Karya : Said Adli

Pengantar :

Said Adli, lahir di Nagan Raya, 7 September 1965. Pernah kuliah di prodi bahasa dan sastra Indonesia. Pernah berprofesi sebagai jurnalis di beberapa media cetak di Aceh dan Jakarta. Dulu juga aktif di Koalisi NGO HAM untuk Aceh di masa konflik. Sekarang menetap menjadi petani di kampung halamannya di pedalaman, Aceh, Kabupaten Nagan Raya. Teman-teman dan sahabat menamai tempat tinggalnya “rumah teungeh blang” karena berada di tengah-tengah persawahan. Bapak 4 anak dan satu cucu ini sekarang juga bergiat membuat Eco Enzyme dan pupuk organik untuk keperluan sendiri dan teman-teman. Puisinya pertama kali dimuat di harian Waspada tahun 1985 berjudul: saat ini aku sedang tertidur dan bermimpi tentang kamu. Puisi dan cerpen pernah dimuat di waspada, serambi Indonesia, Atjeh post dan lain-lain. Cerpen berjudul “Canggang” dan “Tam Galeng” yang dimuat Serambi tahun 1993 pernah mendapat banyak perhatian karena mengungkapkan kekejaman daerah DOM dan dimuat di masa DOM. Lebih sering menulis untuk kepuasan diri dan tidak pernah menulis untuk antologi. “Saya baru mau dimuat di antologi kalau editornya sendiri yang memilih dari karya yang sudah pernah dimuat. Tidak mau setor karya. Apalagi karya dalam rangka….” Sekarang juga aktif menulis “haiku” puisi khas Jepang (dalam bahasa Indonesia) dan bergabung dalam salah satu komunitas haiku Indonesia. Puisi “Surat kepada Generasi Kelima” dibacakan di hadapan pejabat dan penyelenggara pemilu PD acara peluncuran Pilkada di Alun-alun Suka Makmu, Nagan Raya, Kamis kemarin. Atas undangan pihak KIP Nagan Raya.


Aku tidak tahu memulai kegelisahan ini dari mana dari apa dari siapa
Kesemrawutan sudah lama terjadi Reformasi yang digerakkan dari bawah tanah dalam organisasi tanpa bentuk
dengan peluh, darah dan kematian
—tanpa air mata
hanya berhasil menumbangkan raja besar di sana
di Jakarta
Lalu ramai yang berebut warisan keserakahan yang pada awalnya jadi punca persoalan

Atas nama demokrasi Atas nama otonomi Atas nama hak
telah lahir raja-raja kecil di wilayah kecil
—dan yang kecil terus bermekaran menjadi lebih kecil-lebih kecil

Raja kecil di negeri kecil Kursinya tidak kecil Mejanya tidak kecil Lacinya tidak kecil Brankasnya tidak kecil

Di pojok warung kopi di sebuah kampung seorang petani bertanya kepada sahabatnya sekarang eselon tiga tarifnya berapa

Kesemrawutan memang sudah lama membumi meliliti dan mengakar di otak kami
Membeli jabatan menjadi benar Membeli suara menjadi benar Mutualisme murahan menjadi alam pikir
—kadangkala fit and proper test menjadi pasar tempat negosiasi harga-harga
Seorang oportunis bertanya kepada rekannya Sekarang satu kursi habis berapa?

Di kampung-kampung rakyat menunggu pemilu
Kicau burung dan lenguh kerbau di sawah berganti dengan dentingan botol-botol sirup dan hiruk pikuk kardus-kardus mie instan Desik dedaunan yang dihembus angin
jadi senyap di antara gemersikan berlembar-lembar rupiah yang dihitung di pintu-pintu rumah

Di teras masjid seusai shalat Jumat Seseorang lantang berkata
Kapan lagi, Saudara-saudara Sekarang kita yang pasang harga
Toh, setelah mereka dipilih kita tak dapat apa-apa

Intelektualitas Kapasitas Kredibilitas Integritas
Sudah dikalahkan oleh popularitas dan isi tas

Partai sebagai dapur politik
di mana ide dan gagasan diracik sekarang sepi perdebatan
Tak ada lagi pergulatan pemikiran Kaderisasi sudah purba
Visi misi hanyalah barisan kata-kata Pragmatisme sudah jadi landasan
Tujuan singkat merebut atau berbagi kekuasaan

Aku tidak tau semuanya akan berujung di mana Kesemrawutan merajalela
Wasit dan hakim garis peluitnya hilang suara atau sudah juga menjual kuasa?

Dari buritan sampan kayu seorang nelayan bertanya kepada temannya
pemilu kali ini berapa harga satu suara?

Tiba-tiba aku juga ingin bertanya Kepada diriku sendiri,
Akan terkatupkah tanganku ketika rupiah-rupiah ditebarkan?

Kepada para perebut kuasa,
Beranikah mereka bersumpah atas nama Tuhannya untuk tidak lagi membeli?
Kepada punggawa tentang kejujuran dan keadilan
Kepada juri, hakim dan mata-mata
tentang ketegasan tentang penindakan tentang penghukuman

Aku tidak tahu jawabannya apa Sebab aku tidak juga berani bertanya Hanya ada di niat saja
Kesemrawutan ini adalah malapetaka

rumoh-teungeh-blang

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar