Catatan Cak AT

Pagi kemarin, seperti biasa, cendekiawan Yudi Latif mengirimkan renungannya melalui chat WhatsApp, berjudul Jiwa Budaya. Ia memulai dengan menyitir Oswald Spengler dalam The Decline of the West, yang mengibaratkan peradaban sebagai organisme: lahir, berkembang, mencapai puncaknya, lalu mati perlahan.

Dalam pandangan Spengler, peradaban Barat telah memasuki fase senja, menuju kemerosotannya, di mana jiwa budaya yang dulu membimbingnya telah digantikan oleh obsesinya pada materialisme. “Budaya itu seperti roh. Ketika roh pergi, yang tertinggal hanya bangkai peradaban,” tulis Yudi.

Saya menyeruput kopi, membayangkan peradaban yang mirip zombie: tubuh bergerak, tetapi jiwa entah di mana. Spengler melihat Barat sebagai korban dari ambisi Faustian —jiwa yang ingin menguasai segalanya, menjebol batas-batas alam dan moral. Akibatnya? Kehancuran ekosistem, ketimpangan sosial, dan krisis spiritual yang akut.

Spengler dalam bukunya memaknai jiwa budaya sebagai esensi spiritual atau metafisik yang menjadi inti peradaban. Ia melihat budaya sebagai organisme hidup yang memiliki siklus: lahir, tumbuh, matang, lalu menua dan mati. Pada tahap awal, jiwa budaya sangat dominan —ia sumber inspirasi, kreativitas, dan keagungan sebuah peradaban.

Spengler percaya, jiwa budaya adalah kekuatan tak terlihat yang membentuk pola pikir, seni, ilmu pengetahuan, agama, dan institusi sosial suatu masyarakat. Misalnya, dalam peradaban Barat, jiwa budaya yang ia sebut Faustian berorientasi pada eksplorasi tanpa batas, dominasi teknologi, dan penguasaan alam. Namun, seiring waktu, ketika budaya memasuki fase “peradaban” (civilization), jiwa budaya ini mulai merosot.

Pada fase ini, masyarakat kehilangan arah spiritualnya dan terjebak dalam materialisme, birokrasi, dan pragmatisme. Seni menjadi komoditas, agama berubah menjadi formalitas, dan manusia kehilangan makna hidupnya. Peradaban menjadi seperti tubuh tanpa jiwa, terus bergerak tetapi kehilangan tujuan yang lebih tinggi.

Spengler menegaskan bahwa tanpa jiwa budaya, peradaban tidak memiliki masa depan. Namun, ia juga pesimis —proses ini, menurutnya, adalah bagian tak terhindarkan dari siklus sejarah.

Dalam diskusi kami, saya mengingatkan Yudi bahwa konsep siklus peradaban ini sebenarnya bukan barang baru. Sebagai penerjemah kitab klasik Muqaddimah yang monumental dan berpengaruh luas, saya paham bahwa Ibnu Khaldun sudah bicara panjang lebar soal ini.

Bedanya, Spengler berbicara tentang budaya sebagai roh peradaban, sementara Ibnu Khaldun menyoroti kekuatan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah) sebagai motor utama. Jika ‘ashabiyyah memudar —karena kemewahan, korupsi, atau kehancuran moral— maka peradaban pun ambruk.

Di sini, teori keduanya bertemu: baik Spengler maupun Ibnu Khaldun sepakat bahwa ketika inti moral atau spiritual sebuah peradaban hancur, kehancuran fisik hanya soal waktu. Namun, Spengler lebih melankolis; ia menganggap kehancuran itu tak terhindarkan, siklusnya seperti nasib yang sudah tertulis.

Sementara itu, Ibnu Khaldun lebih optimis. Baginya, siklus itu bisa diulang, asal ada upaya memperbarui ‘ashabiyyah —yakni semangat kolektif berbasis nilai-nilai luhur.

Dari diskusi itu, kami melirik peradaban Indonesia. Di sinilah tragedi dimulai. Sebagai bangsa yang terdiri dari ragam suku, agama, dan budaya, kita pernah punya ‘ashabiyyah kuat yang berakar pada semangat gotong royong dan spiritualitas.

Tapi sekarang? Moralitas bangsa ini berada di titik nadir. Korupsi menjadi olahraga nasional, fanatisme agama membunuh kebhinekaan, dan kapitalisme menyulap budaya luhur menjadi konten TikTok berdurasi 15 detik.

Lalu Yudi mengusulkan sesuatu yang menarik: tarekat baru. Bukan tarekat dalam pengertian tradisional seperti Naqsyabandiyah atau Syadziliyah, tetapi semacam komunitas spiritual yang mampu menjawab tantangan era modern —termasuk era AI dan generasi Z.

Apa itu tarekat baru? Jika tarekat lama fokus pada dzikir dan latihan spiritual individu, tarekat baru harus melampaui itu. Ia harus membangkitkan jiwa kolektif bangsa dengan semangat spiritualitas yang relevan di era digital. Anggotanya tidak hanya bertafakur di pojok masjid, tetapi juga aktif di media sosial, mendidik generasi muda untuk memahami hakikat hidup di tengah banjir informasi.

Yudi mengandaikan tarekat ini sebagai gerakan lintas agama dan budaya. “Ini bukan tarekat untuk satu golongan, tapi tarekat untuk menyelamatkan jiwa budaya bangsa,” katanya. Jika tarekat lama menjadikan guru mursyid sebagai poros, tarekat baru ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya bijak, tetapi juga paham algoritma. Sebab, di era AI, siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai narasi.

Tentu, tarekat baru ini menghadapi tantangan besar. Bagaimana menghidupkan spiritualitas di tengah generasi yang hidupnya ditentukan oleh scroll tanpa akhir? Bagaimana menjaga keseimbangan antara teknologi dan jiwa, ketika AI lebih tahu preferensi kita daripada diri kita sendiri?

Namun, jika tarekat baru ini berhasil, ia bisa menjadi jawaban bagi kebangkitan peradaban Indonesia. Sebuah peradaban yang tidak hanya bangkit dari reruntuhan moral, tetapi juga menemukan kembali jiwa budayanya.

Dan jiwa itu, seperti kata Yudi, harus mampu melampaui batas-batas agama, suku, dan ideologi —menyatukan kita sebagai bangsa yang berakar pada nilai luhur, tetapi siap menghadapi tantangan masa depan.

Mungkin, seperti kopi pagi itu, tarekat baru ini akan menjadi energi yang membangunkan kita dari tidur panjang. Atau setidaknya, membangunkan saya dari lamunan panjang setelah diskusi reflektif ini.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 12/12/2024
Kans Jawara

Tinggalkan Komentar