Puisi Dewanty Maharani


Rumah itu tak punya penghuni—kosong,
kecuali debu dan waktu yang tak lagi sabar.
Daunnya sudah rapuh, gentengnya bernyanyi
tiap kali angin datang membawa kabar.
Kami, hanya berkunjung iseng sore itu,
mencari kisah yang tak tercatat buku sejarah.

“Jangan injak tangga keempat, tangga itu tak pernah dibuat, tapi selalu ada.” Bisik si tua penjaga.
Langkah pertama—berderit halus,
langkah kedua—seperti memijak napas.
Langkah ketiga—udara makin pengap,
dan langkah keempat— tak pernah terasa jelas.

Tapi suara langkah terus bertambah,
satu … dua … lalu empat … lalu tujuh dan seterusnya.
Kami hanya tiga orang, tapi suara yang mengikuti terasa tujuh puluh tujuh.
Jendela memantulkan wajah yang bukan milik kami,
dan cermin menggigil tanpa disentuh.

Di pojok ruangan tergantung boneka tanpa wajah dan jam dinding… berjalan mundur dengan peluh.
Kami lari, tapi pintu menutup sendiri,
lantai seperti menelan niat pulang kami.
Sampai akhirnya… kami tersadar—
yang datang bertiga,
pulang hanya berdua …
dan satu tinggal di tangga keempat
yang tak pernah ada.

Bandung, April 2025
Advertisement

Tinggalkan Komentar