Picsource : google

Oleh : IsPelsy

Indonesia beragam budaya, dengan negara yang berpendududk mayoritas Islam, tak ayal budaya bernafaskan islam pun tumbuh subur berakulturasi dengan budaya setempat. Keragaman Indonesia ternyata memberi warna dalam budaya di bumi nusantara ini, salah satunya tradisi budaya pukul manyapu atau pukul sapu yang diselengarakan setiap 7 syawal tahun hijriah di Maluku, tepatnya di negeri (desa) Mamala dan Morella. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang masih dilestarikan di Negeri Mamala dan Morella, Maluku Tengah.

Tradisi turun-temurun ini erat kaitannya dengan perayaan lebaran tujuh hari, begitu masyarakat setempat menyebutnya.
Dua negeri bertetangga yang diapit sebuah kali kecil yang mengalir menjadi batas kedua negeri. Atas sejarah tradisi ini kedua negeri mempunyai dua perspektif sejarah yang berbeda soal asal muasal tradisi ini. Di negeri Mamala, tradisi pukul sapu ini awalnya dilaksanakan untuk mengenang keberhasilan warga desa setempat saat membangun masjid tanpa menggunakan ‘ping’ atau paku.

Peristiwa tersebut terjadi sekitar abad ke-17. Sementara di negri morella menjelaskan bahwa tradisi pukul sapu ini berawal dari sejarah masyarakat setempat pada saat penjajahan dimana perjuangan Kapitan Telukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan VOC pada abad ke – 16 di tanah Maluku mempertahankan Benteng Kapahaha. Di mana mengenang peristiwa perang kapahaha ini tradisi saling menyabit dengan sapu lidi berukuran besar hingga berdarah itu dilakukan.
Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, menurut cerita mantan Raja Negeri Mamala, rakyat diperintahkan oleh Belanda untuk turun dari gunung dan mendirikan kampung serta masjid di pesisir agar mudah diawasi. Hal tersebut terjadi usai perang Kapahaha pada 1637-1646.Pembangunan masjid sempat terhenti dan terbengkalai karena warga kesulitan menyambung kayu-kayunya. Akhirnya seorang tokoh agama saat itu, Imam Tuni, berpuasa selama beberapa hari untuk memperoleh petunjuk yang diberikan melalui mimpinya.

Dalam mimpinya, Imam Tuni diminta untuk menyambung kayu-kayu tersebut dengan menggunakan minyak ‘nyualaing matetu’ atau yang lebih dikenal dengan minyak tasala. Tasala ini bahasa dialeg ambon yang berarti keseleo atau patah tulang. Minyak ini digunakan untuk membasahi potongan kain putih yang dipakai untuk menyambung kayu-kayu tersebut.
Kebenaran cerita ini dapat dibuktikan saat pembongkaran masjid tua di desa tersebut. Pada setiap sambungan kayu maupun tiangnya ditemukan potongan kain putih yang tidak menggunakan ‘ping’. Satu-satunya kayu yang menggunakan paku adalah tiang alif pada masjid tua itu.

Tradisi yang saling menyabit satu sama lain hingga berdarah ini, sepatutnya tidak ada kaitan dengan tradisi Syiah yang melukai diri mereka, hingga kini tidak ada catatan baik tulisan atau kapata (sejarah bertutur) soal pengaruh Syiah dengan peristiwa ini atau jejak Syiah di kedua negeri ini. Tak heran mujarabnya khasiat minyak ini tersebar di Maluku sebagai minyak patah tulang. Masyarakat Ambon atau Maluku lebih sering menyebut minyak tersebut dengan nama minyak Mamala.

Minyak ini ternyata memiliki khasiat yang terbukti ampuh untuk mengobati penyakit patah tulang dan keseleo. Pada setiap abis peristiwa ini masyarakat beramai-ramai berusaha mendapatkannya.

Kans Jawara