Mandat Epistemologis dan Imperatif Spiritual bagi Keadilan Agraria
Oleh: Gus Nas Jogja
Tanah—ia melampaui definisinya sebagai aset fisik. Ia adalah fondasi ontologis kemanusiaan, sumber pertama kedaulatan pangan, dan cermin yang merefleksikan keadilan etis suatu bangsa. Krisis agraria adalah krisis moral, berakar pada pergeseran pandangan filosofis yang mereduksi Substansi Kehidupan ini menjadi sekadar komoditas profan dalam mekanisme pasar yang brutal. Esai ini adalah refleksi kritis yang menjustifikasi Reformasi Agraria sebagai imperatif spiritual dan epistemologis, didukung oleh suara filsafat dan Kitab Suci.
I. Ontologi dan Epistemologi Tanah: Dari Komunal ke Kapital
Pergeseran mendasar dari tanah komunal ke tanah sebagai kapital adalah kegagalan epistemologis—kegagalan nalar modern untuk memahami nilai intrinsik tanah.
A. Filsafat Properti dan Batasan Etis
Filsafat Barat telah lama bergumul dengan legitimasi kepemilikan tanah. John Locke, dalam Two Treatises of Government, meletakkan dasar kepemilikan pribadi melalui Labor Theory of Property (Teori Kerja). Namun, kunci etisnya terletak pada Sufficiency Limitation [^1]:
“Seseorang hanya bisa mengklaim tanah sejauh ia menyisakan cukup dan yang sama baiknya bagi orang lain.”
John Locke
Secara epistemologis, batasan Locke adalah pengakuan rasional terhadap hak hidup kolektif yang mendahului hak akumulasi individu. Hegemoni oligarki hari ini secara brutal melanggar batasan ini, mengambil tanah bukan untuk dikerjakan demi kebutuhan, melainkan untuk spekulasi dan akumulasi modal ekstraktif, sehingga tidak menyisakan apa pun yang baik bagi kaum miskin.
B. Kritik Kapital dan Alienasi Agraria
Karl Marx, dalam Das Kapital [^2], memberikan kritik paling tajam. Baginya, kepemilikan pribadi atas tanah sebagai alat produksi memungkinkan eksploitasi dan menciptakan alienasi petani dari hasil kerja mereka dan dari tanah itu sendiri.
“Akumulasi kekayaan pada satu kutub adalah, oleh karena itu, akumulasi penderitaan, kerja keras, perbudakan, kebodohan, brutalisasi, dan degradasi moral pada kutub yang berlawanan.”
Karl Marx
Secara epistemologis, Marx menunjukkan bahwa konsentrasi tanah adalah kebohongan struktural yang disembunyikan di balik legalitas formal—suatu sistem di mana pemilik tanah tidak perlu bekerja tetapi menguasai hasil kerja yang dilakukan oleh kaum tani yang teralienasi.
II. Fatwa Kitab Suci: Mandat Spiritual atas Keadilan Tanah
Semua tradisi agama besar mengandung fatwa yang menegaskan bahwa tanah adalah amanah ilahi yang harus dikelola secara adil, menolak monopoli dan penindasan.
A. Islam: Tanah sebagai Amanah dan Larangan Ihtikar
Dalam Islam, tanah (al-ardh) adalah ciptaan Allah (Tuhan) dan amanah (khalifah) bagi manusia. Kepemilikan bersifat relatif dan terikat pada tanggung jawab sosial.
Al-Qur’an (QS. Al-Hadid [57]: 7) menekankan bahwa harta (termasuk tanah) hanyalah amanah yang harus didistribusikan. Larangan keras terhadap Ihtikar (penimbunan sumber daya vital) secara epistemologis meluas pada penimbunan tanah luas yang tidak produktif (tanah latifundia), yang merampas hak hidup orang lain.
Terdapat Hadits yang menegaskan bahwa Siapa pun yang menghidupkan tanah mati (yang tak bertuan), maka tanah itu miliknya. Ini adalah justifikasi ilahi bagi kerja sebagai dasar kepemilikan, dan secara implisit menolak kepemilikan spekulatif tanpa aktivitas produktif.
B. Kekristenan: Hukum Yobel dan Klaim Komunal
Perjanjian Lama menegaskan konsep yang radikal tentang kepemilikan tanah yang bersyarat. Hukum Yobel atau (Jubilee, Imamat 25) memerintahkan bahwa setiap 50 tahun, tanah yang dijual harus dikembalikan kepada pemilik aslinya atau keluarga asalnya. Tujuannya adalah mencegah konsentrasi kekayaan dan melestarikan basis ekonomi bagi setiap suku.
Kutipan Kitab Suci (Imamat 25:23):
“Tanah jangan dijual untuk selamanya, karena Tanah itu adalah milik-Ku, dan kamu adalah orang asing dan pendatang di hadapan-Ku.”
Ayat ini memberikan klaim kepemilikan tertinggi kepada Tuhan, meruntuhkan klaim kepemilikan absolut manusia. Manusia hanyalah penyewa, dan penyewaan harus diatur oleh keadilan ilahi (Yobel), yang secara fundamental mendukung distribusi ulang periodik.
C. Dharma dan Hak Kehidupan dalam Hindu
Dalam tradisi Hindu, alam semesta dan isinya diatur oleh Dharma (tatanan etis dan kosmik). Tanah adalah manifestasi Pertiwi, Ibu Bumi.
Prinsip Dharma menekankan kewajiban sosial dan etika Ahimsa (tanpa kekerasan) yang meluas hingga eksploitasi alam. Monopoli tanah, yang menyebabkan kelaparan dan penderitaan petani, adalah pelanggaran Dharma dan Ahimsa. Hak atas tanah harus selaras dengan hak kehidupan (prana), di mana tanah harus menjadi media bagi keberlangsungan hidup, bukan alat untuk kesenangan pribadi elit.
III. Etika dan Kritik Keadilan: Menggugat Hegemoni Oligarki
Krisis agraria adalah kegagalan Etika Keadilan. Hegemoni oligarki atas tanah adalah manifestasi nyata dari ketidakadilan distributif.
A. Keadilan Distributif dan Hak Primal
John Rawls, dalam A Theory of Justice [^3], menuntut distribusi yang adil atas barang primer (primary goods) yang diperlukan untuk menjalani hidup yang bermartabat. Tanah, sebagai sumber utama pangan, adalah barang primal par excellence.
“Ketidakadilan hanya dapat ditoleransi jika ia menguntungkan kelompok yang paling tidak beruntung.”
John Rawls
Konsentrasi tanah pada oligarki, yang terbukti meningkatkan kemiskinan struktural petani, jelas melanggar Prinsip Perbedaan (Difference Principle) Rawls.
B. Kritik Accumulation by Dispossession
David Harvey, dalam The New Imperialism [^4], menjelaskan bagaimana proses kapitalis modern mengamankan keuntungan melalui Accumulation by Dispossession—akumulasi melalui perampasan. Ini adalah inti dari Land Grabbing oleh oligarki.
Sengketa pertanahan yang terjadi adalah bukti Accumulation by Dispossession. Ribuan kasus Kriminalisasi Petani dan Penggusuran Paksa yang didukung oleh kekuatan negara dan legalitas formal (seperti HGU korporasi yang mengalahkan Hak Adat) menunjukkan bahwa tanah diambil bukan melalui mekanisme pasar yang adil, tetapi melalui kekuatan politik. Tindakan ini adalah kekerasan struktural yang dilegalkan.
IV. Reformasi Agraria sebagai Aksiologi dan Restorasi Martabat
Reformasi Agraria adalah aksiologi—sebuah tindakan etis yang bertujuan mengembalikan nilai sosial, ekologis, dan spiritual tanah.
A. Reformasi Total dan Etika Ekologis
Reformasi Agraria sejati harus bersifat total: meliputi Redistribusi Tanah yang masif kepada petani tak bertanah (menghancurkan latifundia oligarki) dan Pengakuan Hak Adat serta Dukungan Aset (modal, irigasi, pasar).
Lebih jauh, ia harus dijiwai oleh Etika Ekologis (Ecosophy). Tanah untuk orang miskin harus menjadi amanah ekologis untuk dikelola secara berkelanjutan (pertanian regeneratif). Ini adalah jalan tengah antara monopoli korporasi yang merusak dan hak rakyat untuk hidup secara harmonis dengan alam.
B. Mengembalikan Martabat dan Subjek Sejarah
Mengembalikan tanah kepada kaum miskin adalah restorasi martabat mereka sebagai subjek sejarah, bukan sekadar objek amal. Ia mengembalikan mereka dari status buruh teralienasi menjadi produsen berdaulat yang mengamankan pangan bagi bangsa. Reformasi Agraria adalah realisasi filosofis atas hak untuk mandiri dan menentukan nasib ekonomi sendiri, yang merupakan prasyarat bagi demokrasi yang sehat.
Kesimpulan
Krisis agraria adalah matriks dari banyak ketidakadilan. Tanah untuk orang miskin adalah tuntutan filosofis yang didasarkan pada batasan etis Locke, kritik alienasi Marx, dan Prinsip Perbedaan Rawls. Tuntutan ini diperkuat oleh fatwa spiritual dari Kitab Suci yang menempatkan Tuhan sebagai pemilik tertinggi (Yobel) dan manusia sebagai pengelola yang bertanggung jawab (Amanah). Selama tanah masih menjadi instrumen kekuasaan oligarki, dan bukan fondasi kehidupan yang diakses secara adil oleh rakyat, keadilan sejati akan tetap menjadi ilusi. Reformasi Agraria adalah ujian moral absolut yang menuntut Akal dan Hati kita untuk bertindak.
Catatan Kaki
[^1]: Locke, J. (1689). Two Treatises of Government.
[^2]: Marx, K. (1867). Das Kapital: Kritik der politischen Ökonomie.
[^3]: Rawls, J. (1971). A Theory of Justice.
[^4]: Harvey, D. (2003). The New Imperialism.











