Oleh : Sayuti Asyathri
Ini persoalan serius yang bisa mengantarkan pada penjelasan tentang apa yang dimaksud sebagai kekayaan riil sebuah bangsa dan apa yang disebut sebagai modal utama kebangkitan sebuah bangsa.
Peradaban dunia dibangun dengan asumsi atau paradigma bahwa kekayaan sebuah bangsa itu bukan tumpukan kekayaan material baik di dalam negeri berupa kekayaan alam atau simpanan dana-dana warga negara yang diparkir atau dikhayalkan disimpan di luar negeri. Begitu juga dengan modal kebangkitan sebuah bangsa bukan kekayaan material yang dikelola pihak asing yang dikelola melalui kerjasama dengan para pengkhianat dan penipunya dari elit lokal. Bukan itu.
Orang harus paham, walaupun sudah berulangkali dijelaskan, bahwa sebesar apapun kekayaan material sebuah bangsa, namun jika rakyat di negara itu tidak miliki kedaulatan maka kekayaan itu tidak memiliki nilai apapun bagi bangsa dan negara itu. Kekayaan itu bermakna penghinaan dan penderitaan bagi rakyat dan masa depannya. Dan dari posisi itu, kekayaan tersebut tidak mungkin menjadi modal untuk kebangkitan bangsa dan negaranya. Bagaimana kebangkitan bisa terlaksana dengan bermodalkan kehinaan.
Demikian juga dengan uang negara atau warga negara yang katanya terparkir di luar negeri. Uang yang sejak reformasi ini dijadikan modal untuk cerita tentang kebangkitan itu hanyalah sebuah mainan delusi dan ilusi yang dipompakan ke setiap calon pemimpin atau tepatnya presiden baru di negeri ini. Mereka berikan harapan demi harapan palsu ilusional bahwa Indonesia akan bangkit bila uang itu bisa diambil dari luar negeri, dari situ Indonesia bisa kaya raya dan rakyat sejahtera.
Kita harus paham, apa yang namanya uang secara esensial dan eksistensial. Keterangan singkatnya, uang itu nilainya berasal dari perjanjian. Uang yang katanya berjumlah raksasa di luar negeri yang berasal dari kejahatan itu hasil dari pelanggaran dan penghinaan atas kedaulatan rakyat kita dan sekaligus menggambarkan tingkat kehinaan dari mutu kepemimpinan dalam sistem penyelenggaraan negara kita. Lantas bagaimana bisa dari kehinaan dan kerendahan mutu itu, uang yang dijaga di luar negeri oleh otoritas yang mengklaim menjaga mutu kepemimpinan negara negara asal uang itu mengizinkan pencairan uang ke pada suatu negara yang kedaulatan rakyatnya tidak ada dan mutu pemerintahan dan penyelenggaraan negaranya berada dalam kehinaan.
Inilah yang menjelaskan mengapa para founding fathers negara kita telah meletakkan sebuah platform penyelenggaraan negara, termasuk pemerintahannya, berada dalam suatu kerangka etik global yang menjamin mutu elegan itu.
Dengan asumsi bila kekuasaan negara dijalankan dalam kerangka platform itu maka pasti akan dilahirkan sebuah sistem kepemimpinan dan mutunya yang diterima dan dihormati oleh otoritas global karena komplai dan kompatibel dengan sistem etika global yang elegan dan implementable.
Yang terjadi dengan perusakan tatanan etis di dunia pendidikan dengan tipu menipu soal ijazah preman itu adalah bagian dari sebuah mekanisme penjajahan untuk merusak sistem penyelenggaraan negara yang bermutu dan menghinakan akal sehat kedaulatan rakyat. Itulah tindakan dan mekanisme yang memiskin bangsa dan negara ini di mata nasional dan internasional. Dengan begitu, tindakan dan mekanisme itu memiskinkan modal nasional kita yang ingin bangkit dan keluar dari krisis akibat kejahatan-kejahatan sistemik seperti ini.
Kalau tidak ada modal kekayaan etik dan elegansinya seperti itu maka bagaimana bermimpi mengambil uang warga negara yang diparkir di luar negeri yang dijaga oleh kekuatan global dalam kerangka etik hak asasi manusia menurut perspektif paham yang kini menguasai dunia. Jadi cerita soal uang parkiran di luar negeri ini hanya mainan oligarkhi internasional untuk menghibur dan mengalihkan rakyat kita dari proyek mereka sesungguhnya yang sedang merampok negeri ini.
Kalau modal untuk kebangkitan sudah dimiskinkan atau dibumihanguskan, maka tambang dan kekayaan negeri kita akan semakin tidak terjaga. Kebangkitan apa lagi yang diharapkan dari tesis doktoral yang merusak etika dalam tatanan dunia riset dan perguruan tinggi kita. Nikel apa lagi yang masih bisa bermanfaat untuk rakyat kecuali semakin memiskinkan mereka dan merusak modal kebangkitan nasional kita.
Jakarta, 18 Oktober, 2024
Sumber : Jakartasatu.com