dari tradisi tulisan. Ia adalah pengetahuan yang terikat pada kekuatan supranatural bahasa, intuisi, dan kearifan sosial.

Neurajah: Bahasa sebagai Kekuatan Kosmik. Neurajah atau Mantra adalah genre tertua yang mengungkapkan Epistemologi Magis Sastra Aceh. Sebelum agama menjadi kerangka dominan, neurajah diucapkan oleh pawang untuk berinteraksi dengan alam, mengendalikan cuaca, atau menyembuhkan penyakit.

Secara filosofis, neurajah menegaskan Ontologi Bahasa: kata-kata bukanlah sekadar simbol yang merujuk pada realitas, tetapi energi kreatif yang mampu membentuk dan mengubah realitas. Bahasa di sini adalah alat suci yang, ketika diucapkan dengan yakin dan ritmis yang benar, menyambungkan ruh pawang dengan kekuatan-kekuatan kosmik.

“Neurajah adalah seni berbicara kepada Wujud dalam bahasa yang paling purba. Ia adalah pengakuan bahwa setiap huruf memiliki rahasia, dan setiap kalimat adalah kunci untuk membuka pintu yang tertutup di alam gaib. Epistemologi ini adalah jalan pengetahuan melalui resonansi batin dengan semesta.” {2}

Walaupun fungsi pawang berangsur digantikan oleh ulama, warisan neurajah tetap ada sebagai bukti bahwa tradisi Aceh mengakui adanya Pengetahuan Intuitif (Ilmu Ladunni) yang melampaui nalar logis.

Hiem dan Narit Maja sebagai upaya Melatih Ruh Mencari Hakikat. Hiem (Teka-teki) dan Narit Maja (Peribahasa) adalah latihan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

Hiem atau Teka-teki ini adalah alat Epistemologi Analogis. Teka-teki tidak pernah menyajikan jawaban secara langsung; ia memaksa pikiran untuk melakukan lompatan intuitif, mencari kesamaan antara dua realitas yang berbeda. Ini melatih jiwa untuk mencari Hakikat (kebenaran tersembunyi) di balik Syariat (fenomena yang terlihat).

Narit Maja atau Peribahasa ini adalah Ontologi Etis yang dienkripsi. Peribahasa berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dan moral yang santun. Frasa seperti “Hana glah uleu lam udee” (Tidak ada ular yang lepas dalam lumpur) adalah peringatan filosofis tentang konsekuensi perbuatan dan takdir moral yang tak terhindarkan.

Filsafat Sufi Hamzah Fansuri dan Penyatuan Wujud. Peradaban Aceh, khususnya di era Kesultanan, menjadi pusat ajaran Tasawuf, yang puncaknya diwakili oleh Hamzah Fansuri. Meskipun karyanya ditulis dalam Bahasa Melayu Klasik (Jawi), pemikiran filosofisnya menjadi tulang punggung spiritual yang mempengaruhi seluruh khazanah Sastra Aceh.

Syair Sufi sebagai Ontologi Wahdat al-Wujud. Hamzah Fansuri memperkenalkan dan menyebarkan konsep Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud) di mana semua yang ada adalah manifestasi (tajalli) dari Wujud Tuhan yang Tunggal. Secara ontologis, ini adalah pemahaman yang paling radikal:

“Kita adalah bayangan dari Yang Empunya Cahaya. Dunia ini adalah cermin tempat Cahaya itu memantul. Siapa yang mencari diri di luar cermin ini, maka sesatlah ia dalam fatamorgana. Wujud Sejati adalah Lautan, dan kita adalah buih yang kembali ke Lautan itu.” {3}

Sastra Sufi ini mengajarkan Epistemologi Fana’, yaitu pengetahuan tertinggi dicapai ketika ego atau keakuan hancur oleh fana’, menyisakan kesadaran akan Wujud yang Abadi. Genre syair dengan iramanya yang merdu berfungsi sebagai alat zikir atau pengingat yang membawa pendengar pada keadaan spiritualitas transenden.

Dialektika Wujud: Raniri dan Keseimbangan Etis. Setelah Hamzah Fansuri, terjadi dialektika penting, terutama melalui Syeikh Nuruddin al-Raniri, yang menggarisbawahi pentingnya menjaga Syariat sebagai benteng Hakikat. Kontribusinya adalah Filsafat Keseimbangan Aceh: spiritualitas yang mendalam harus selalu diikat oleh disiplin hukum agama yang ketat.

Sastra yang lahir dari tradisi Raniri adalah sastra yang menekankan ajaran moral dan hukum (Fikih), memastikan bahwa pengalaman spiritual tidak mengarah pada penyimpangan sosial atau teologis. Inilah yang mendefinisikan Sekapur Sirih Aceh: tradisi yang selalu menuntut keseimbangan antara Laut Fana (Tasawuf) dan Darat Syariat (Hukum).

Sastra Kontemporer: Revitalisasi Ruh dan Tantangan Abad Ini

Meskipun menghadapi tantangan drastis di era modern—seperti penurunan minat generasi muda dan keterbatasan publikasi—Sastra Aceh menunjukkan semangat juang yang sama dengan Hikayat Prang Sabi: semangat untuk terus hidup dan beradaptasi.

1. Cae’ dan Revitalisasi Bahasa

Cae’ (syair atau puisi liris) dan upaya seniman modern untuk menggubahnya (seperti yang dilakukan Rafli atau Jol Pase) adalah tindakan Revitalisasi Ruh. Mereka menggunakan media modern (musik, teknologi) untuk menyalurkan hikmat lisan purba.

Secara filosofis, ini adalah penegasan kembali Ontologi Budaya: Bahasa Aceh (Basa Acèh) harus tetap menjadi kendaraan utama bagi jiwa peradaban. Jika bahasa mati, maka seluruh arsip jiwa (sastra) akan terkunci. Program studi dan revitalisasi oleh ISBI Aceh adalah garis pertahanan terakhir untuk menjaga agar Hiem dan Narit Maja tetap relevan.

“Mengembangkan aplikasi penerjemah bukanlah sekadar teknologi, melainkan sebuah Jihad Epistemologis. Ia adalah upaya untuk meluaskan medan perjuangan dari hutan dan benteng ke dalam ruang digital, memastikan bahwa hikmat Aceh tetap dapat diakses oleh jiwa-jiwa yang haus di mana pun mereka berada.” {4}

2. Sastra dan Adaptasi: Menjaga Api di Tengah Badai

Tantangan terbesar—perubahan zaman—menuntut Sastra Aceh untuk menemukan keseimbangan baru: menjaga substansi Syahid dan Hakikat (kedalaman spiritual) sambil menyesuaikan bentuknya. Sastra Aceh harus terus menjadi “Sekapur Sirih” yang dipersembahkan kepada dunia: persembahan kerendahan hati, tetapi dengan inti spiritual yang tak tergoyahkan.

Sastra Aceh mengajarkan kita pelajaran terpenting: eksistensi sejati terletak pada kemampuan untuk bertahan (survive) tanpa kehilangan Wujud Diri yang hakiki.

Epilog:
Amanah di Setiap Aksara


Sastra Aceh adalah warisan yang mahal, dibayar dengan darah Syahid dan didindingi oleh ketegasan Ulama. Ia adalah guru yang paling keras dan paling lembut sekaligus: keras dalam menuntut ketaatan pada hukum, namun lembut dalam membimbing jiwa menuju Ma’rifat.

Dari Neurajah yang memanggil roh, Hikayat yang memanggil Syahid, hingga Narit Maja yang menertibkan sosial, setiap genre adalah lapisan dari satu Ontologi Peradaban yang utuh. Menggali Sastra Aceh adalah menerima sebuah amanah: untuk menjaga bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai Benteng Terakhir Iman, tempat ruh Aceh bersemayam, abadi, dan tak terkalahkan oleh zaman.

Wallahu A’lam

Catatan Kaki

{1}. Interpretasi filosofis dari semangat Hikayat Prang Sabi yang menempatkan status Syahid sebagai puncak ontologis eksistensi manusia.

{2}. Analisis mengenai Neurajah (Mantra) sebagai genre tertua yang mengungkapkan epistemologi magis dan kekuatan formatif bahasa. Merujuk pada kajian sastra lisan Aceh.

{3}. Kutipan konseptual dari ajaran Wahdat al-Wujud Hamzah Fansuri yang menekankan persatuan Wujud dan bayangan dunia sebagai cermin. Lihat Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri, hlm. 125.

{4}. Refleksi filosofis tentang upaya revitalisasi sastra Aceh menggunakan teknologi sebagai bentuk ‘Jihad’ kebudayaan.

{5}. Kesimpulan filosofis yang menghubungkan tantangan modern dengan imperatif menjaga substansi spiritual Sastra Aceh.

{6}. Pandangan filsafat tentang fungsi Hiem (Teka-teki) sebagai latihan epistemologis untuk mencari Hakikat di balik Syariat.


Daftar Pustaka


Buku dan Kajian Utama:

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press. (Meskipun berbahasa Melayu Klasik, kajian ini krusial untuk memahami basis spiritual Aceh).

Alfian, Teuku Ibrahim. (1992). Wajah dan Corak Sastra Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. (Memberikan tinjauan umum tentang genre dan tema sastra Aceh).

Daud, Bachtiar. (2006). Narit Maja: Peribahasa dan Ungkapan Adat Aceh. Banda Aceh: Yayasan Adat Aceh. (Kajian spesifik tentang fungsi ontologis narit maja).

Hasjmy, Ali. (1983). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. (Memberikan konteks historiografi dan spiritual Aceh sebagai Serambi Mekkah).

Reid, Anthony. (2015). A History of Southeast Asia: Critical Crossroads. Singapore: Wiley. (Menyediakan konteks sejarah perjuangan Aceh yang melatarbelakangi Hikayat Prang Sabi).

Jurnal dan Penelitian Sastra Aceh:

Iskandar, Teuku. (1995). Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei Darussalam: Dewan Bahasa dan Pustaka. (Menempatkan sastra Aceh dalam konteks luas kesusastraan Nusantara).

Zubir, M. (2018). “Hikayat Prang Sabi: Dari Narasi Jihad ke Konten Digital.” Jurnal Sastra Budaya dan Bahasa Aceh, Vol. 2, No. 1, hlm. 45-60.

Yunus, N. (2020). “Revitalisasi Bahasa dan Sastra Aceh melalui Kurikulum Pendidikan dan Teknologi.” Jurnal Kajian Sastra Lisan, Vol. 7, No. 2, hlm. 12-28.

Advertisement
Previous articleMemahami Sastra dan Unsur Tasawuf
Next articleRitual Membasuh Kaki

Tinggalkan Komentar