Oleh : Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekomomi Strategis (AKSES).

Baru baru ini pemerintah secara terbuka menawarkan kepada Organisasi masyarakat (Ormas) Keagamaan untuk mendapat izin mengelola tambang. Memang selama ini izin tambang biasanya hanya diberikan kepada pengusaha badan hukum perorangan, CV, Koperasi, atau PT.

Ormas, Yayasan atau badan sosial lainya dianggap tidak memiliki kompetensi dalam pengelolaan tambang. Mereka dianggap hanya kompeten di bidang bisnis layanan sosial semacam sekolah, rumah sakit dan lainnya.

Tawaran tersebut sungguh menarik karena selama ini soal tata kelola tambang yang terjadi juga banyak temui masalah di lapangan. Keterlibatan masyarakat dan terutama di wilayah tambang sering diabaikan. Implikasinya, konflik di daerah tambang antara perusahaan dan masyarakat setempat terus menyeruak. Sebabnya jelas, mereka tidak terlibat, terutama dalam soal kepemilikkan. Hukumnya jelas, apa yang tak kamu miliki itu tak dapat kamu kendalikan.

Bisnis tambang di Indonesia adalah bisnis yang menggiurkan. Tambang minyak, batubara, nikel, timah, tembaga, mangan, hingga batu andesit dan pasir adalah bisnis yang selama ini menopang kekayaan para elit kaya yang berpatron klien dengan politisi.

Untuk itulah bahasan konstelasi rumit soal ideologi politik tambang ini penting, tapi dalam konteks praxisnya juga harus dilakukan. Bagaimana menjawab soal imannen, soal keseharian manusia yang tidak bisa lepas dari ketergantungan barang tambang dan sekaligus kerangka moral etisnya.

Soal tata kelola tambang ini, menarik untuk simak pemikiran Profesor Ferdinand Tonnies (1855-1936), sosiolog dan ekonom yang terkenal dengan sistem penjenisan masyarakatnya ini memberikan sebuah alternatif yang penting untuk membentuk sistem masyarakat baru. Sebuah tata kelola bisnis baru, dan terutama menyangkut bisnis tambang.

Tonnies pada dasarnya membagi jenis masyarakat dari model paguyuban (gemeinschaft) atau masyarakat modern patembayan (gesselschaft). Paguyuban adalah sebuah sistem masyarakat tradisional yang bersifat komunal dan masih terikat oleh nilai nilai tradisional, hubungan hubungan sosial yang terjadi tidak transaksional dan belum berorientasi pada keuntungan. Berbeda dengan patembayan, sifat masyarakatnya sudah individualis, hubungan hubungan sosialnya bersifat kontraktual dan berorientasi pada pengejaran keuntungan. Inilah yang disebut masyarakat kapitalis.

Menariknya, Ferdinand Tonnies dalam kapita selektanya yang diterbitkan dari hasil penelitianya selama dua puluh tahun terhadap masyarakat di Inggris yang diterbitkan tahun 1884 menambahkan satu sistem masyarakat baru. Masyarakat itu disebut sebagai gennosenschaft, yaitu suatu masyarakat yang masih terikat nilai nilai tradisional atau setidaknya masih hargai nilai nilai kemuliaan (virtus), namun mereka sudah bekerja berdasarkan sistem kontraktual tapi tidak semata mengejar keuntungan.

Der Gennossenschaft yang berasal dari kata dasar gennose (saudara) berjenis kata sandang feminin ini dapat disebut sebagai sistem masyarakat post – kapitalis. Suatu masyarakat baru dan tidak mengikuti pergeseran arah pendulum dari sistem kapitalis, lalu ke sistem sosialis otoritarian (herrschaft) yang hirarkis melainkan masyarakat setara yang penuh solidaritas. Bukan ke kanan atau ke kiri, tapi di tengah.

Tawaran pemerintah agar usaha tambang dapat dimiliki oleh Ormas penting, tapi bukan hanya Ormas keagamaan. Sebab jika demikian maka justru hal tersebut menjadi diskriminatif terhadap kelompok Ormas lainnya dan secara tidak langsung justru bertendensi politis yang merusak kepentingan bersama (bonum commune).

Keterlibatan masyarakat yang dipandang setara ini juga penting karena hakekatnya sumberdaya alam yang ada itu dikuasai negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat bukan untuk kepentingan konglomerat ataupun agamawan.

Menurut pandangan saya, sebuah keterlibatan bisnis tambang oleh masyarakat secara langsung dan luas adalah menjadi bagian dari perbaikan tata kelola tambang. Tak hanya itu, syarat tata kelolanya juga harus demokratis dan jamin setiap orang memiliki hak suara sama dalam tentukan keputusan perusahaan.

Menurut saya, dalam praktikal bisnisnya, Ormas keagamaan itu baiknya ditempatkan sebagai kontrol moral atas usaha tambang demokratis yang libatkan masyarakat luas. Pimpinan Ormas Keagamaan seperti Pastur, Pendeta, Ulama, Bhiksu dll bukan jadi pemain langsung tapi jadi kontrol agar cara menambang jadi tidak sebrutal sekarang.

Kasus konflik di daerah tambang selama ini selalu membuat pilu dan menyayat hati. Sebut saja kasus di Wadas, Jawa Tengah, gugurnya Erfaldi, suhada pejuang penolakan tambang emas di Parigi, Sulawesi Tengah, penolakan tambang semen Kendeng, Jawa Tengah, kasus tambang emas di Sangihe, Sulawesi Utara, dan sebagainya.

Konflik di daerah tambang terus berulang. Seperti fenomena gunung es, konflik tersebut menyisakan masalah kemanusiaan serius berupa nyawa yang melayang sia-sia, trauma mendalam atas kekerasan yang terjadi, serta perpecahan perikatan sosial masyarakat akibat adu domba perusahaan tambang.

Di balik berbagai peristiwa kejahatan kemanusiaan tak terperi itu, kita menyaksikan secara kolosal di depan mata bagaimana negara takluk di depan kuasa korporasi kapitalis. Datang dan masuknya perusahaan tambang di sejumlah daerah bukan menjadi berkah, namun justru petaka bagi masyarakat setempat.

Dalam kasus yang terjadi, perusahaan tambang itu bagaikan sebuah jaringan “mafioso” yang leluasa mengangkangi hukum di republik ini. Kasus Kendeng adalah salah satu contoh buruk dalam soal penegakan hukum. Petani sedulur sikep di Kendeng sudah memenangkan gugatan di pengadilan, namun perusahaan tetap beroperasi. Padahal, putusan pengadilan sudah final (inkracht).

Pulau Sangihe masuk dalam gugusan pulau kecil. Pulau itu, menurut peraturan perundang-undangan, tidak boleh ditambang. Namun, pemerintah pusat memberi izin perusahaan tambang untuk mengekploitasinya. Penolakan masyarakat setempat dan pemerintah daerah yang sangat masif terhadap korporasi PT TMS ternyata tetap tak membuat perusahaan menyurutkan usaha.

Tak hanya masalah kemanusiaan, perusahaan tambang itu juga telah merusak lingkungan. Bahkan, bekas tambang yang dibiarkan menganga lebar tanpa reklamasi banyak merengut nyawa anak-anak di berbagai tempat.

Modus operandi perusahaan tambang untuk masuk ke wilayah tertentu selalu menggunakan cara “mengadu domba.” Sebagian warga justru menolak dibenturkan dengan warga yang mau menerima sejumlah kompensasi maupun janji tertentu, seperti peluang pekerjaan di perusahaan tambang.

Dengan dalih telah memperoleh izin pemerintah, perusahaan tambang biasanya segera “meminta” aparat keamanan untuk mengamankan kegiatan operasi. Mereka merangsek masuk dan menggilas warga yang menolak kehadiran perusahaan tambang. Aparat keamanan menjaga ketat investasi dan areal pertambangan mereka karena dianggap sebagai salah satu instalasi penting negara.

Berbagai riset menunjukkan, masyarakat setempat di daerah pertambangan biasanya bernasib lebih buruk daripada sebelumnya, baik dari sisi kualitas hidup maupun lingkungan. Perusahaan tambang tidak memberikan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat setempat kecuali kenikmatan sesaat tatkala warga setempat diberi uang ganti rugi.

Orientasi utama perusahaan tambang dimana pun adalah mengejar keuntungan bagi segelintir pemilik perusahaan semata. Bahkan, para pemilik saham perusahaan mungkin sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di daerah tambang tersebut.

Tokoh tokoh agama dan perwakilan Ormas keagamaan itu justru seharusnya diberikan peran secara formal untuk kendalikan kerusakan moral dalam proses pengambilan kebijakan dan juga praktik bisnisnya. Bukan jadi pemain tambang langsung dan libatkan mereka dalam proses kongkalikong antara elit politik dan elit kaya.


Konspirasi Global


Jika ditelisik lebih jauh, kasus-kasus yang muncul di wilayah tambang negara-negara miskin dan berkembang sebenarnya adalah ekses dari sebuah konspirasi elite kapitalis dan pemerintah. Lewat berbagai lembaga atau organisasi multilateral, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), World Trade Organization (WTO), dan lain-lain, mereka masuk merangsek ingin menguasai ekonomi negara miskin dan berkembang. Mereka menjebak negara-negara miskin dan berkembang melalui skema ketergantungan terhadap utang, investasi di sektor komoditas ekstraktif (tambang dan perkebunan monokultur), dan importasi untuk konsumsi.

Utang dari lembaga-lembaga multilateral serta utang bilateral dari negara maju masuk dan dieskalasi saat terjadi krisis ekonomi konjungtural maupun insidental. Banyak contohnya, antara lain, krisis ekonomi tahun 1997, krisis tahun 2008, dan krisis ekonomi dampak pandemi Covid-19.

Melalui “utang haram” yang penggunaannya dikomitmenkan untuk membangun proyek infrastruktur, negara-negara maju tak pelak banyak mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman. Agenda dan kepentingan mereka yang lebih besar adalah “menjebak” negara-negara miskin dan berkembang agar arus fiskal negara-negara ini menjadi dan tetap bergantung pada utang. Seperti Indonesia saat ini, laju utang yang meningkat pesat pada era pemerintahan Jokowi membuat ruang fiskal negara menjadi sangat bergantung pada utang.

Utang haram itu dikomitmenkan untuk membangun sejumlah infrastruktur fisik, seperti jalan raya, bendungan, pembangkit listrik, bandar udara, pelabuhan laut, dan lain lain. Infrastruktur tersebut sebenarnya “berfungsi” sebagai daya dukung bagi kepentingan investasi asing di komoditas ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit dengan memberikan beban berat secara fiskal kepada negara.

Selain daya dukung infrastruktur, mereka juga butuh regulasi yang cenderung berpihak pada kepentingan mereka. Misalnya, UU Ciptakerja yang dirancang, disusun dan disahkan—oleh sebagian kalangan—secara inkonstitusional. Seluruh kandungan UU “sapujagat “ itu sesungguhnya hanya untuk memperlancar kepentingan investasi konglomerat dan investasi asing.

Bank-bank yang sebagian besar sahamnya dikuasai asing itu secara taktis juga diarahkan kerjanya untuk mendukung pembangunan infrastruktur fisik demi investasi di sektor komoditas ekstraktif dan perkebunan monokultur. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengorek keuntungan dengan mengendalikan harga komoditas ekstraktif tersebut di pasaran internasional secara oligopolistik. Nilai tambahnya tak banyak yang kita terima.

Perusahaan tambang dan perkebunan monokultur itu juga menyerobot dan merampas tanah rakyat di pelbagai daerah. Saat ini, sebagian besar atau 74 persen petani kita bekerja sebagai buruh tani. Sisanya adalah petani gurem yang hanya menguasai lahan sebesar 0,33 hektar.

Tambang Basis Komunitas?


Kasus konflik di daerah tambang dan perkebunan monokultur sesungguhnya adalah bagian dari problem simtomatik yang merupakan bagian dari ekses berkait kelindannya konspirasi antara mafia elite kapitalis dan negara imperialis yang mengeruk dan menguasai perekonomian Indonesia. Masalah itu tak hanya cukup direspons dengan penolakan saja, tetapi juga harus dilawan dengan menciptakan narasi tandingan.

Kita paham bahwa kebutuhan akan barang tambang memang sebuah keniscayaan bagi negara manapun. Sebut misalnya kebutuhan seperti tanah urukan, batu, pasir, mineral, logam, minyak, dan lain lain. Hal yang tak dapat dimungkiri adalah hidup tanpa barang dan hasil tambang sama sekali adalah utopia. Yang lebih penting adalah bagaimana sebaiknya usaha pertambangan “diperlakukan” secara bijak. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana menangani dampak yang selalu muncul, baik konflik dan residu sosial-ekonomi maupun kerusakan lingkungan. Tata kelembagaan perusahaan tambang juga harus dikelola secara demokratis dengan komunitas atau masyarakat sebagai pengendali penuh dan tidak diserahkan kepada perusahaan yang semata berorientasi mengejar keuntungan. Semua dilakukan agar perekonomian tetap mampu menghadirkan keadilan. Jadi tambang basis komunitas berbasis masyarakat yang sedang diwacanakan harus ditawar dengan model kelembagaan demokratis yang dimiliki dan dikendalikan rakyat sendiri dan tertutama oleh masyarakat di daerah tambang, bukan oleh komunitas atau masyarakat di luar daerah tambang.

Bagaimana Tambang Basis Masyarakat itu?


Sebuah komunitas, paguyuban atau kelompok masyarakat, tentu tidak dapat serta merta mengelola tambang. Sebab secara badan hukum memang peruntukanya bukan untuk bisnis. Apalagi entitas Ormas Keagamaan. Hanya dua jalur badan hukum bisnis yang dapat mengembangkan bisnis di Indonesia, kalau bukan Persero adalah Koperasi.

Badan hukum persero adalah model bisnis dengan orientasi mengejar keuntungan dan kuasa pemegang modal yang paling menentukan. Mereka, para pemilik perusahaan biasanya adalah orang yang berasal dari luar daerah tambang, bahkan investor asing. Untuk itulah, model kepemilikkan dan pemberian izin tambang untuk Ormas, apapun itu bentuk ormasnya sebaiknya diarahkan dalam bentuk koperasi dengan model kepemilikan demokratis dari masyarakat setempat.

Badan hukum bisnis koperasi juga berkesesuaian dengan sifat dasar dari Ormas yang biasanya memiliki tata kelola organisasi demokratis. Badan hukum koperasi ini juga memungkinkan dimiliki jutaan orang secara terbuka dan bisa menjadi jaringan konglomerasi sosial yang besar. Koperasi ini juga cocok untuk mengelola tambang agar masyarakat tetap memiliki kendali atas aktifitas eksplorasi sumberdaya alam di lingkunganya.

Pada hakikatnya, koperasi adalah perkumpulan orang. Menurut International Cooperative Alliance (ICA), organisasi gerakan koperasi internasional, koperasi adalah “perkumpulan otonom dari orang orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan mereka dan aspirasi sosial-ekonomi dan budaya bersama melalui perusahaan yang dikelola dan diawasi secara demokratis.

Dalam identitasnya sebagai badan usaha, koperasi kerap dibedakan dengan korporasi dalam hal penempatan dan “peran” modal material. Koperasi adalah sebuah perkumpulan berbasis orang (people-based association). Berbeda dengan korporasi yang merupakan perkumpulan modal (capital-based association). Modal material dalam koperasi diperlakukan hanya sebagai alat bantu bukan penentu seperti dalam korporasi. Modal di koperasi adalah alat untuk mencapai kemanfaatan bersama bukan sebagai dasar untuk menentukan keputusan perusahaan seperti halnya dalam model Perseroan.

Dalam koperasi, manusia merupakan supreme, primus, atau yang utama di atas peran modal material. Untuk itulah kita kemudian mengenal istilah demokrasi dalam koperasi. Koperasi disebut sebagai bangun perusahaan yang demokratis karena setiap orang diberi jaminan hak suara yang sama. Berbeda dengan korporasi. Penguasa modal yang dominan atau pemilik saham mayoritas yang paling berhak menentukan keputusan perusahaan dan organisasi.

Koperasi dan korporasi memiliki kesamaaan dalam asas hukum ekonominya, sama-sama bersifat resiprokatif. Siapa yang berinvestasi dan bertransaksi lebih banyak akan memperoleh keuntungan atau manfaat lebih banyak.

Kembali ke soal pilihan badan hukum. Menurut saya, ketika dihadapkan pada sebuah pilihan badan hukum untuk formalisasi legalitas kelembagaan yang ingin hidup mandiri dari sebuah Ormas dalam hal pembiayaan, maka akan sangat bersesuaian bila memilih koperasi ketimbang bentuk lainnya. Rasionalitasnya, koperasi dapat menjamin struktur organisasi berjalan demokratis. Setiap orang akan mendapatkan jaminan hak suara satu orang satu suara dalam penetapan keputusan organisasi.

Badan hukum koperasi juga dapat menjamin konteks relasi sosialnya bersifat setara. Itu merupakan warisan para perintis organisasi modern pertama koperasi di Inggris yang menyebut diri sebagai persatuan masyarakat yang setara, “the equitable society of Pionners of Rochdale”, sebuah deklarasi kesetaraan manusia yang bukan sekadar “peluncuran” pendirian sebuah badan usaha.

Dalam konteks hukum, badan hukum koperasi memungkinkan untuk membawa misi dan aspirasi sosial sebagaimana yang juga dikerjakan oleh badan hukum perkumpulan maupun yayasan. Namun, koperasi memiliki kelebihan dibanding perkumpulan dan yayasan. Koperasi dapat melakukan aktivitas bisnis secara luas seperti halnya korporasi, sedangkan perkumpulan dan yayasan tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas bisnis.

Selama ini banyak komunitas ketika hendak mewujudkan misi dan menjalankan aktivitas menemukan sejumlah kendala pendanaan. Perkumpulan atau asosasi biasanya hanya mengandalkan iuran anggota. Sementara itu, yayasan sangat bergantung pada donatur atau pendonor.

Koperasi sebagai organisasi yang berwatak ganda, baik sebagai perkumpulan orang maupun perusahaan, memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara demokratis dan mandiri serta berkelanjutan. Dengan dasar ini maka tata kelola tambang diharapkan dapat dikelola secara bijaksana.

Pada intinya, tambang memang seharusanya dikelola oleh masyarakat dan dimiliki oleh mereka secara demokratis, dan pemerintah sebagai penjaga kepentingan publik adalah memastikan kepentingan semua pihak terjaga dengan baik. Tambang yang bijak tentu bukan hanya dikuasai konglomerat Boy Tohir atau ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama melainkan seluruh rakyat. Hal ini bisa dimulai misalnya dengan serahkan saham saham BUMN di bidang tambang ke masyarakat langsung melalui mekanisme imbreng. *

Kans Jawara

Tinggalkan Komentar